#ruang ajaib
Cinta antara dunia tidak terpisahkan.
Ketika Xiao Kim tersedot melalui mesin cucinya ke era Dinasti kuno, ia bertemu dengan Jenderal Xian yang terluka, 'Dewa Perang' yang kejam.
Dengan berbekal sebotol antibiotik dan cermin yang menunjukkan masa depan, yang tidak sengaja dia bawa ditangannya saat itu, gadis laundry ini menjadi mata rahasia sang jenderal.
Namun, intrik di istana jauh lebih mematikan daripada medan perang. Mampukah seorang gadis dari masa depan melawan ambisi permaisuri dan bangsawan untuk mengamankan kekasihnya dan seluruh kekaisaran, sebelum Mesin Cuci Ajaib itu menariknya kembali untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Membuka gerbang Laundry ( The Magic Space)
Xiao Kim terhempas kembali ke tikar tenda Kediaman Jenderal pada pukul 03:00 malam, nafas terengah-engah akibat syok. Jenderal Xian tergeletak tak sadarkan diri, racun menyebar di nadinya dan demamnya melonjak. Bau musk, kotoran, dan residu obat bius memenuhi udara.
"Kita gagal, Jenderal Xian," bisiknya parau, menyentuh dahi yang mendidih. "Mengapa tubuhmu harus sebesar ini ketika aku sudah kehabisan energi?"
Ia tahu Letnan He berada di luar—mungkin tertidur. Setelah He bangun, ia akan memanggil bantuan dan menanyai Kim, karena kecurigaan pada gadis yang disebut "Gadis Laundry" belum lenyap meskipun Komandannya menyuruh menjaganya.
"Mengapa engkau wajib tidur pada saat seperti ini, wahai Letnan He?" gumam Kim sambil memandang tumpukan cucian Abad 21 di sudut tenda—tempat Ruang Ajaib tersembunyi. "Engkau adalah perwira paling patuh yang pernah kubuat, tapi sekarang aku butuh waktu sendirimu!"
Xian terlihat damai, tetapi kulitnya kering akibat dehidrasi dan wajahnya memancarkan penderitaan. Panah beracun terakhir terlalu parah; antibiotik dan bius yang diberikan hanyalah sementara.
"Saya adalah agen logistik di zaman ini—tugasku memastikan Jenderal tetap berdiri tegak," katanya pada dirinya sendiri, menyentuh kain cucian yang bergetar dengan energi aneh. "Mesin M19 masih berfungsi. Aku tahu berisiko kembali ke dimensi itu, tapi apa lagi yang bisa kulakukan?"
Ketika ia hendak meraih cermin saku ajaib, Xian mengerang lembut. Kim meraba luka yang telah ia obati—sudah bengkak dan terinfeksi.
"Hanya antibiotik intravena dan perawatan di unit darurat Abad 21 yang bisa menyelamatkanmu," bisiknya. "Jangan khawatir, Tuan. Aku akan bawa apa yang kamu butuhkan, bahkan jika itu berarti melanggar aturan dimensi."
Ia meletakkan cermin, menutup mata, dan membayangkan bilik beton dingin Laundry M19 di masa depan. "Wahai gerbang dimensi! Dengarkan komando ini—jangan buat keributan, aku butuh keheningan mutlak!"
Tumpukan cucian mulai bergerak, dan pusaran biru tipis muncul. Jari-jarinya menyentuh inti pusaran, dan sensasi dingin menampar tangannya. Dalam sekejap, ia berdiri di lantai beton bilik yang damai, menghirup udara berbau softener vanila.
"Oh, ketenangan yang absolut!" berseru ia gembira. "Waktu di sini terhenti—aku punya waktu sepuasnya untuk mengambil barang-barang penting."
Ia bergerak seperti tornado menuju laci bawah gudang, mengambil kotak suplai medis: antibiotik dosis besar, serum, pereda nyeri, dan—yang terpenting—selai kacang! Karena Xian tidak makan selama tiga hari.
"Anda adalah tempat teraman ku, Mesin M19," ujarnya sambil memasukkan kotak ke saku celana kerja yang besar. Ia melihat tumpukan pakaian yang disedot dari masa lalu masih teronggok rapi. "Ini bukan keajaiban—ini keajaiban logistik! Aku bisa mengembalikannya kapan saja!"
