Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. DIA GILA
Hujan turun deras malam itu, mengguyur halaman rumah besar keluarga Wattson. Dari balik jendela ruang makan yang luas, Elena duduk sendirian di kursi panjang, menatap meja yang sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan hangat yang kini mulai dingin.
Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Suaminya, Raven Wattson, belum juga pulang.
Tiga tahun pernikahan. Dan setiap kali hujan turun seperti ini, Elena selalu menunggu. Dulu, Raven selalu pulang membawa senyum dan seikat bunga mawar putih. Tapi malam ini, yang datang hanya dingin dan sepi yang menggigit.
Elena menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di jendela. Wajahnya masih muda, cantik, lembut, tapi di matanya, tampak semburat lelah. Sudah lama ia merasa jarak antara dirinya dan Raven kian melebar.
Pekerjaan Raven di perusahaan besar miliknya memang menyita waktu. Tapi lebih dari itu, Elena mulai merasa Raven tidak lagi memandangnya dengan cara yang sama seperti dulu.
"Dia pasti sibuk," gumam Elena pelan, berusaha menenangkan diri. "Atau mungkin masih rapat dengan dewan."
Namun hatinya tetap gelisah. Ia mengambil ponselnya di meja, menatap layar kosong tanpa notifikasi. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, bahkan tidak ada tanda Raven mengingat kalau malam ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga.
Ia menelan ludah, menahan getir yang tiba-tiba muncul di tenggorokannya.
Tiga tahun menikah, tapi sepertinya Raven sudah lupa pada semua janji yang pernah ia ucapkan dulu di depan altar.
Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar dari luar. Elena berdiri spontan, hatinya sedikit lega. Ia buru-buru merapikan rambut dan gaun sederhana berwarna krem yang dikenakannya, lalu bergegas ke pintu.
Begitu pintu terbuka, udara dingin bercampur aroma hujan langsung menyapa. Di depan sana, Raven Wattson berdiri di bawah payung hitam, mengenakan jas abu-abu yang masih rapi. Wajahnya tampan seperti biasa, tapi malam ini, matanya tidak memancarkan kehangatan. Hanya dingin, seperti malam yang menelannya.
"Raven ...," suara Elena bergetar halus. "Kau baru pulang? Aku sudah-"
"Masuk dulu," potong Raven datar sambil menutup payungnya. Ia masuk tanpa menatap wajah Elena.
Elena mengerutkan kening. "Aku sudah menyiapkan makan malam. Sup favoritmu, dan-"
"Aku tidak lapar," katanya lagi, dingin.
Langkah Raven menuju ruang tamu terasa berat, tapi tegas. Ia menaruh jasnya di sandaran kursi, lalu menatap sekeliling ruangan seakan sedang menimbang sesuatu.
Ada keheningan yang menegangkan. Elena bisa merasakan sesuatu yang aneh dari suaminya malam itu.
"Raven?" suaranya mulai pelan. "Ada apa? Kau terlihat-"
"Duduklah," ucap Raven yang terdengar seperti perintah.
Nada suara Raven membuat Elena menelan ludah. Ia menatap pria itu dengan bingung, tapi akhirnya duduk di kursi seberang.
Raven menatapnya lama. Sorot matanya dingin, tajam, dan penuh sesuatu yang Elena tak bisa definisikan, mungkin amarah, atau justru kebencian.
"Aku ingin kita bicara serius malam ini," ucap Raven tanpa ekspresi.
Jantung Elena berdetak cepat. "Tentang apa?"
Raven menarik napas dalam, lalu berkata pelan namun tegas, "Aku akan menikah lagi."
Dunia Elena seakan berhenti berputar.
Kata-kata itu jatuh begitu saja, menampar keras seluruh kesadarannya. Ia sempat berpikir ia salah dengar, tapi tatapan Raven terlalu serius untuk itu.
"Kau ... apa?" konfirmasi Elena nyaris tak terdengar.
"Aku akan menikah lagi, Elena," ulangnya dengan nada datar. "Dengan seorang wanita yang bisa memberiku keturunan."
Elena menatap Raven tak percaya. Tubuhnya membeku, bibirnya bergetar. "Keturunan? Apa maksudmu?"
Raven menegakkan punggungnya. "Kau tahu keluargaku. Mereka selalu menuntut penerus, pewaris untuk perusahaan. Aku sudah menundanya terlalu lama. Dan aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."
