"5 milliar untuk rahimmu! Lahirkan seorang pewaris untukku! Setelah dia lahir, kau boleh pergi!"
Nayla bingung untuk mengambil keputusan secepat itu. Tetapi dia sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi Ayahnya yang mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa waktu lalu.
"Jika sampai satu tahun, aku tidak kunjung melahirkan. Apa kompensasinya?"
"Kau harus tetap mengembalikan uangku dengan menjadi budak wanitaku!"
Bagaimana reaksi Nayla? Akan kah dia tetap melanjutkan syarat pernikahan kontrak dengan CEO di tempat dia bekerja? Bagaimana nasib Keluarga Nayla Suherman selanjutnya? Akan kah tumbuh benih-benih cinta di dalam nya. Yuk kepoin cerita Nayla dan Mahendra Wijaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Najwa Camelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anaconda
Selamat membaca..
🍒
🍒
🍒
Satu bulan berlalu.
Nayla yang sudah terbiasa dengan pekerjaan barunya semakin bersemangat. Hari-hari yang dilalui Nayla dengan hati gembira dan senyum yang selalu menempel di bibirnya.
Walaupun hanya bekerja sebagai pekerja harian lepas di sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar. Namun, Nayla tidak menyadari bahwa perusahaan dimana dia bekerja tersebut adalah anak cabang dari perusahaan Wijaya Group, milik Keluarga Besar Mahendra Wijaya.
Siang itu jarum jam telah menunjukkan di angka 12 siang. Waktunya jam istirahat untuk seluruh karyawan PT. Semeru Nusantara.
"Yuk, Nae. Kita makan siang ke kantin, hari ini aku tidak membawa bekal makan siang," Ajeng merangkul pundak Nayla mengajaknya ke kantin.
"Kenapa lagi? Kesiangan? Jadi nggak mbotot?" serbu Nae dengan beberapa pertanyaan.
"Borongan, neng?" sahut Ajeng cengegesan.
"Aku perhatikan beberapa hari ini, kamu sering kesiangan, Jeng. Malas masak atau emang sengaja mau makan di kantin? Pemborosan!" sungut Nae.
"Jadi istri itu harusnya bisa bangun lebih pagi! Nyiapin sarapan buat suami! Nah, ini. Malah kesiangan muluh bangunnya! Aku jadi suaminya sudah aku guyur air satu bak mandi!"
"Banjir, Nae! Dan untungnya suamiku bukan kamu! Tapi, Mas Rifan, orang yang sabar dan sangat pengertian!" balas Ajeng tak trima.
"Sabar dan sangat pengertian dari mananya? Orang suami kamu ngajak lembur tiap malam ngerjain PR katamu!" cibir Nae.
"Lembur yang beda, Nae. Waktunya deder biji lombok. Penanaman biji lombok itu harus ditabur dengan perasaan biar cepat bersemi," ujar Ajeng menahan ketawanya.
"Ngapain juga nabur biji lombok malam-malam! Yang ada panas itu mata kamu, Jeng!" sewot Nae.
"Sudah ahh, kamunya jadi sewot. Bocil belum tahu bab penaburan biji lombok tengah malam," ucap Ajeng dengan muka seolah meremehkan Nae yang berjalan di sampingnya.
"Minta ditonjok kamu, Jeng! Ngatain aku bocil! Bocil epep aja pandai mengoyangkan jempolnya, apalagi aku. Nie nggak kalah dengan mbak senang yang berduet dengan cah Solo, itu!" Nayla memamerkan goyangannya di depan Ajeng.
"Ya Alloh, Ya Gusti. Ampuni segala dosa teman hamba ini," Ajeng mengusap-usap dadanya sembari menggelengkan kepala.
"Bagaimana? Masih kurang nancap bautnya?"
"Haah? Baut opo, Nae?" cengir Ajeng.
"Hahaha.." Nayla ngakak. "Itu nama goyangan, Nayla Suherman. Cara nancapin baut!" selorohnya.
"Bener-bener, nie bocil minta dirukiyah!"
"Jangan katakan aku bocil, mbok you! Jaman mbah priok semua serba ada! Tinggal usap layar, cari dengan suara. Oto ato-ato!" ujar Nae dengan mimik yang serius. "Jrengg! Jawaban mbah priok. Emboh karepmu!" kekeh Nae yang disambut Ajeng.
Duo semprul yang selalu menyemprotkan kata-kata sak karepe dewe. Dan berujung TERSERAH!
"Ruwet kata mbah priok! Lagian oto ato-ato, ngopo toh, Nae!" balas Ajeng yang semakin membuat mereka berdua tertawa tak henti-henti. "Bocil semprul!"
"Ya sudah kamu sendian aja ke kantinnya."
"Sudah ngikut aja, kenapa pakai ngomel-ngomel," balas Ajeng mentoel ujung hidung Nae.
