Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haru Biru Perpisahan
Dua minggu telah berlalu sejak Shanum ditemukan pingsan di depan rumah keluarga Rivat. Selama itu, gubuk sederhana Pak Pamuji dan Bu Roro telah menjadi tempat perlindungan dan kehangatan baginya. Di pagi yang cerah itu, Shanum berdiri di hadapan mereka, mengenakan pakaian sederhana yang dipinjamkan Bu Roro, dengan hati yang penuh rasa terima kasih sekaligus kerinduan mendalam akan keluarganya.
"Bapak, Ibu, Rivat," Shanum memulai, suaranya sedikit bergetar. "Saya... saya pamit untuk pulang ke Jakarta hari ini."
Bu Roro langsung maju, memegang tangan Shanum erat-erat. Matanya berkaca-kaca. "Nak, kenapa buru-buru sekali? Apa kamu yakin sudah aman?" Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Shanum tersenyum tipis. "Saya tahu saya harus menghadapi semua ini, Bu. Wira dan Mariska pasti sangat khawatir. Saya harus kembali kepada mereka."
Pak Pamuji mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya juga terlihat haru. "Kami mengerti, Nak. Naluri seorang ibu memang begitu kuat. Tapi berhati-hatilah di jalan."
Rivat yang berdiri di samping orang tuanya, ikut menyela. "Saya sudah menyiapkan kendaraan, Bu Shanum. Saya akan mengantar Ibu sampai ke terminal kota besar terdekat. Dari sana Ibu bisa melanjutkan perjalanan ke Jakarta." Ia menatap Shanum dengan senyum meyakinkan. "Kami juga sudah berhati-hati selama ini, tidak ada orang asing yang mencurigakan di sekitar desa."
Shanum memeluk Bu Roro erat, menumpahkan segala rasa terima kasihnya. "Terima kasih banyak, Ibu. Terima kasih untuk semuanya. Untuk tempat tinggal, makanan, kebaikan hati kalian... Saya tidak akan pernah melupakan ini." Air mata mulai menetes di pipinya.
Bu Roro membalas pelukan Shanum tak kalah erat. "Sudah seperti anak sendiri, Nak. Kami senang kamu ada di sini selama ini. Rumah ini jadi lebih ramai." Suaranya bergetar menahan tangis. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan memberitahu kami."
Kemudian Shanum beralih ke Pak Pamuji. Ia meraih tangan pria tua itu dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Terima kasih banyak, Bapak. Bapak sudah seperti ayah saya sendiri."
Pak Pamuji menepuk pundak Shanum lembut. "Jadilah wanita yang kuat, Nak. Hadapi semua masalahmu dengan kepala tegak. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Terakhir, Shanum menatap Rivat. "Terima kasih, Mas Rivat. Kamu sudah banyak membantu saya."
Ketiganya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian Shanum dengan tatapan penuh perhatian. Selama dua minggu ini, Shanum bukan hanya seorang tamu, melainkan telah menjadi bagian dari keluarga mereka. Kebersamaan yang singkat namun penuh makna itu menciptakan ikatan emosional yang kuat. Meskipun sedih melepasnya, mereka tahu Shanum harus kembali pada kehidupannya yang sebenarnya.
****
Suara pecahan barang dan teriakan melengking Niar terus memenuhi rumah mewah itu. Maulida, asisten rumah tangga, meringkuk di sudut, tubuhnya gemetar ketakutan saat Niar tanpa henti melontarkan makian dan ancaman. Beberapa vas bunga dan gelas sudah pecah berserakan di lantai marmer, bukti nyata dari amukan sang nyonya rumah.
"Kau ini memang bodoh! Tidak berguna!" Niar menggeram, menunjuk-nunjuk Maulida dengan jari telunjuknya. "Aku sudah bilang, aku harus menemukan Shanum! Kenapa kalian tidak becus mencarinya?! Apa gunanya aku membayar kalian mahal kalau kalian hanya bisa makan gaji buta?!"
Maulida tak berani menjawab, hanya bisa menunduk pasrah. Ia tahu bahwa setiap perkataan atau gerakan kecil bisa memicu kemarahan Niar yang lebih besar.
Tepat saat Niar hendak melemparkan piring hias yang dipegangnya, pintu utama terbuka. Helmi masuk, baru saja pulang dari kantor. Seketika, pemandangan di depannya membuat langkahnya terhenti. Lantai yang berserakan, Maulida yang ketakutan, dan Niar yang berdiri dengan wajah merah padam serta napas terengah-engah.
"Niar! Ada apa ini?!" seru Helmi, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kekecewaan. Ia segera meletakkan tas kerjanya dan bergegas menghampiri istrinya.
Niar menoleh, amarahnya sedikit mereda melihat suaminya. Namun, ia tetap tidak melepaskan kegusarannya. "Kau lihat sendiri, Helmi! Wanita itu Shanum, dia melarikan diri! Dia mempermalukan aku! Dan para pembantu ini, mereka tidak becus mencarinya!" Ia menunjuk Maulida dengan tatapan tajam. "Dasar wanita bodoh! Aku sudah muak dengan semuanya!"