"Pura-pura?" Elena nyaris tertawa getir. "Kau bicara seolah aku yang menipu. Aku sudah berusaha, Raven. Aku sudah melalui pemeriksaan, pengobatan, tapi masalahnya-"
"Dan hasilnya nihil!" potong Raven, suaranya meninggi. "Tiga tahun, Elena. Tiga tahun aku menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda kita akan punya anak!"
Elena menggigit bibirnya. "Jadi itu alasanmu? Karena aku belum bisa memberimu anak, kau mau menikah lagi?"
"Aku tidak 'mau'. Aku harus," kata Raven tegas. "Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang keluarga Wattson. Tentang nama dan masa depan perusahaan. Aku tidak bisa membiarkan segalanya berakhir hanya karena kau ... mandul."
Kata itu menusuk jantung Elena seperti belati.
Mandul.
Elena menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Kau tega mengatakan itu padaku? Kita sudah bersama sejak lama, bahkan saat kita masih belasan tahun. Dan sekarang kau ..."
"Aku hanya bicara kenyataan," jawab Raven dingin. "Kau sendiri yang bilang kalau kemungkinannya kecil "
Elena berdiri dari kursinya. "Tapi kita bisa mengadopsi! Kita sudah bicarakan itu, Raven!"
"Dan orang tuaku tidak akan pernah setuju," balasnya cepat. "Mereka tidak mau penerus Wattson berasal dari darah orang lain."
Air mata mulai jatuh di pipi Elena. "Jadi kau rela menghancurkan rumah tangga kita hanya demi darah dan pewaris?"
"Ini bukan soal rela atau tidak," ucap Raven, suaranya rendah tapi tegas. "Ini kewajiban."
Elena menatapnya lama. "Siapa dia?"
Raven terdiam sesaat, lalu berkata pelan, "Namanya Jessy."
Elena merasa dadanya sesak. "Sejak kapan kau bersamanya?"
"Tidak penting."
"Jawab aku, Raven!" bentak Elena. "Sejak kapan?!"
Raven menatapnya tajam, kemudian berkata dengan nada penuh kejijikan terhadap situasi, "Setahun."
Satu tahun.
Elena memundurkan langkah, nyaris kehilangan keseimbangan. "Kau ... kau berselingkuh selama satu tahun, di belakangku?"
Raven mengalihkan pandangan. "Jangan buat ini semakin sulit, Elena. Aku sudah cukup menahan diri."
"Menahan diri?!" Elena hampir menjerit. "Kau tidur dengan wanita lain dan menyebut itu 'menahan diri'? Tuhan, Raven, aku tidak percaya-"
"Cukup!" Raven menepuk meja keras. "Aku tidak mau membahas hal ini dengan emosi."
"Terlambat," kata Elena dengan air mata deras. "Kau sudah menghancurkan semuanya."
Raven mendengus, lalu berkata tanpa ekspresi, "Wanita itu mengandung anakku."
Elena terpaku. Waktu seolah berhenti di detik itu.
"Apa ... yang kau katakan?" suaranya serak.
"Jessy sedang mengandung anakku," ulang Raven, matanya dingin dan tak terguncang. "Jadi pernikahan ini bukan hanya keinginanku. Ini tanggung jawab."
Elena menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh menimpanya sekaligus. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Napasnya terengah.
"Jadi saat aku menunggumu pulang setiap malam ...," suaranya bergetar. "Kau ada di pelukannya?"
Raven tidak menjawab. Hening lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.
"Dan sekarang kau datang, mengatakan akan menikahi dia karena dia sedang mengandung anakmu?" Nada Elena meninggi. "Kau pikir aku bisa menerima itu begitu saja?!"
"Aku tidak meminta persetujuanmu," balas Raven dingin. "Aku hanya memberitahumu."
Elena menatapnya dengan amarah dan kesedihan yang campur aduk. "Kau kejam."
"Aku realistis."
"Tidak, kau pengecut!" Elena menunjuk Raven dengan tangan gemetar. "Kau berselingkuh, lalu bersembunyi di balik alasan keluarga dan keturunan untuk membenarkan pengkhianatanmu!"
Raven terdiam beberapa saat sebelum berkata datar, "Kalau saja kau bisa memberiku anak, aku tidak akan melakukan ini."
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam hati Elena berkali-kali.
Elena menangis tanpa suara, dadanya naik turun menahan isak. Selama ini, ia menyalahkan dirinya sendiri atas kegagalan mereka memiliki anak. Tapi mendengar itu langsung dari mulut Raven, menghancurkan seluruh harga dirinya sebagai perempuan.
"Jadi semuanya salahku, ya?" ucap Elena lirih. "Semua yang terjadi ... karena aku mandul?"
