Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pernikahan
Duke Jasper Gideon melangkah kembali ke tengah ruangan, meninggalkan Emelia sendirian di dekat jendela, wajahnya memerah padam karena rasa malu yang luar biasa akibat salah pahamnya sendiri. Pria itu kini memunggunginya, memandang ke arah pintu, punggungnya yang bidang dan basah masih hanya tertutup handuk.
Tanpa menoleh, Duke Gideon berkata dengan nada tenang, "Sudah lihat 'kan? Sekarang tidurlah. Agar besok bisa menjalankan pernikahan dengan sempurna."
Kata-kata terakhir itu bagai sambaran petir di siang bolong bagi Emelia. Darahnya berdesir dingin, mengalahkan rasa malunya tadi. Ia berbalik dengan cepat, menatap punggung Duke dengan mata terbelalak.
"A-apa maksud Tuan?" tanya Emelia, suaranya tercekat di tenggorokan.
Duke Gideon menoleh sedikit, tatapan matanya kembali dingin dan tanpa emosi, kontras dengan tawa mengejeknya barusan. "Pernikahan kita," jawabnya singkat dan padat, seolah itu adalah hal yang paling wajar di dunia.
"Be-besok?" Emelia melangkah maju, rasa takut yang luar biasa menguasai dirinya lagi. "Tapi... tidak mungkin secepat ini! Tidak ada persiapan, tidak ada apa-apa!"
Duke Gideon akhirnya berbalik sepenuhnya menghadap Emelia, tangannya bersedekap di dada. "Persiapan sudah diatur oleh kepala pelayan. Pendeta akan datang besok pagi. Gaun pengantinmu sedang disiapkan. Tidak ada yang kurang."
Emelia menggelengkan kepalanya panik. "Tapi... ini pemaksaan! Ayahku... dia tidak tahu akan secepat ini!"
"Ayahmu menandatangani perjanjian yang memberiku hak penuh atas dirimu, Nona Emelia," potong Duke dengan tajam. "Jatuh tempo sudah lewat. Aku menuntut bayaran, dan aku tidak suka membuang waktu. Kau akan menjadi istriku besok, dan hutang ayahmu lunas. Sederhana."
Emelia merasa dunianya runtuh untuk kedua kalinya. Dia mengira masih ada waktu untuk mencari cara, untuk beradaptasi, atau bahkan mungkin melarikan diri. Tapi besok? Tidak ada jalan keluar. Dia menatap pria di depannya, pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan jam—seorang bangsawan kejam yang dingin, yang memperlakukannya tak lebih dari objek tawar-menawar.
Duke Gideon melihat kepanikan di mata Emelia, tetapi tidak menunjukkan simpati sedikit pun. "Kau punya waktu kurang dari delapan jam untuk beristirahat," ujarnya, melirik jam dinding emas besar. "Pastikan kau terlihat layak sebagai Duchess besok pagi. Aku tidak suka hal yang tidak sempurna."
Dengan itu, tanpa menunggu jawaban Emelia, Duke Jasper Gideon melenggang keluar dari kamar dan menutup pintu. Kali ini, bunyi klik kunci terdengar lebih keras dan final, mengunci takdir Emelia di balik pintu kamar mewah itu.
Sinar matahari pagi menembus celah gorden tebal yang semalam disingkap Duke, jatuh tepat di wajah Emelia. Matanya mengerjap, kepalanya terasa berat karena tangisan semalaman dan kurang tidur. Saat kesadarannya pulih, kenyataan pahit tentang pernikahannya hari ini menghantamnya kembali.
Emelia membuka matanya sepenuhnya dan terlonjak kaget. Kamarnya yang tadinya kosong kini penuh sesak. Ada setidaknya lima pelayan wanita, masing-masing memegang gaun sutra, perhiasan, atau peralatan mandi, semua menatapnya dengan ekspresi hormat namun penuh rasa ingin tahu.
