Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Tabir Lain
Noah menggenggam kedua pipi Ivy, menatapnya lekat-lekat. “Dengar aku baik-baik. Kita sudah tahu siapa pelakunya. Bukankah aku sudah janji kalau kita akan hadapi bersama?” Noah berusaha memberikan kekuatan kepada Ivy, tetapi dia menggeleng pelan dengan air matanya yang tertahan.
“Kita harus bicara sekarang. Ayo hadapi semuanya bersama!” ujar Noah mantap.
Mereka pun kembali ke tengah ballroom. Noah mengambil mikrofon di panggung.
“Hadirin sekalian … saya ingin menyampaikan sesuatu.”
Semua mata tertuju pada mereka. Suara riuh mendadak tenang. Ivy menatap semua yang ada dengan mata sebak, perempuan tersebut menelan ludah kasar.
“Saya dan Ivy memang benar, dulu kami menikah karena kontrak. Itu keputusan terpaksa yang saya ambil karena tekanan dari pihak keluarga dan kepentingan bisnis. Tapi hari ini, kami berdiri di sini bukan karena kontrak. Kami melaksanakan resepsi pernikahan ini karena menyadari bahwa saling mencintai dan membutuhkan kehadiran satu sama lain untuk mendukung serta menguatkan.”
Ivy menggenggam tangan Noah erat. Meski gemetar, dia melanjutkan, “Tidak ada cinta yang mudah. Tapi cinta yang kami miliki telah tumbuh dari perjuangan, dari luka, dari pengkhianatan dan dari kepercayaan yang kami bangun ulang.”
Suara Ivy nyaris serak ketika menambahkan, “Dan semua itu tidak akan bisa diruntuhkan oleh satu lembar kertas."
Noah menoleh pada para tamu. “Saya juga ingin menyampaikan bahwa ibu saya, Mentari, pernah mengancam akan mengalihkan seluruh saham perusahaan saya kepada Gendis jika saya tidak menikah sesuai pilihannya. Tapi saya memilih Ivy, dan saya siap kehilangan segalanya untuknya.”
Gemuruh makin besar. Beberapa tamu terpana, sebagian lain bertepuk tangan kecil. Mentari tampak pucat. Gendis menunduk, wajahnya penuh emosi yang tak terbaca.
Mentari yang merasa dipermalukan oleh putra yang dia besarkan sendiri itu pun balik kanan. Diam-diam menghilang dari keramaian. Sementara Gendis terlihat begitu frustrasi.
Dalam pandangannya, semua orang tengah menatapnya jijik. Mencibir dan menertawakannya. Padahal mereka hanya diam sambil menatapnya datar.
"Diam kalian semua! DIAM!" bentak Gendis.
"Kalian tidak pernah tahu bagaimana rasanya menunggu seseorang yang kalian sukai selama bertahun-tahun. Perasaan tak pernah terbalas sedikit pun, dan pada akhirnya hanya sakit sendirian! Aku tidak pernah bisa membagi luka dengan siapa pun! Makanya aku ingin mereka berdua merasakan apa yang aku rasakan!" teriak Gendis sambil menunjuk Ivy dan Noah yang masih ada di tengah ballroom.
"Aku ...." Ketika Gendis hendak melanjutkan ucapannya, dia merasa ada seseorang yang sedang menyentuh tangannya.
Kini Hiro ada di sampingnya. Lelaki tersebut menggeleng. Tatapannya sendu dam sedikit basah.
"Sudah jangan dilanjutkan lagi. Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri, Ndis." Hiro tersenyum tipis, sebuah senyuman penuh ketulusan yang baru kali ini didapat oleh Gendis.
Jantungnya seakan berhenti berdetak. Gendis mematung dengan tatapan tak lepas dari Hiro. Dia seakan terhipnotis.
Lelaki itu menarik lengan Gendis dan melangkah perlahan meninggalkan ballroom. Semua orang menepi ketika Hiro melintas. Tatapan mereka sulit diartikan karena melihat dua orang dengan dua kepribadian bertolak belakang itu tengah bergandengan tangan.
Hiro meminta Gendis masuk ke mobilnya. Dia memonta sopir melajukan mobil perlahan membelah hiruk pikuk jalanan Surabaya. Hiro melirik Gendis sekilas, lalu kembali membuang pandangannya lurus ke depan.
"Kamu tinggal di mana biar aku antar."
Gendis masih bergeming. Hal itu membuat Hiro terdiam lagi. Semua kembali sunyi.
"Bagaimana, Pak?" tanya sopir kepada Hiro.
"Lajukan saja mobilmu ke mana pun. Mungkin dia butuh ketenangan."
