"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 32
Senja perlahan menyelimuti Jakarta, meninggalkan semburat jingga yang menyayat hati Senja. Ia duduk di teras rumah, menatap langit yang mulai gelap. Hari ini, ia merasa sangat sedih. eyang maminya , Helena, akan segera pulang ke Paris. Ia sudah terlalu lama tinggal di Indonesia, dan waktunya untuk kembali.
"Kalau sudah sampai Paris, hubungi aku ya, Mi," ucap Sekar, memeluk ibunya. Suaranya sedikit bergetar.
"Ya, Nak. Mami akan kabarin kamu. Jaga keempat anak mu baik-baik, dan jangan pernah kamu bersikap tidak adil lagi, okey?" pesan Helena, matanya berkaca-kaca. Ia menatap Sekar dengan penuh harap.
"Baik, Mi," jawab Sekar, mengangguk mantap.
Helena pun berpamitan kepada Senja dan ketiga kakak Senja lainnya. Pelukan hangat dan penuh kasih sayang diberikan kepada masing-masing anaknya. Air mata menetes di pipi Helena saat ia meninggalkan rumah, menuju bandara. Perpisahan ini terasa berat, namun ia harus kembali ke Paris.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Rudy hanya diam saja. Ia duduk di sofa ruang tamunya, pikirannya melayang. Siang tadi, ia menerima telepon dari Liam. Liam menceritakan tentang Caca yang tinggal di apartemennya. Rudy merasa campur aduk. Ia marah pada Caca, kecewa dengan pilihan hidup Caca, namun di sisi lain, ia masih menyayangi anak angkatnya itu.
Rudy tak bisa memungkiri, rasa sayang dan tanggung jawabnya pada Caca masih sangat besar. Caca adalah anak yang ia rawat dan besarkan sejak kecil. Ia telah menyaksikan sendiri bagaimana Caca tumbuh dan berkembang. Meskipun Caca telah melakukan banyak kesalahan, Rudy yakin, Caca masih bisa diselamatkan.
"Aku harus membawa Caca pulang," gumam Rudy dalam hati. Ia memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia akan mengajak Caca kembali ke rumah. Ia akan mendidik Caca, membimbingnya kembali ke jalan yang benar. Ia akan membantu Caca meninggalkan semua keburukannya, dan membangun kembali hidupnya. Keputusan itu bukanlah hal mudah, namun Rudy yakin, ia harus melakukannya. Demi Caca, dan demi masa depan Caca. Ia akan menunjukkan pada Caca, bahwa keluarga selalu ada untuknya, meskipun Caca telah melakukan banyak kesalahan. Ia akan membuktikan, bahwa kasih sayang seorang ayah angkat tak akan pernah hilang, tak peduli seberapa jauh Caca melangkah.
Sekar menghampiri suaminya, Rudy, yang masih terdiam di sofa. Ia duduk di samping Rudy, tangannya menyentuh lengan suaminya dengan lembut.
"Kenapa Papi hanya diam saja melihat Mami pergi?" tanya Sekar, suaranya lembut namun sedikit khawatir. Ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati suaminya.
Rudy menghela napas panjang. "Gak apa-apa kok, Sayang. Papi cuma kepikiran Caca saja," jawab Rudy, matanya menatap kosong ke depan. "Oh ya, Papi sudah memutuskan akan membawa Caca kembali ke rumah ini."
Pernyataan Rudy membuat Sekar, dan keempat anaknya yang lain, terkejut. Mereka saling pandang, tak percaya dengan keputusan Rudy yang tiba-tiba itu.
"Aku tidak setuju Caca kembali ke rumah ini lagi," tolak Galih, kakak kedua Senja, dengan tegas. Wajahnya menunjukkan penolakan yang kuat.
"Abang juga gak sudi gadis nakal itu balik ke sini lagi," sambung Raka, kakak ketiga Senja, mengangguk setuju dengan Galih. Ia masih ingat jelas bagaimana Caca telah menyakiti keluarganya.
"Apa alasan Papi ngajak Caca balik ke sini lagi? Padahal Papi tahu gimana kelakuan anak itu," ucap Radit, kakak keempat Senja, suaranya terdengar kesal. Ia tidak bisa menerima kehadiran Caca kembali di rumah mereka.