"Kalian kenapa di sini?" tanya Emelia panik, refleks menarik selimut menutupi dadanya.
Seorang pelayan yang lebih tua dan tampak seperti pemimpin, mungkin kepala pelayan wanita, melangkah maju dengan tenang. "Nona, kami disuruh Tuan Duke untuk mengurus Nona. Ini adalah hari pernikahan Nona, kami harus memastikan Nona siap tepat waktu." Dia tersenyum ramah. "Ayo, Nona. Sebaiknya Nona segera mandi dan berdandan. Waktu kita tidak banyak."
Emelia, yang masih shock dengan situasi itu, akhirnya menurut. Para pelayan itu, dengan gerakan terkoordinasi dan efisien, membimbingnya ke kamar mandi marmer yang mewah. Setelah Emelia mandi dengan air hangat beraroma, mereka mendandaninya. Emelia didudukkan di depan meja rias, rambutnya ditata dengan indah, wajahnya dipoles riasan tipis dan alami, dan tubuhnya dibalut gaun pengantin putih yang terbuat dari satin dan renda terbaik—gaun yang pasti bernilai ribuan kali lipat dari seluruh hartanya.
Di tengah proses penataan rambut, salah satu pelayan muda, yang terlihat lebih ramah, berbisik penasaran. "Nona, maafkan saya lancang bertanya. Tapi... kenapa bisa Nona ingin dinikahi Tuan Duke? Selama ini, Tuan Duke sering dijodohkan oleh kakeknya dengan putri bangsawan lainnya, dari keluarga terkaya dan tercantik, tapi Tuan selalu menolak mentah-mentah."
Emelia tersentak mendengar itu. Jadi dia bukan pilihan pertama? Dia hanya... pilihan karena ayahnya berhutang? Rasa sakit itu kembali mencubit hatinya. Emelia tidak menjawab, hanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan kosong.
Melihat Emelia diam, pelayan lain, yang lebih tua, menyela dengan nada menenangkan. "Nona tenang saja, Tuan Duke sangat baik, kok. Dia memang dingin dan menakutkan di luar, tapi dia adil. Yang penting Nona harus ingat, dia hanya tidak suka dengan pengkhianatan."
"Pengkhianatan?" tanya Emelia, sedikit penasaran.
"Ya. Tuan sangat menghargai kesetiaan. Selama Nona setia dan tidak mencoba menipunya, Nona akan aman di sini," tambah pelayan tua itu, sambil merapikan kerudung Emelia.
Pernyataan itu membuat Emelia berpikir. Setia kepada pria yang memaksanya menikah? Apa artinya kesetiaan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Saat itulah Gerya masuk ke kamar, matanya berkaca-kaca melihat Emelia yang sudah terlihat seperti seorang putri bangsawan sejati.
Gerya mendekati Emelia yang kini berdiri tegak dalam balutan gaun pengantin satin putih yang anggun. Gaun itu pas di tubuh Emelia yang mungil, menonjolkan kecantikan alaminya yang biasanya tersembunyi di balik tepung dan kesederhanaan. Mata Gerya berkaca-kaca melihat transformasi Emelia yang memukau, namun juga dipenuhi rasa haru dan kasihan.
"Nona Emelia... Anda terlihat... sangat cantik," bisik Gerya, suaranya sedikit bergetar.
Emelia menatap Gerya melalui cermin, senyum pahit terulas di bibirnya. "Gaun ini indah, Gerya. Terlalu indah untukku."
"Tidak, Nona. Anda pantas mendapatkannya," balas Gerya tulus, menyeka air mata yang mulai jatuh di pipinya sendiri. "Saya berharap Nona bahagia."
Emelia tidak menjawab. Bahagia? Bisakah kebahagiaan ditemukan dalam pernikahan paksa dengan seorang pria yang dingin dan kejam? Keraguan itu kembali menggelayut di hatinya.
Tepat pada saat itu, terdengar ketukan keras dan tegas di pintu.