Ia juga meraih ponsel lipat tipis yang bisa disamarkan sebagai cermin. "Ini untukmu, Xian. Kalau kamu siuman, gunakan ini untuk berkomunikasi denganku. Aku akan selalu ada di sisimu melalui genggam cermin ini."
Setelah semua pasokan aman, ia menghela napas. "Waktunya kembali ke bau lumpur. Harap He belum bangun!" Ia memusatkan pandangan pada cermin yang memancarkan kilau biru, lalu menyentuhnya.
Deselerasi dimensi menampakkan wajahnya. Ia mendarat selembut bulu angsa di tenda yang sama, tumpukan cucian kembali utuh. "Tepat waktu, Tuan Laundry!" seru ia bangga.
Namun, matanya segera bertemu sosok tinggi di ambang pintu—Letnan He, mata merah dan terbuka. "Dia tidak tertidur!"
"Nona. Anda... wajib diam," desis He, pandangannya terpaku pada tangannya yang menyentuh kain.
"Apa yang Anda kehendaki, Letnan He? Tuan Jenderal butuh penyembuhan segera. Apakah aku sudah membuat bunyi yang terlalu keras?" bisik Kim dengan tenang meskipun jantungnya berdebar kencang.
He memutar badan perlahan, wajahnya gelap dan penuh tuduhan. "Saya telah melihat Anda melakukan keajaiban di dalam kain itu! Jangan membohongiku! Kami berjanji aku akan menjadi pengawalmu, jadi katakan padaku—bagaimana kamu melakukannya? Jujur!" Ia memegang pedangnya dengan gemetar.
"Aku tidak menyadari engkau mengawasiku seperti pengawal harem!" balas Kim. "Kami sudah terlambat! Tuan Jenderal butuh suntikan kedua dan dosis ketiga! Apakah engkau ingin melihatnya mati di hadapanmu?"
He maju selangkah, menatap kantong celana Kim yang bengkak. "Apa yang ada di sana? Mengapa kamu harus masuk ke dalam tumpukan kain kotor itu? Berikan padaku senjatamu!"
Xian menghela napas panjang, masih koma tapi gelisah. Kim menunjuk luka yang mengeluarkan cairan kering. "Saya tidak akan memberimu senjata! Mundur selangkah dan tutup pintu itu! Kami datang dari abad teknologi yang berbeda—jika kamu masih mencurigaiku, cuma akan menyaksikan Dewa Perang tewas!"
He menghela napas, tampak pasrah. "Silakan laksanakan! Tapi jika Tuan Xian tidak pulih segera, aku akan meminta Tuan Pangeran Mahkota memenggalmu! Kamu adalah penyihir!"
Kim meraih cermin saku, yang mengeluarkan kilau biru. Ia mengarahkannya ke Xian, dan bayangan masa depan muncul: Xian pulih sempurna, tersenyum dengan Kim di sisinya, mengenakan pakaian modern bersih.
"Lihat ini! Kami akan kembali ke dunia baru bersama-sama! Engkau tidak bisa mencampurinya! Aku menyelamatkannya, dan itu adalah kebenaran yang akan kamu saksikan dalam dua hari!" seru ia, menutup cermin cepat.
He semakin pasrah—yang terpenting adalah Jenderal akan selamat. "Baiklah... lakukan apa yang harus kamu lakukan."
"Tapi engkau harus pergi sekarang! Ini adalah proses pemurnian jiwa dan fisik—aku akan menggunakan jarum kecil di lehernya. Kamu tidak boleh menengok!" bohong Kim sambil menyuntikkan antibiotik kedua secara intravena rahasia.
Segera setelah itu, Xian terbatuk dan matainya membuka—tidak sepenuhnya sadar, tapi ia menggapai Xiao Kim. "Selesai!" bisik Kim, lalu memasukkan sekantong jerky daging di sisi bantalnya.
"Tuan He! Engkau akan menjaga Komandan sekarang! Aku butuh tiga puluh menit untuk mempersiapkan ritual air bersih!" katanya. "Jika engkau kembali terlalu cepat, aku tidak akan menemuimu—andai terjadi kerugian di Ibukota, aku akan tuntaskan secara pribadi!"
