Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Tujuh
***
Sore menjelang malam, setelah jam kerja selesai, Serena berdiri di dekat halte depan kantor menunggu pesanannya. Hafiz yang kebetulan juga akan pulang sedikit terlambat, berdiri tidak jauh darinya, memandangnya dengan tatapan tenang.
Tiba-tiba, sosok perempuan berambut panjang dengan riasan rapi mendekati mereka. Clara. Dengan langkah percaya diri, ia langsung berdiri di hadapan Serena.
"Kamu benar-benar nggak paham, ya? Aku udah bilang jangan deketin Dirga lagi," katanya tanpa memperdulikan keberadaan Hafiz.
Serena menatapnya datar. "Aku sudah tidak ada urusan apa-apa dengan Dirga. Kalau kamu masih merasa terganggu, itu bukan salahku."
Clara mencibir, tapi sebelum ia sempat membalas, suara langkah cepat terdengar. Dirga tiba-tiba muncul, terlihat terkejut melihat Clara dan Serena di tempat yang sama. Tatapannya langsung beralih ke Clara.
"Clara, cukup. Kamu nggak punya hak buat ganggu Serena kayak gini," katanya dengan suara yang ditahan agar tidak menjadi tontonan umum.
Clara mendengus. "Oh jadi kamu sekarang bela dia? Luar biasa, Dirga. Baru ditolak udah pasang pelindung."
Dirga menarik napas panjang, mencoba menahan amarah. "Clara, kita akan bicara nanti. Ini bukan tempatnya."
Hafiz yang sejak tadi diam, akhirnya maju satu langkah, berdiri di sisi Serena. Ia tak mengatakan apa pun, tapi keberadaannya cukup membuat suasana menjadi lebih terkendali.
Serena tetap diam. Ia tak ingin memperpanjang drama yang bukan miliknya. Ketika pesanannya datang, ia segera berpamitan.
"Aku pergi dulu. Jangan khawatir, aku tahu batasku," katanya kepada Dirga, lalu berbalik meninggalkan mereka. Hafiz menatap Dirga sejenak sebelum mengikuti langkah Serena tanpa berkata sepatah pun.
Di belakang mereka, Clara dan Dirga masih berdiri dalam ketegangan yang belum selesai.
.
Serena duduk di atas motor ojek online, menatap lampu jalanan yang terus berlari di sisi kanan dan kirinya. Hatinya masih sesak akibat pertemuan canggung dengan Clara dan Dirga. Ingin rasanya ia cepat sampai di kontrakan, mandi air hangat, dan memeluk kesunyian yang tidak pernah menghakimi.
Namun, tak lama setelah motor masuk ke jalan sempit yang biasa dilewati sebagai jalur alternatif, mesin mendadak mati. Sang pengemudi mencoba menyalakannya kembali, namun sia-sia. “Maaf, Mbak, sepertinya motornya mogok, Mbak bisa nyari kendaraan lain, untuk pembayaran nya bisa setengah nya.” ucap si driver dengan nada cemas.
Serena menghela napas. Ia turun dan menepi, berdiri di pinggir jalan sambil membuka aplikasi untuk mencari kendaraan baru. Namun malam sudah larut dan kendaraan lain butuh waktu lama.
Suara klakson dari belakang membuatnya menoleh. Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Jendela sisi pengemudi perlahan turun.
“Serena?”
Itu suara Hafiz.
Ia segera keluar dari mobil dan menghampiri. “Kamu kenapa di sini?”
“Motor ojolnya mogok,” jawab Serena singkat.
Hafiz melirik pengemudi ojol yang masih sibuk dengan motornya, lalu kembali menatap Serena. “Ayo, aku antar pulang. Nggak aman nunggu lama di sini.”
Serena sempat ragu, tapi melihat kondisi jalan yang mulai sepi dan udara yang semakin dingin, akhirnya ia mengangguk pelan.
“Terima kasih, Mas Hafiz,” ucapnya saat ia masuk ke mobil.
Selama perjalanan, tak banyak kata diucapkan. Tapi ada keheningan yang tak terasa canggung. Seolah keduanya sama-sama menikmati ketenangan yang mereka dapatkan setelah hari yang panjang dan melelahkan.
“Kalau ada yang ganggu kamu lagi, bilang, ya,” kata Hafiz pelan saat mereka hampir sampai di kontrakan.
Serena menoleh ke arahnya. “Aku bisa jaga diri, tapi... terima kasih udah peduli.”
Hafiz hanya tersenyum. Sebuah senyum kecil yang lebih kuat dari seribu janji.
Serena masuk ke dalam Kontrakan nya, kalau seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman. Dan bisa saja ia mencari pekerjaan lain.
.
Malam itu, setelah mengantar Serena hingga ke depan kontrakannya dan memastikan ia masuk dengan selamat, Hafiz kembali ke apartemennya. Suasana di dalam ruangan terasa sepi, hanya suara AC dan lampu meja yang menyala redup.
Baru saja ia mengganti pakaian, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Papanya—Pak Fadlan.
"Hafiz, sudah saatnya kamu kembali ke perusahaan kita. Jangan terlalu lama di tempat Om kamu. Banyak hal yang harus kamu pelajari sebelum benar-benar memimpin nanti."
Hafiz duduk di tepi ranjang, menatap pesan itu lama. Ia tahu maksud ayahnya baik. Tapi ia juga tahu, keputusan untuk pindah bukan hanya soal perusahaan. Ada yang lain yang kini mengisi pikirannya.
Serena.
Gadis itu punya potensi besar. Pekerja keras, tenang, dan penuh empati. Hafiz berpikir, bagaimana jika ia tidak sekadar kembali ke perusahaan ayahnya, tapi membawa Serena juga bersamanya?
Bukan hanya untuk alasan profesional, tapi juga... karena ia ingin Serena berada di tempat yang lebih layak. Tempat yang mungkin bisa lebih menghargai dirinya.
Hafiz menghela nafas panjang. Ia membuka aplikasi pesan dan mulai menulis sesuatu. Namun, ujung jarinya ragu untuk menekan kirim.
Belum sekarang, pikirnya.
Ia harus pastikan dulu Serena siap untuk perubahan itu. Dan ia harus pastikan juga bahwa perasaannya tidak mengaburkan niat baiknya.
“Mungkin besok harus tanya dulu sama Serena nya.” Gumam Hafiz.