Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Mobil SUV hitam milik Arkan meluncur mulus memasuki pekarangan rumah mewah mereka. Suasana di dalam mobil masih penuh tawa sisa kejadian di mall tadi. Mama Rina bersenandung riang di kursi belakang sambil mengecek kembali daftar belanjaan cucu halu-nya.
Namun tawa itu mendadak lenyap begitu mobil berhenti di depan garasi.
Di depan pintu utama yang megah, berdiri seorang pria jangkung dengan kemeja biru muda yang rapi. Pria itu memegang sebuah buket bunga lili putih yang besar. Dia berdiri dengan pose melankolis seperti pemeran utama video klip lagu sedih tahun 2000-an.
Arkan mematikan mesin mobil. Matanya menyipit menatap sosok asing itu.
"Siapa tuh, Ra? Tukang kebun baru? Kok rapi bener pake kemeja? Atau sales asuransi yang mau nawarin perlindungan hati?" tanya Arkan asal.
Keira yang duduk di samping kemudi terpaku. Wajahnya yang tadi ceria berubah pucat pasi. Dia mengenali punggung tegap itu. Dia mengenali gaya rambut itu. Dan dia sangat mengenali bunga lili putih itu.
"Dimas," gumam Keira pelan, nyaris tak terdengar.
"Siapa? Dimas? Dimas Kanjeng yang bisa gandain uang?" tanya Arkan lagi, kali ini nadanya sedikit menajam karena melihat reaksi istrinya yang aneh.
"Bukan Arkan. Itu Dimas. Mantan pacar gue pas kuliah. Yang ninggalin gue pas lagi sayang-sayangnya demi ngejar beasiswa ke Belanda," jelas Keira dengan suara bergetar. Ada rasa marah, sedih, dan kaget bercampur jadi satu.
Rahang Arkan mengeras seketika. Naluri jantan dan teritorinya langsung menyala. Mantan pacar? Datang ke rumah? Bawa bunga? Cari mati rupanya.
"Oh, jadi ini si Kampret yang bikin lo susah move on dulu? Berani banget dia nampakin batang hidungnya di sini. Belum tau dia berurusan sama siapa," desis Arkan sambil membuka sabuk pengamannya dengan kasar.
"Arkan tunggu! Jangan emosi. Biar gue yang ngomong," cegah Keira menahan lengan Arkan.
"Enggak bisa. Ini wilayah kekuasaan gue. Ada orang asing masuk bawa bunga buat istri gue, itu namanya ngajak perang," Arkan menepis tangan Keira lembut tapi tegas lalu keluar dari mobil.
Mama Rina dan Papa Wijaya di kursi belakang ikut bingung.
"Itu siapa Arkan? Tamu kalian?" tanya Mama Rina saat Arkan membukakan pintu untuknya.
"Bukan Ma. Itu hama. Mama sama Papa masuk aja dulu lewat pintu samping. Arkan mau semprot pestisida dulu," kata Arkan beralasan.
Arkan berjalan gagah menghampiri Dimas. Keira buru-buru menyusul di belakangnya, takut suaminya melakukan hal gila seperti melempar Dimas pakai pot bunga.
Dimas yang mendengar suara langkah kaki berbalik. Wajahnya tampan, tipe cowok baik-baik dan puitis. Dia tersenyum lebar saat melihat Keira.
"Keira. Hai. Lama tidak jumpa," sapa Dimas lembut. Dia mengabaikan keberadaan Arkan yang berdiri di samping Keira dengan wajah siap menerkam.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Keira dingin.
"Aku baru pulang dari Belanda minggu lalu Ra. Aku dengar kamu sudah menikah, tapi aku enggak percaya. Aku pikir itu cuma gosip. Aku ke sini mau minta maaf dan memperbaiki semuanya," kata Dimas penuh percaya diri. Dia menyodorkan bunga lili itu. "Ini bunga kesukaan kamu kan?"
Belum sempat Keira menjawab, Arkan sudah maju selangkah. Dia mengambil bunga lili itu dengan kasar.
"Wah, makasih ya Mas. Kebetulan banget saya lagi butuh bunga buat ziarah ke makam kucing tetangga. Mas tau aja selera kucing saya," kata Arkan sarkas.
Dimas melongo. Dia menatap Arkan dengan tatapan terganggu.
"Maaf, Anda siapa ya? Sopir Keira? Tolong jangan ikut campur urusan pribadi kami," kata Dimas angkuh.
Arkan tertawa. Tawa yang sangat menyeramkan. Dia dibilang sopir? Padahal dia pakai jam tangan Rolex seharga rumah tipe 36 kebanggaan Dimas mungkin.
"Kenalin. Saya Arkan Zayden. Suami sah, legal, dan halal dari Keira Anindya Zayden. Wanita yang lagi Mas ganggu ini," Arkan merangkul pinggang Keira erat, menarik tubuh istrinya menempel padanya. "Dan Mas ini siapa? Tukang antar bunga?"