Senja hanya diam, matanya berkaca-kaca. Ia baru saja merasakan kebahagiaan bersama keluarganya yang utuh. Kehadiran Caca, sosok yang telah menghancurkan sebagian hidupnya, kembali lagi ke dalam rumahnya. Pikirannya kalut. Ia merasa terancam, takut kebahagiaan yang baru ia rasakan akan sirna lagi. Ketakutan dan kesedihan bercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin menolak, namun ia juga takut untuk menyuarakan penolakannya.
"Keputusan Papi sudah bulat. Kalau kalian gak setuju, silakan angkat kaki dari rumah ini!" ancam Rudy, suaranya keras dan tegas. Ia terlihat marah dan kecewa dengan penolakan anak-anaknya.
Ketiga putranya, Galih, Raka, dan Radit, saling pandang. Mereka tak menyangka Rudy akan bersikap sekeras ini. Kecewa dan sedih, mereka menerima kenyataan itu.
"Baiklah, kami pergi sekarang juga," jawab Galih, suaranya datar. Ia berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
Galih menghampiri Senja, adik bungsunya. Ia memeluk Senja erat-erat. "Ayo, Dek, kita keluar dari rumah ini. Lo gak usah takut. Kami akan selalu ada untukmu sampai kapan pun," ucap Galih, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Ia berusaha menenangkan Senja yang terlihat ketakutan dan bingung.
Saat mereka hendak naik ke atas untuk membereskan barang-barang, Sekar tiba-tiba angkat bicara. Suaranya terdengar tegas, penuh pendirian. Ia menatap Rudy dengan tatapan yang tak bisa dibaca.
"Tunggu," kata Sekar, suaranya sedikit bergetar. "Mami akan ikut kalian pergi dari rumah ini. Mami juga gak sudi menerima Caca kembali ke rumah ini." Keputusan Sekar mengejutkan semua orang. Ia memilih untuk meninggalkan suaminya demi mendukung anak-anaknya dan menolak kehadiran Caca kembali. Rumah yang telah ia bangun bersama Rudy selama ini, kini ditinggalkannya. Keputusan yang berat, namun ia telah mengambilnya dengan teguh.
Rudy terpaku di tempat. Ia tak menyangka istrinya, Sekar, akan ikut meninggalkan rumah. Keputusan Sekar jauh lebih mengejutkan daripada penolakan ketiga putranya. Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. Selama ini, ia mengira Sekar akan selalu mendukungnya, apapun keputusannya. Namun, kenyataan berkata lain. Sekar, yang selama ini dikenal pendiam dan penyabar, menunjukkan sisi teguh pendiriannya yang tak pernah ia duga.
Wajah Rudy berubah pucat. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas mereka yang tersengal-sengal. Ia menatap Sekar, mencoba mencari penjelasan, mencari celah untuk membujuk istrinya agar tetap tinggal. Namun, tatapan Sekar begitu teguh, tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Keputusan Sekar sudah bulat.
Ketiga putranya, Galih, Raka, dan Radit, menatap Rudy dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada campuran rasa kasihan, kecewa, dan juga sedikit kepuasan karena keputusan mereka didukung oleh ibu mereka.
Senja, yang tadinya ketakutan, kini merasa sedikit lega. Ia tak sendirian. Ia memiliki dukungan dari kakak-kakaknya dan ibunya. Meskipun ia sedih meninggalkan rumah, ia merasa lebih aman dan nyaman bersama keluarga kecilnya yang baru terbentuk. Kehadiran Caca memang mengancam, namun ia yakin, keluarganya akan selalu melindunginya.
Rudy merasa sendirian. Rumah yang selama ini ia banggakan, kini terasa kosong dan hampa. Ia telah kehilangan keluarganya, bukan hanya karena keputusan yang salah, melainkan juga karena kurangnya komunikasi dan pemahaman dengan keluarganya sendiri. Penyesalan mulai menggerogoti hatinya. Ia menyadari, keputusan untuk membawa Caca pulang bukanlah solusi yang tepat, malah justru menghancurkan keluarganya. Ia harus memikirkan kembali langkah selanjutnya. Ia harus memperbaiki semuanya. Namun, ia tak tahu harus mulai dari mana.
maluuuu gakkk tauuuu chaaaaaa🤣🤣🤣
!!!!