Kiandra Pravira, baru saja kembali ke Jakarta dengan hati yang hancur setelah dikhianati mantan kekasihnya yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Saat berusaha bangkit dan mencari pekerjaan, takdir membawanya bertemu dengan Axton Velasco, CEO tampan dari Velasco Group. Alih-alih menjadi sekretaris seperti yang ia lamar, Kiandra justru ditawari pekerjaan sebagai babysitter untuk putra Axton, Kenric, seorang bocah enam tahun yang keras kepala, nakal, dan penuh amarah karena kehilangan Ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Axton mengetuk pintu kamar Kenric terlebih dahulu sebelum membukanya. Dia tahu anaknya pasti menyalahkannya atas semua yang terjadi. Ketika tidak ada jawaban, dia pun masuk ke dalam.
"Nak? Bisakah kita bicara?" Kenric masih tidak menjawab.
"Untuk apa? Aku sedang tidak mood sekarang, Daddy. Biarkan aku sendiri." Kenric menatapnya dengan tatapan dingin.
"Kamu mendengar semuanya tadi. Aku ingin membuka pikiranmu. Nenekmu bukan orang baik. Dan tidak benar kalau aku mengabaikan kamu dan momy mu. Mommy mu memang tidak mencintaiku, jadi aku berjanji padanya bahwa aku akan menafkahi kalian. Dia setuju." Axton menghadap anaknya.
"Mommy tidak mencintaimu? Tapi aku benar-benar anakmu, kan Daddy?!"
Axton mengangguk.
"Ya. Aku tidak sengaja menghamili mommy mu. Dia punya pacar waktu itu. Kami sepakat bahwa aku akan menafkahimu. Kamu adalah anakku, Kenric." jawab Axton.
"Jadi Nenek yang salah dalam semua ini? Dia benar-benar tidak bisa dipercaya!" Kenric mencengkeram sprei tempat tidurnya dengan kuat.
"Ya, jangan khawatir. Aku akan melindungi rekening bank mommy mu. Nenekmu tidak akan bisa menyentuhnya. Mulai sekarang, jangan percaya padanya. Maaf karena baru sekarang aku memberitahumu. Istirahatlah. Panggil Kiandra jika kamu butuh sesuatu, atau hubungi aku." Axton hendak keluar ketika mendengar Kenric berbicara lagi.
"Maaf, Daddy. Aku tahu aku menyalahkanmu untuk semua ini. Maaf. Oh ya, si Kiandra yang 'jelek' itu baik. Kurasa dia menyukaimu." Axton terkekeh.
"Kamu sudah kumaafkan. Aku senang kamu menyukainya. Istirahatlah, nak." Axton tersenyum sebelum keluar dari kamar anaknya.
"Tuan, masih di sini?" tanya Kiandra seolah baru saja naik ke atas.
"Ya, aku bicara dengannya. Kami sudah menyelesaikan kesalahpahaman di antara kami." Kiandra tersenyum.
Cantik sekali.
"Benarkah? Bagus sekali. Sepertinya saya tidak dibutuhkan anak Tuan sekarang. Saya kembali ke dapur dulu, permisi." katanya.
"Tunggu. Dia bilang sesuatu tentangmu." Kiandra menoleh dengan senyuman.
"Maaf?" Axton tersenyum padanya.
"Apakah kamu menyukaiku, Kiandra?" Kiandra jelas terkejut dengan pertanyaan itu. Sepertinya dia sedang merona.
"T-Tidak, Tuan! Saya rasa dia salah paham! S-Saya tidak mungkin menyukai Tuan. Tidak mungkin!" Axton tertawa.
"Benarkah? Tidak apa-apa kalau kamu menyukaiku, Kiandra. Kamu tipe ku, kok. Kembali bekerjalah." Axton menepuk bahunya dan pergi. Dia tidak bercanda.
Kiandra memang tipenya.