Wajah Dimas berubah merah padam. Dia menatap tangan Arkan di pinggang Keira dengan tatapan tidak suka.
"Saya Dimas. Mantan kekasih Keira. Dan saya yakin Keira menikah sama kamu cuma karena terpaksa kan? Saya dengar perjodohan bisnis keluarga Anindya lagi krisis," tembak Dimas tepat sasaran.
Keira tersentak. Dimas tahu soal kondisi perusahaan papanya.
"Ra, bilang sama aku. Kamu enggak bahagia kan sama dia? Liat gayanya yang urakan begini. Dia pasti enggak ngerti seni dan sastra kayak kita dulu. Tinggalin dia Ra. Kita mulai lagi dari awal. Aku udah sukses sekarang. Aku udah jadi arsitek di firma ternama," bujuk Dimas tanpa tahu malu.
Arkan mendengus. "Urakan? Mas, kemeja flanel saya ini harganya lebih mahal dari tiket pesawat Mas ke Belanda. Jangan nilai buku dari sampulnya. Sastra enggak bikin kenyang. Cinta doang enggak bisa bayar listrik."
"Keira, jawab aku," desak Dimas mengabaikan Arkan.
Keira menarik napas panjang. Dia menatap Dimas. Dulu, dia memang sangat mencintai pria ini. Tapi itu dulu. Sebelum pria ini pergi tanpa pamit dan memblokir semua kontaknya.
"Dimas. Lo telat. Telat banget. Gue udah nikah. Dan asal lo tau, gue bahagia. Suami gue emang urakan, tengil, dan nyebelin. Tapi dia selalu ada buat gue. Enggak kayak lo yang pengecut lari dari masalah," ucap Keira tegas dan lantang.
Arkan tersenyum puas. Dia merasa menang telak. Dia mencium pelipis Keira di depan Dimas.
"Denger tuh Mas Arsitek. Istri gue udah move on. Jadi mending Mas bawa balik bunga kuburan ini dan pergi dari rumah saya sebelum saya panggil satpam komplek buat nyeret Mas keluar," usir Arkan.
Dimas terlihat tidak terima. "Aku enggak percaya. Kamu pasti ditekan sama dia kan Ra? Mata kamu bilang kalau kamu masih cinta sama aku."
"Halu lo ketinggian Mas. Turun dikit napa," cibir Arkan.
Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar. Mama Rina muncul dengan wajah penasaran. Dia membawa segelas jus jeruk, seolah sedang menonton pertunjukan topeng monyet.
"Ada apa ini ribut-ribut? Siapa pemuda ganteng tapi mukanya melas ini?" tanya Mama Rina polos.
Dimas melihat Mama Rina dan langsung menggunakan kesempatan itu untuk mencari simpati.
"Selamat siang Tante. Saya Dimas, teman dekat Keira. Saya cuma mau silaturahmi tapi suami Keira ini melarang saya," adu Dimas dengan wajah sok tersakiti.
Mama Rina menatap Dimas dari ujung kaki sampai kepala. Insting mertuanya bekerja.
"Oh, kamu mantannya Keira ya? Yang ninggalin dia itu? Wah, berani juga kamu datang ke kandang macan," komentar Mama Rina santai lalu menyeruput jusnya.
Tepat saat itu, mobil boks pengiriman barang dari toko perlengkapan bayi sampai. Dua kurir menurunkan barang belanjaan mereka tadi. Termasuk stroller bayi berlapis emas yang sangat mencolok mata itu.
"Permisi Pak Arkan! Ini kereta bayinya mau ditaruh di mana?" teriak kurir itu.
Mata Dimas membelalak melihat kereta bayi emas itu. Dia menatap perut Keira yang tertutup gaun longgar. Otaknya langsung menyimpulkan satu hal.
"Ka-kamu ... hamil?" tanya Dimas gagap.
Arkan melihat peluang emas ini. Dia langsung menyeringai lebar.
"Iya dong. Tokcer kan saya? Sekali tembak langsung jadi. Udah jalan tiga bulan nih. Makanya Mas jangan ganggu. Istri saya enggak boleh stres, nanti bayinya ikut stres," bohong Arkan dengan sangat meyakinkan. Dia bahkan mengelus perut rata Keira dengan sayang.
Keira ingin memprotes tapi Arkan mencubit pinggangnya pelan sebagai kode. Iikutin aja alurnya, isyarat mata Arkan.
"Iya Dimas. Gue lagi hamil. Jadi tolong jangan ganggu keluarga kecil kami lagi," tambah Keira terpaksa berbohong demi mengusir hama ini.
Dimas terlihat hancur berkeping-keping. Harapannya musnah. Keira sudah hamil. Itu artinya dia benar-benar sudah terlambat.