Raven mengangkat dagunya sedikit. Ada rasa iba di matanya. "Aku tidak bermaksud menyakiti-"
"Tapi kau sudah melakukannya!" teriak Elena. "Lebih dari siapa pun!"
Elena menatap pria di depannya yang kini tak lagi dikenalnya. Raven Wattson, suaminya selama tiga tahun, pria yang dulu mencium keningnya setiap pagi dan berjanji akan mencintainya dalam suka dan duka ... kini berdiri di hadapannya sebagai orang asing tanpa hati.
"Kalau begitu, kita bercerai," kata Elena dengan nada gemetar tapi tegas. "Aku tidak mau hidup dengan pria yang mengkhianatiku."
Raven menatapnya datar. "Tidak."
Elena tercengang. "Apa maksudmu 'tidak?"
"Aku tidak akan menceraikanmu," kata Raven dingin. "Aku akan menikahi Jessy, tapi kau tetap istriku secara sah. Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikan Jessy. Kita akan mengurus bayinya, kau akan menjadi ibu."
Elena nyaris tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Kau gila! Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup dengan dua wanita seperti itu? Menjadi ibu dari selingkuhanmu? Aku tidak sudi."
Raven menatapnya dengan tatapan tajam. "Kau seharusnya bersyukur aku tidak menceraikanmu sekarang."
"Bersyukur?" Elena menatapnya dengan mata basah. "Atas apa? Atas penghinaanmu?"
"Atas kenyataan bahwa aku masih mau mempertahankanmu," jawab Raven dingin. "Kau pikir banyak pria yang mau menerima perempuan mandul? Tidak ada, Elena. Tidak ada pria yang mau hidup tanpa harapan untuk punya anak."
Elena menampar Raven. Suara tamparan itu bergema keras di ruangan besar itu, diikuti isak yang pecah dari bibir wanita itu.
Raven memegang pipinya perlahan, tapi tidak membalas. Ia hanya menatap Elena dengan tatapan tajam yang dingin seperti baja.
"Kalau itu yang kau mau,_ kata Elena sambil menahan tangis, $aku akan menuntut cerai besok pagi."
"Silakan coba," kata Raven datar. "Tapi aku akan bicara pada orang tuaku terlebih dahulu. Mereka tidak akan membiarkan perceraian ini terjadi."
Elena melangkah mundur. "Kau benar-benar tidak punya hati."
Raven meraih jasnya, mengenakannya kembali dengan tenang. "Aku punya hati, Elena. Tapi bukan untuk hal-hal yang sudah tidak ada harapannya."
Raven berjalan menuju pintu, tapi berhenti sejenak sebelum keluar. Tatapan terakhirnya penuh dingin dan penghinaan.
"Kau harus bersyukur, Elena," katanya pelan. "Masih ada pria seperti aku yang mau bertahan di samping perempuan sepertimu. Karena di luar sana tidak ada satu pun pria yang mau menerima wanita mandul."
Lalu ia pergi. Pintu tertutup keras di belakangnya, meninggalkan keheningan yang menyesakkan.
Elena berdiri terpaku di tengah ruang tamu, tubuhnya gemetar. Air mata terus mengalir di wajahnya, membasahi pipi dan dagunya. Ia menatap meja makan yang masih penuh hidangan ... simbol kesetiaannya, yang kini tampak begitu sia-sia.
Dalam diam, Elena menurunkan tubuhnya ke lantai. Tangannya menutupi wajah, isak tangisnya pecah begitu keras hingga menggema di seluruh ruangan besar itu.
Hatinya hancur. Seluruh dunianya runtuh dalam satu malam. Dan di balik tangisnya, Elena tahu satu hal dengan pasti; ia tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan itu.
Apa pun yang terjadi, ia akan bercerai dengan Raven Wattson. Karena bagi Elena, pengkhianatan adalah hal paling keji yang tak bisa ditebus dengan alasan apa pun.
Dan di tengah tangis yang terus mengguncang tubuhnya, Elena bersumpah dalam hati bahwa ini akan menjadi malam terakhir ia menangisi pria bernama Raven Wattson.
masih penasaran sm mlm pertama mereka berdua, othor nih bikin penasaran aja deh 😁
kalau Elena gak mandul, semoga yg mandul Raven dan ternyata Jessy hamil dgn pria lain, pasti aku akan bersorak kegirangan 🤣
selamat atas pernikahan Hans dgn Elena dan selamat untuk Theo akhirnya Elena jadi Mama nya beneran 😍
jangan jadi hama😤.