Sejak pertama kali melihatnya ketika melamar kerja di perusahaan, Axton langsung merasa tertarik padanya. Penampilan dan kepribadiannya adalah tipenya. Sederhana tapi pemberani. Menyenangkan mengetahui bahwa dia menyukainya. Anaknya pun menyukainya. Axton hanya tidak ingin membuat Kiandra merasa tidak nyaman jika dia menunjukkan niatnya. Dia sadar bahwa akhir-akhir ini Kiandra merasa tidak nyaman ketika dia ada di sekitarnya. Jika memang benar Kiandra menyukainya, itu bagus. Dia tidak akan memaksanya untuk mengaku atau semacamnya. Biarkan semuanya berjalan secara alami.
***
Berulang-ulang perkataan Tuan Axton terngiang di telinga Kiandra. Kini malam telah tiba, dan ia sudah berada di kamarnya. Besok pagi, sang bos akan membawanya ke kantor untuk melakukan laporan kerjanya. Kenapa ia tidak membaca kontrak kerja itu dengan teliti? Menyebalkan sekali!
Tadi malam ia sempat menelepon ayahnya, Darius. Aiden benar-benar membuatnya jengkel! Kenapa Aiden mengatakan hal seperti itu kepada ayahnya? Ya Tuhan! Kiandra merasa sangat malu.
Kini ia mengguling-guling di atas tempat tidur, tidak bisa tidur sama sekali. Wajah seperti apa yang akan ia tunjukkan kepada Tuan Axton besok? Kiandra, kamu sudah mati! Tapi bukankah Tuan Axton bilang ia menyukainya? Sial! Apa yang sedang ia pikirkan?!
"Kamu sudah gila, Kiandra! Akui saja kalau kamu naksir sama bosmu!" gumamnya sambil terus mengguling-guling di tempat tidur.
"Lagipula, baru sebulan lebih aku putus dengan Aiden! Masa aku secepat itu bisa move on?! Ugh! Menyebalkan! Kenapa aku cepat sekali terikat dengan seseorang?! Tapi aku tidak mau! Mereka tidak akan mendapat apa-apa dariku. Aku sudah rusak!" Tiba-tiba ia teringat perkataan dokter kandungannya. Tidak akan ada yang bahagia dengan wanita sepertinya yang tidak bisa hamil. Makanya Aiden meninggalkannya.
Kiandra merasakan nyeri di dadanya. Kenapa tiba-tiba rasa sakit itu kembali? Selama sebulan ini ia tidak merasakannya. Seolah rasa sakit dan amarahnya kembali menghantui. Air mata mulai mengalir di pipinya. Cepat-cepat ia menyekanya. Tidak boleh matanya bengkak. Besok ia harus membuat laporan. Lebih baik ia tidur saja.
Kiandra terbangun sekitar pukul 4 pagi. Ia tahu mereka baru berangkat jam 8. Bukan karena ia bersemangat, oke? Ia hanya bangun lebih awal. Kiandra bangkit dan mencari pakaian untuk nanti. Ia harus berusaha tidak canggung di depan Tuan Axton. Semoga saja. Doakan dia beruntung. Ia memutuskan memakai jeans dan kaos bergaris. Menyisir rambut terlebih dahulu sebelum masuk kamar mandi.
Setelah mandi, Kiandra mengenakan pakaian rumah. Ia keluar kamar karena merasa lapar. Seperti biasa, ia jarang sarapan. Membuka kulkas dan mengambil mentega. Membuka lemari atas dan mengambil roti tawar. Ia juga mengambil pisau roti. Memanaskan wajan. Memotong roti tawar dan mengoleskan mentega. Setelah wajan panas, ia meletakkan irisan roti yang sudah diberi mentega. Ini hanya sarapan cepat. Semoga ia tidak terlambat juga.
"Pagi-pagi sekali kamu bangun." Helena terlihat sambil menggosok matanya yang masih mengantuk.
"Aku mau pergi. Akan membuat laporan di perusahaan Tuan Axton. Kamu jaga Kenric dulu ya. Aku akan segera kembali," kata Kiandra sambil mengangkat roti mentega buatannya.
"Ah, baik. Boleh aku minta satu?" Helena mengambil satu dan memakannya. "Enak sekali! Dulu kamu juru masak ya? Kamu bisa masak banyak hal."