"Aku ... aku enggak nyangka. Selamat kalau begitu," ucap Dimas dengan suara parau. Dia meletakkan kartu namanya di meja teras. "Kalau kamu butuh apa-apa, atau kalau dia nyakitin kamu, hubungi aku Ra. Aku akan selalu nunggu kamu."
"Enggak bakal butuh. Tong sampah kami udah penuh. Sana pergi," usir Arkan lagi.
Dimas akhirnya berbalik dan berjalan pergi dengan langkah gontai. Punggungnya terlihat sangat menyedihkan. Drama mantan terindah resmi berakhir tragis.
Setelah mobil Dimas menghilang dari pandangan, Arkan langsung melepaskan rangkulannya dan membuang bunga lili itu ke tong sampah.
"Puas lo ketemu mantan? Seneng liat dia ngemis-ngemis cinta?" tanya Arkan ketus. Dia cemburu. Sangat cemburu.
Keira menatap Arkan heran. Tadi Arkan manis sekali membelanya, kenapa sekarang jadi jutek lagi?
"Apaan sih lo. Siapa yang seneng. Gue kan udah usir dia tadi. Lo juga denger sendiri," bela Keira.
"Tapi lo sempet ragu kan tadi? Lo sempet diem lama pas dia nanya lo bahagia apa enggak. Lo pasti bandingin gue sama dia kan? Dia arsitek, puitis, ganteng. Gue cuma pengusaha yang taunya cari duit," Arkan mulai meracau insecure.
Keira tertawa kecil. Dia mendekati Arkan dan memegang kedua pipi suaminya.
"Arkan Zayden. Dengerin gue. Dimas itu masa lalu. Lo itu masa depan. Emang dia arsitek, tapi dia ngeruntuhin hati gue. Lo emang tukang cari duit, tapi lo yang bangunin lagi kepercayaan diri gue. Jadi jangan bandingin diri lo sama dia. Lo menang telak," ucap Keira tulus.
Mata Arkan yang tadi berkilat marah perlahan meredup. Senyum tipis mulai muncul di bibirnya.
"Beneran? Gue menang?"
"Iya. Lo menang. Apalagi lo tadi bohong soal hamil. Pinter banget sih ngelesnya," puji Keira.
"Itu bukan bohong Ra. Itu doa. Liat tuh Mama udah senyum-senyum liatin kereta emasnya," Arkan menunjuk Mama Rina yang sedang sibuk mengelap kereta bayi emas itu dengan tisu basah seolah itu benda keramat.
"Aduh, cucu Nenek nanti naik kereta kencana ya. Jangan sampai debu nempel setitik pun," gumam Mama Rina pada kereta bayi kosong itu.
Arkan dan Keira geleng-geleng kepala.
"Kayaknya kita harus kerja keras malam ini Ra. Kasihan Mama udah halu tingkat dewa," bisik Arkan.
"Kerja keras apaan?" tanya Keira pura-pura polos.
"Bikin adonan roti. Ya bikin anak lah! Masa bikin candi!" gemas Arkan.
"Ogah. Pinggang gue masih sakit gara-gara yoga tadi pagi," tolak Keira lalu berjalan masuk ke rumah meninggalkan Arkan.
"Yah, Ra! Dikit aja! Lima menit!" teriak Arkan mengejar istrinya.
"Lima menit? Cepet amat lo. Lemah!" ledek Keira dari dalam rumah.
Arkan berhenti berlari. Harga dirinya tersentil.
"Wah, nantangin dia. Liat aja nanti malem. Gue buktiin durasi gue bisa saingan sama drama India," gumam Arkan bertekad.
Malam itu rumah Zayden kembali ramai. Bukan karena pertengkaran, tapi karena perdebatan konyol soal nama calon anak yang bahkan belum ada wujudnya. Mama Rina mengusulkan nama-nama ningrat seperti Raden Mas Aldebaran, sementara Arkan ngotot mau kasih nama Goku Zayden biar anaknya kuat.
Keira hanya bisa memijat keningnya. Punya satu Arkan saja sudah pusing, apalagi kalau nanti punya anak yang sifatnya sama persis. Tapi jauh di lubuk hatinya, Keira merasa hangat. Rumah ini benar-benar terasa seperti rumah. Dan gangguan dari mantan pacar tadi justru menyadarkan Keira bahwa hatinya memang sudah berlabuh sepenuhnya pada si tengil Arkan.
Namun kedamaian itu hanya sementara. Ponsel Arkan bergetar di saku celananya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Arkan membaca pesan itu diam-diam di kamar mandi. Wajahnya menegang. Clara sudah di penjara. Lalu siapa lagi? Apakah dia punya mantan lain yang dia lupakan?
Arkan mencoba mengingat-ingat daftar mantannya yang berderet seperti gerbong kereta. Sepertinya dia harus mulai membuat daftar dosa masa lalu sebelum bom waktu itu meledak di hadapan Keira.