"Baik, Pak." Ayden sang asisten pun melajukan mobilnya.
Mobil sedan mewah tersebut mengelilingi bundaran satelit beberapa kali. Ayden tak tahu harus pergi ke mana, terlebih dia tidak begitu akrab dengan jalanan kota Surabaya. Ketika mobil memasuki putaran ke-enam tiba-tiba Gendis menoleh ke arah Hiro.
"Perumahan Darmo."
"Ya?" tanya Hiro sambil menaikkan kedua alisnya.
"Aku tinggal di perumahan Darmo." Tatapan Gendis tajam, sama sekali tidak bersahabat bahkan setelah menerima kebaikan Hiro.
Tidak ada rasa terima kasih yang terlihat. Justru Gendis menatapnya penuh kebencian. Hiro menyikapinya dengan tersenyum lembut.
"Baiklah, kami akan mengantarmu pulang."
Ayden pun mengubah arah laju mobilnya. Mobil itu berhenti perlahan di depan gerbang rumah megah bergaya kolonial di kawasan Perumahan Darmo. Gendis membuka pintu tanpa berkata apa-apa, lalu turun sambil membenarkan gaunnya yang kusut.
Hiro sempat membuka mulut, hendak menawarkan diri untuk menemani masuk, tetapi Gendis sudah melangkah cepat tanpa berpaling sedikit pun. Dia benar-benar mengabaikannya.
“Hati-hati,” ucap Hiro pelan, walau tahu suara itu tak akan digubris.
Pintu pagar otomatis terbuka setelah Gendis menempelkan kartu aksesnya. Saat tubuh ramping itu menghilang di balik pintu rumah, Hiro menghela napas panjang. Dia bersandar ke kursi, lalu menatap Ayden melalui kaca spion.
“Jalan, Den. Kita nggak dibutuhkan di sini.”
Tanpa bertanya lebih lanjut, Ayden menekan pedal gas dan membiarkan mobil itu menjauh dari rumah penuh rahasia tersebut. Hiro menatap rumah Gendis melalui kaca spion sambil mengusap bibirnya.
"Sepertinya aku pernah ke sana. Rumah itu tidak asing," gumam Hiro sambil terus menatap bayangan rumah yang semakin menjauh.
Sementara itu di dalam rumah, Gendis menghempaskan tubuhnya ke lantai marmer ruang tamu. Napasnya memburu, bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang menumpuk tanpa jalan keluar. Matanya menatap langit-langit rumah itu dengan pandangan kosong, lalu berubah menjadi tajam dan liar.
"Kenapa? Kenapa selalu Ivy? Kenapa semua orang memilih dia?" teriak Gendis lantang, menggema dalam rumah besar yang kosong.
Tanpa bisa mengendalikan diri, Gendis bangkit dan berlari ke lantai dua. Dia membuka pintu kamarnya lalu mengacak-acak semuanya. Gaun pesta yang tergantung dilemparnya begitu saja ke lantai. Bingkai foto dirinya dengan Noah dari acara masa lalu dihantam hingga pecah. Buku, kosmetik, bahkan perhiasan berhamburan. Suaranya melengking tiap kali teriakan frustrasi keluar dari tenggorokannya.
"Aku sudah rancang semuanya! Aku sudah pastikan Ivy akan ditinggal! Aku sudah siapkan layar besar itu! Tapi kenapa malah mereka makin kuat!"
Tangan Gendis gemetar saat meraih sebuah botol parfum lalu melemparkannya ke cermin besar di sudut kamar. Kaca pecah, pantulan dirinya pun ikut hancur. Tangisnya pecah, menggema dengan suara kaca yang masih bergemerincing.
Lalu, tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Potongan dinding di balik lemari besar itu terlihat ganjil seperti tidak simetris. Seolah ada celah samar. Dengan langkah ragu, tetapi didorong rasa penasaran dan kemarahan yang belum reda, Gendis menarik lemari tersebut menjauh dari dinding.
Ternyata benar. Ada garis vertikal samar seperti pintu. Dia menyentuhnya, dan dinding itu perlahan terbuka dengan suara klik kecil. Terlihat sebuah lorong pendek dan gelap.
Rasa takut mulai mengendap di balik dadanya, tetapi lebih besar rasa penasaran yang menyeret langkahnya masuk ke dalam. Lampu otomatis menyala ketika dia melangkah. Lorong itu mengarah ke bawah tanah, ke semacam ruang gudang.
Ruangan itu dipenuhi kotak-kotak besar, sebagian sudah berdebu. Gendis menyusuri barisan rak-rak kayu hingga matanya tertuju pada sebuah koper tua berwarna merah marun. Jantungnya berdegup cepat saat dia membukanya.