He memutar badan untuk pergi, tapi matainya tiba-tiba tertarik pada tas kain kotor yang terguling di sisi Xian. Jenderal yang masih lemah meraih kain tipis dengan logo aneh—bahasa Abad 21 yang tidak bisa dijelaskan.
"Nona. Aku tidak perlu janjimu!" teriak He di ambang pintu, ingin mengecek apa yang Xian sentuh.
Kim buru-buru menoleh. "Engkau sudah percayaku, kan? Maka percayalah sampai akhir! Aku tidak butuh pandangan matamu!"
Tiba-tiba, suara kasar menusuk dari antara pepohonan: "Hei, Komandan! Saya melihat sepasang wanita asing! Mereka bersembunyi di tumpukan cucian di tenda belakang! Tangkaplah mereka—mereka membawa artefak!"
Kim dan He bertatapan, horor melanda wajah mereka. Itu adalah sisa prajurit musuh yang mengejar mereka—mereka melihat Xian ditarik ke Ruang Ajaib!
"Kita disergap! Bersiap bertahan!" teriak He, pedangnya terhunus di ambang pintu. Di luar, bunyi pertarungan terdengar.
Kim melompat untuk mengambil botol semprotan disinfektan. Xian kembali terbangun, mata jelas meskipun tidak sepenuhnya sadar. "Xian! Sembunyi!" seru Kim.
"Jangan berani. Anda... tidak wajib melawan!" bisik Xian dengan kuat. "Lari! Kembali ke bilik modern itu! Aku janji akan menyusulmu setelah sembuh—hanya butuh 10 jam! Berikan aku cermin dan semua pilmu!"
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" meronta Kim, tapi Xian sangat kuat. Dia mengambil botol serum dan menyuntikkannya pada dirinya sendiri dengan brutal—mata berputar liar.
Serangan menyusul: tenda robek, dan musuh terakhir menyeruak dengan pedang. "ENGKAU TIDAK AKAN LARI LAGI! SERAHKAN JENDERAL PADAKU!"
Kim melemparkan pistolnya pada Xian, lalu berbalik dan mengangkat tangan. Tapi di tangan kanannya, ia menyembunyikan Pistol Bius. "Silakan, lakukan apapun yang mau kamu lakukan!" seru ia, lalu menarik pelatuk. Bius cair menyiprat di wajah musuh, yang langsung jatuh berbusa.
"Aku kembali," bisiknya sambil mengambil ponsel mungil untuk menyamarkannya sebagai artefak. Tapi He, yang sudah waras sepenuhnya, menunjuk ke telinga Xian.
"Ada benda aneh di sisi kepalanya—kain tipis dan dingin!" teriak He, melihat ponsel yang baru saja diletakkan. Pandangannya lalu ke kantong saku Kim yang membesar. "Engkau... adalah penipu! Racunmu sudah menyerang kami!"
Ia melihat Xian bergidik kencang—demamnya semakin tinggi, dan cairan kental tumpah di bantal. "Itu bukan racun! Itu disinfektan!" teriak Kim, tapi He sudah panik.
"Jenderal Xian sudah mengalami koma parah yang final!" teriak He. "Aku akan membunuhmu!"
Kim mengambil kantong pakaiannya, mencoba mengangkat Xian yang berat 90 kilogram dengan zirahnya. "Anda harus membiarkan aku membawanya! Kami akan selamat!"
He berdiri di depan kakinya, pedangnya hanya berselisih satu jengkal dari pipi Kim. "Kamu tidak akan membawanya kemana-mana!"
Seketika itu juga, Xian menggerakkan tangan dengan sekuat tenaga, menyentuh luka di bahunya—darah mengucur. "Selesai!" teriak Kim, menarik napas dan memaksa diri untuk menggerakkan Xian ke arah pusaran dimensi.
Mereka terbungkus oleh kilau biru raksasa. Tepat sebelum He menyeruak, ia hanya melihat: bayangan biru melahap seluruh tubuh Jenderal Xian yang kotor, dan keduanya menghilang bersama dengan tumpukan cucian—tidak tertinggalkan apa-apa kecuali keheningan dan keheranan di tenda yang robek.