Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Mulai Hancur"
Sementara itu, di kamar hotel, Karina bersandar di dada Halden. Jarinya mengusap pelan dada pria itu, namun pikirannya jauh dari kata tenang.
“Halden…” panggilnya lirih.
“Hm?” jawab Halden sambil menatap langit-langit kamar.
“Kamu beneran bahagia sama Luna?” tanya Karina tiba-tiba.
Halden terdiam beberapa detik.
“Kenapa nanya begitu?”
“Aku cuma pengin tahu,” ucap Karina sambil menatap wajah Halden, matanya menyimpan harap yang tak berani ia ucapkan.
Halden menghela napas panjang.
“Luna itu istri yang baik. Dia… sempurna.”
Jawaban itu membuat dada Karina terasa perih. Namun Halden melanjutkan,
“Tapi aku juga nyaman sama kamu.”
Karina tersenyum tipis, meski hatinya tak sepenuhnya tenteram.
“Aku cuma takut… suatu hari kamu ninggalin aku.”
Halden menoleh, menatapnya, lalu meraih wajah Karina.
“Tenang aja. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Namun di balik kata-kata itu, bahkan Halden sendiri tak sepenuhnya yakin pada isi hatinya.
~•---------------------------------------------•~
Beberapa hari kemudian, tepat di hari anniversary pernikahan Luna dan Halden, Luna mengambil cuti sehari penuh demi momen spesial ini. Sejak pagi, ia sudah menyiapkan segalanya—kue, makanan, dekorasi—semuanya telah siap. Kini, ia hanya tinggal menunggu Halden pulang.
Luna duduk di ruang tamu dengan rapi. Ia mengenakan gaun hitam yang membalut tubuh rampingnya, rambut tergerai lembut, dan riasan tipis yang mempercantik wajahnya.
*Dua jam berlalu.*
“Kok Halden belum pulang? Katanya mau pulang cepat. Atau macet ya?” gumam Luna gelisah. Pesannya belum juga dibalas.
Waktu terus berjalan. Hampir tiga jam Luna menunggu, dan beberapa hidangan di meja mulai dingin.
Tak lama kemudian, jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kesabaran Luna mulai menipis.
“Sudah hampir tengah malam, tapi belum pulang juga. Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas. Sebenarnya ke mana sih dia—”
Pintu depan tiba-tiba terbuka.
Luna yang mendengar suara itu segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, Halden berdiri di sana. Namun penampilannya jauh dari yang Luna harapkan.
Ia sempat membayangkan Halden datang membawa bunga atau hadiah kecil. Kenyataannya, Halden pulang dalam keadaan acak-acakan, dengan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.
“Kamu ke mana saja sih?!” tanya Luna sambil memapah Halden masuk ke dalam rumah.
Halden sempoyongan, tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Sayang… aku cinta kamu…”
Luna mendorongnya hingga Halden terhuyung dan jatuh ke sofa.
“Kamu ingat nggak hari ini hari apa? Ini anniversary pernikahan kita! Aku dari pagi menyiapkan semuanya, nunggu kamu berjam-jam, dan… ini yang kamu lakukan?!”
Dalam kondisi mabuk dan tersulut emosi oleh teriakan Luna, Halden berdiri meski tubuhnya masih limbung.
“Aku kerja! Emang kita harus ngerayain tiap tahun kayak gini, hah?! Apa gunanya sih?!”
Untuk pertama kalinya, Halden membentak Luna. Luna terdiam, terkejut.
“Kerja? Apa kamu sesibuk itu? Akhir-akhir ini kamu jarang pulang. Alasannya lembur, kerjaan banyak… emangnya itu benar? Atau jangan-jangan kamu selingkuh—”
*Plak.*
Tamparan keras mendarat di pipi Luna. Untuk pertama kalinya, Halden memukulnya.
Luna membeku. Pipinya terasa panas, dan tanpa sadar air matanya jatuh. Tangannya gemetar saat memegangi pipi yang memerah.
“Jangan kurang ajar!” bentak Halden dingin.
Setelah itu, ia pergi ke kamar, meninggalkan Luna sendirian di ruang tamu—bersama meja makan yang dingin dan hati yang hancur.
Luna terduduk perlahan di lantai, punggungnya bersandar pada sisi sofa. Tangisnya pecah tanpa suara, hanya bahunya yang naik turun menahan sesak di dada. Pandangannya kosong menatap meja makan yang penuh hidangan dingin—makanan yang ia siapkan dengan cinta, kini tak lagi bermakna.
Tangannya meraih ponsel di atas meja. Ada puluhan pesan yang ia kirim sejak sore, semuanya tak berbalas. Luna tertawa getir.
*Sejak kapan aku harus memohon perhatian dari suamiku sendiri?*
Malam itu terasa begitu panjang. Luna akhirnya bangkit, merapikan sisa makanan yang tak tersentuh. Kue anniversary yang sudah ia pesan khusus hanya ia masukkan kembali ke dalam kotak, lalu disimpan di kulkas. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi lantai dapur.
Ia masuk ke kamar dengan langkah pelan. Halden sudah tertidur di atas ranjang, masih mengenakan pakaian kerjanya, napasnya berat berbau alkohol. Luna berdiri lama di ambang pintu, menatap pria yang dulu begitu ia cintai—pria yang dulu memandangnya seolah dunia hanya berisi dirinya.
Perlahan, Luna menyentuh pipinya yang masih terasa perih. Bukan hanya tamparan itu yang menyakitkan, tapi kenyataan bahwa ia tak lagi mengenali sosok Halden.
“Apa aku salah?” bisiknya lirih, pada diri sendiri.
Ia memilih tidur di kamar tamu malam itu. Untuk pertama kalinya sejak menikah, Luna menjauh dari ranjang yang biasa mereka bagi bersama.
Sementara itu, di kamar utama, Halden terbangun sesaat. Kepalanya berdenyut hebat. Potongan kejadian tadi malam terlintas samar—teriakan Luna, meja makan, dan… tamparan itu.
Dadanya terasa sesak.
Namun alih-alih bangkit dan mencari Luna, Halden justru memejamkan mata kembali. Ia memilih lari dari rasa bersalahnya sendiri.
Di kamar tamu, Luna menatap langit-langit, matanya kering karena terlalu banyak menangis. Dalam hatinya, sebuah keputusan perlahan mulai terbentuk—keputusan yang bahkan ia sendiri belum berani ucapkan.
Malam itu, anniversary pernikahan mereka tak hanya berakhir dengan air mata, tapi juga retakan yang mungkin tak akan pernah bisa disatukan kembali.