"Enak aja! Se kata-kata nih bini orang! Itu namanya pemborosan! Buang-buang uang, tahu!" omel Nae.
"Anak perawan nggak boleh ngamuk-ngamuk begitu, pamali," goda Ajeng yang membuat Nae melongo.
"Lha kenapa? Mulut-mulut aku sendiri! Nggak nyewa punya orang! Apalagi ngembat milik pribadi!" kekeh Nae sembari menonyor lengan Ajeng.
"Kalau masih gadis, jangan suka begitu. Susah jodoh!" ucap Ajeng dengan ekspresi muka yang serius.
"Astagfirullah, amit-amit!" kata Nae sembari mengelus perutnya yang rata.
Spontan Ajeng terbahak-bahak melihat tingkah Nae yang sangat ketakutan.
"Lapar, Beet? Dielus-elus!" kekeh Ajeng sampai terpingkal-pingkal.
"Lapar pala mu!"
"Hamil?" sahut Ajeng cepat.
"Hamil anak marmut!" kesal Nae dengan berjalan mendahului Ajeng.
"Woi, buru-buru banget!"
Nayla berlari meninggalkan Ajeng di belakangnya. Panggilan alam, mengharuskan Nayla berbelok arah.
"Dasar nggak tahu sopan santun! Main tinggal aja! Entah dimana kewarasanmu berada, Nae!" teriak Ajeng yang diberikan lambaian tangan Nayla dari jauh.
****
"Huuftt.. Leganya," Pria yang berada dalam ruangan berukuran kecil itu menghembuskan nafas kelegaan bersamaan dengan mengelus perut yang berbentuk roti sobek bukan roti tawar.
Belum sempat pria itu menaikan resleting celana kainnya, tiba-tiba gagang pintu bilik toilet ditarik seseorang dari luar.
Beberapa menit yang lalu, penghuni dalam perutnya sudah berteriak ingin dikeluarkan. Semakin lama pria itu tidak bisa menahan pemberontakan yang dilakukan para penghuni di ususnya. Tanpa melihat tulisan di atas pintu, dia main masuk saja di toilet khusus wanita. Untuk segera menuntaskan para pemberontak yang bandel.
"Aahhhh.." teriak Nae histeris seperti melihat hantu di siang bolong.
Tiba-tiba tangan Nae ditarik seseorang dan langsung menutup mulut Nae dengan telapak tangannya.
Nae yang masih dalam mode terkejut, hanyut terbawa arus magnet yang menarik tubuhnya. Otaknya bahkan belum dapat bekerja dengan normal, apalagi berpikir jernih sejernih minyak goreng berkualitas premium.
"Diam!" terdengar suara bariton dari pria yang berdiri di hadapan Nae.
Nae mengangkat wajahnya lurus ke depan. Netranya membola ketika melihat sosok pria yang kini memberikan tatapan menghunus ke dalam manik hitamnya.
"Om Galak?" manik mata mereka bertemu. Nae merasa gentar mendengar suara bariton milik Mahen yang mampu melumpuhkan sarafnya.
"Ngapain kamu masuk sini!" tanya Mahen dengan nada yang tidak rendah.
"Maafkan Nae," ucap Nae sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Nae hanya mau setor panggilan alam, Om Galak."
"What?" Mahen tidak percaya dengan apa yang diucapkan Nae barusan.
"Huum," sahut Nae menunduk.
Pertemuan antara kedua anak manusia itu terbilang unik. Pertemuan yang tak pernah terbesit sedikit pun di pikiran mereka.
"Kenapa lihatnya gitu banget? Penasaran? Tak pernah lihat? Atau jangan-jangan..?" berondongan pertanyaan seperti itu bagi seorang Nayla tak perlu untuk dijawab. Karena pertanyaan retoris, yang ia sudah tahu jelas jawabannya itu apa.
'Ohh, Tuhan.. Ini hari apa? Apa hari ini keapesanku? Atau jalan takdirku yang semakin terpuruk?' gumam hati Nae bertanya-tanya. Dan terus menanyai sendiri hatinya.
"Aku nggak lihat apa-apa. Suwer tak kewer-kewer," ujar Nae sambil mengangkat dua jarinya berbentuk huruf V.
"Mana aku percaya! Dari tadi kedua matamu arahnya ke situ terus!" tuduh pria itu.
"Beneran, berani sumpah! Nae tak tahu ularnya kecil apa besar?" tambah Nayla menyakinkan pria yang berdiri di hadapan nya.
Mahen menahan tertawanya. Ia merasa geli seolah mendengar lawakan kocak yang keluar dari gadis ingusan yang menggetarkan hatinya.
"Ular apa? Ular siapa? Sependek apa? Sepanjang apa?" goda Mahen.
"Ular yang panjang dan guedeh itu, ya Anaconda," jawab spontan Nae.
"Segede Anaconda?" kekeh Mahen.
🍒🍒🍒🍒🍒