Helmi menatap pecahan kaca di lantai, lalu melirik Maulida yang masih gemetar. Ia tak habis pikir dengan istrinya yang selalu membuat ulah ketika marah. Perilaku Niar semakin lama semakin di luar batas, dan itu membuat Helmi sangat frustrasi.
"Niar, ini keterlaluan!" ujar Helmi, nada suaranya tegas. "Kenapa kamu harus melakukan kekerasan seperti ini? Apa Maulida salah sampai kamu melempar barang seperti ini?!"
"Dia tidak becus! Mereka semua tidak becus!" Niar membela diri, meskipun suaranya sedikit merendah karena keberadaan Helmi. "Shanum hilang, Helmi! Kita harus menemukannya! Dia tidak boleh lolos begitu saja!"
"Hilang?" Helmi menatap Niar dengan tatapan curiga. "Bukankah kau yang menyuruh orang untuk membawanya pergi? Sekarang kau menyalahkan mereka karena dia lolos? Kau ini memang tidak pernah berubah, Niar. Selalu saja menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri."
Wajah Niar memucat mendengar tuduhan Helmi yang tepat sasaran. "Bukan salahku! Dia yang terlalu licik! Aku hanya ingin yang terbaik untuk Wira!"
Helmi menghela napas panjang, menatap istrinya dengan sorot mata lelah. "Yang terbaik? Dengan cara menculik dan mengurung orang? Kau sudah kelewat batas, Niar. Kau telah mempermalukan keluarga kita dengan perbuatanmu ini." Helmi kemudian menatap Maulida. "Maulida, kamu tidak apa-apa?"
Maulida mengangguk pelan, masih ketakutan. Helmi hanya bisa menggelengkan kepala. Amukan Niar telah menciptakan kekacauan dan ketakutan di rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman.
****
Di rumah mewah keluarga Wiguna, Niar masih saja geram karena Shanum belum juga ditemukan. Ponsel di tangannya terus berdering, membawa laporan yang sama dari orang-orang suruhannya: "Belum ada jejak, Nyonya." Setiap laporan itu hanya menambah kobaran api di hati Niar.
"Bodoh! Kalian ini memang tidak becus!" teriak Niar ke ponselnya, melemparnya ke sofa saking kesalnya. "Aku tidak mau tahu! Temukan dia! Kalau tidak, jangan harap kalian masih bisa bekerja!"
Niar mondar-mandir di ruang tamu, napasnya memburu. Pikirannya dipenuhi kemarahan dan rasa malu karena Shanum berhasil lolos. Tepat di tengah kekacauan itu, pintu utama terbuka dan masuklah Anne, adik ipar Niar. Anne, yang selalu tampil modis dan memiliki karakter blak-blakan, menatap Niar dengan sebelah alis terangkat.
"Wah, wah, ada apa ini? Suara teriakanmu sampai kedengaran ke jalanan," sindir Anne, tangannya bersedekap. "Rumah ini selalu saja gaduh kalau ada dirimu."
Melihat Anne, Niar seketika melupakan sejenak amarahnya pada Shanum. Rasa benci terhadap Anne, yang sudah lama terpendam, langsung menguasai dirinya. Mereka berdua memang tak pernah akur, selalu bersaing dan saling sindir.
"Kau?! Apa urusanmu datang kemari?!" bentak Niar, menatap Anne dengan tatapan tajam. "Pulang saja sana! Jangan ikut campur urusan keluargaku!"
Anne tertawa sinis. "Urusan keluarga? Sejak kapan kau punya urusan yang tidak melibatkan keributan? Aku dengar menantumu kabur, ya? Baguslah, setidaknya ada satu orang waras yang tidak mau terjebak dalam lingkaran kegilaanmu."
Perkataan Anne bak menyiram bensin ke api yang sudah menyala. "Tutup mulutmu, Anne!" raung Niar, wajahnya memerah padam. "Kau tidak tahu apa-apa! Wanita itu hanya pengincar harta!"
"Pengincar harta? Atau memang kau saja yang terlalu posesif dan tidak waras?!" balas Anne, tak gentar sedikit pun. "Kau pikir semua orang harus tunduk padamu? Dasar wanita tua sombong!"
"Apa kau bilang?!" Niar melangkah maju, tangannya terangkat. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anne. Suara tamparan itu nyaring, membuat suasana semakin tegang.
Anne terhuyung sedikit, namun matanya menyala. Tanpa buang waktu, ia membalas. Sebuah tamparan tak kalah keras mendarat di pipi Niar. "Rasakan itu, nenek sihir!"
Niar terkejut dengan balasan Anne, namun itu hanya membuat amarahnya makin membabi buta. Mereka berdua terlibat aksi saling tampar, suara telapak tangan yang beradu di pipi bergantian terdengar.