"Tidak, kamu akan bisa kalau hidup sendiri. Cuma kemandirian saja itu," Kiandra tertawa.
Setelah selesai makan, Kiandra berpamitan pada Helena. Ia akan melihat Kenric sebentar. Tahu anak itu masih tidur. Menggunakan kunci cadangan kamar Kenric untuk membukanya. Lampunya mati, hanya lampu meja yang menyala. Anak itu tidur dengan tenang. Kiandra merasa senang karena hubungan ayah dan anak itu sudah baik. Semoga tidak ada pertengkaran lagi di antara mereka. Ia merapikan selimut Kenric. Perlahan-lahan keluar dari kamarnya.
"Kamu pagi sekali hari ini." Kiandra hampir mengumpat kaget.
"T-Tuan Axton! Aku hampir mengumpat karena kaget," katanya sambil memegang dadanya. Seperti jamur saja! Tiba-tiba muncul begitu.
"Oh! Maafkan aku. Kamu sedang mengecek dia?" Kiandra mengangguk. Jantung, tenang. Menyebalkan!
"Ya, Tuan. Ngomong-ngomong, apa yang Tuan lakukan di sini?" Pria itu tersenyum. Hentikan senyuman itu! Membuat meleleh. Menyebalkan!
"Jangan terlalu formal, Axton saja. Aku hanya lewat sini saja," katanya.
"A-ah, baik. Aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti, Axton." Kiandra cepat-cepat pergi dari hadapannya. Sulit sekali situasi seperti ini, tapi akan lebih ketahuan kalau ia menghindar. Apa yang harus dilakukannya?
Kiandra hanya menghabiskan waktu di kamarnya. Helena memanggilnya sekitar pukul 7:45 pagi. Axton sudah mau berangkat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum keluar kamar. Pasti Pak Herman yang akan menyetir mereka. Ia akan duduk di belakang. Tidak perlu duduk sebelahan dengan Axton. Bagus!
"Ayo berangkat?" sapanya begitu Kiandra keluar dari pintu utama.
"Mana Pak Herman? Dia yang menyetir kan, Axton?" Axton tersenyum.
"Tidak, dia hari libur hari ini. Masuk saja." Ia membukakan pintu kursi penumpang untuk Kiandra. Tidak ada pilihan lain. Ia harus duduk di sana. Sial sekali nasibnya!
Mereka diam saja sepanjang perjalanan. Suasananya sangat canggung. Kiandra hanya menatap ke luar jendela. Membosankan, perjalanan ini cukup panjang.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Axton memecah keheningan.
"Silakan." Kiandra masih menatap jendela.
"Kenapa kamu mau menerima pekerjaan yang kutawarkan? Aku tahu kamu butuh uang. Ada alasan lain?" Kiandra sudah menduga ia akan menanya hal ini.
"Jujur, aku tidak mau tinggal di rumahku sendiri. Di sana ada orang-orang yang mengkhianatiku saat aku pergi. Kamu mau tahu kenapa?" Pada saat itu Kiandra menatapnya. Axton mengangguk.
"Ya. Aku akan mendengarkan."
Kiandra kembali menatap jendela.
"Pacar lama aku selingkuh. Lebih parah lagi, dia menghamili adik perempuanku." Kiandra tersenyum pahit. "Tapi aku menerimanya saja. Tidak ada yang bisa aku lakukan juga. Lebih baik aku lari dari mereka. Makanya setiap hari libur aku tidak pulang ke rumah. Aku belum kuat, tapi suatu saat nanti pasti bisa."
"Kamu akan melupakannya suatu hari nanti. Kita tidak perlu membahas hal ini lagi."
Kiandra mengangguk.
Sepertinya Axton tidak terkejut dengan yang ia katakan. Ya, memang setiap orang punya sifat yang berbeda. Setidaknya ia sudah mengatakan alasan sebenarnya. Kiandra hanya memandang ke luar mobil. Ini akan menjadi hari yang panjang lagi untuknya.