"Nona Emelia, Tuan Duke menunggu di ruang upacara," terdengar suara kepala pelayan pria dari balik pintu. Nada suaranya tidak bisa dibantah.
Para pelayan wanita segera menyelesaikan sentuhan akhir. Mereka memakaikan kerudung panjang dari renda halus di kepala Emelia, yang menjuntai indah hingga ke lantai. Emelia diberi buket bunga mawar putih segar, tangannya gemetar saat menerimanya.
"Kami sudah selesai, Nona," ujar kepala pelayan wanita itu dengan nada tegang, merasakan atmosfer upacara yang akan segera dimulai.
Emelia mengangguk kaku. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Ia berjalan menuju pintu, Gerya mengikutinya dari belakang dengan langkah cepat. Kepala pelayan pria sudah menunggu di luar.
Koridor panjang dan megah itu terasa tak berujung. Setiap langkah Emelia di lantai marmer bergema, jantungnya berdebar kencang, menabuh genderang kecemasan di telinganya. Mereka menuruni tangga besar ke aula utama kastil, yang telah disulap menjadi tempat upacara pernikahan yang sakral dan mewah.
Ratusan tamu bangsawan sudah hadir, duduk di kursi-kursi berlapis beludru. Semua mata tertuju pada Emelia saat ia memasuki aula. Bisikan-bisikan segera terdengar: siapa gadis desa itu? Bagaimana bisa Duke Jasper Gideon memilihnya?
Di ujung aula, di depan altar yang dihiasi bunga-bunga mahal, berdiri Duke Jasper Gideon. Ia mengenakan setelan tuksedo hitam yang pas dan elegan, membuatnya tampak sangat berwibawa dan tampan, namun tatapan matanya tetap sedingin es, menusuk lurus ke arah Emelia.
Saat Emelia berjalan sendirian di karpet merah menuju altar—tidak ada ayahnya yang mendampingi, hanya kesunyian paksaan—ia menatap mata Duke Gideon. Di mata pria itu, ia tidak melihat cinta, tidak melihat kehangatan, hanya kepemilikan mutlak dan keteguhan hati yang dingin.
Emelia akhirnya berdiri di hadapan Duke. Sang pendeta memulai upacara, membaca janji-janji suci pernikahan, sementara Emelia dan Duke saling berhadapan, dua dunia yang bertolak belakang dipaksa bersatu oleh hutang dan kekuasaan.
"Emelia Grace, apakah engkau bersedia menerima Jasper Gideon sebagai suamimu yang sah, untuk hidup bersama dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?" tanya pendeta dengan suara khidmat dan jelas, menatap Emelia.
Emelia membeku. Tenggorokannya tercekat. Dia menatap wajah Duke Jasper yang tanpa ekspresi, lalu ke kerumunan tamu bangsawan yang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu dan menghakimi. Kata-kata pendeta terasa hampa, ironis, dan kejam. Bagaimana bisa janji suci yang seharusnya didasari cinta diucapkan dalam pemaksaan seperti ini?
Keheningan melanda aula upacara. Para tamu mulai gelisah, saling berbisik. Duke Gideon sedikit mengernyitkan alisnya, tatapannya kini berubah tajam, seolah memperingatkan Emelia untuk tidak mempermalukannya di depan umum.
Emelia menggigit bibir bawahnya. Ayahnya... dia mengorbankan dirinya demi ayahnya. Jika dia menolak sekarang, apa yang akan terjadi pada ayahnya? Duke ini kejam dan tidak kenal ampun. Dia pasti akan membalas dendam.
"Nona Emelia?" desak pendeta, nadanya sedikit khawatir.
Dengan hati yang hancur dan air mata yang menggenang di pelupuk mata, Emelia memejamkan matanya sesaat, menarik napas panjang, dan memaksa kata-kata itu keluar dari bibirnya.
"Ya... saya bersedia," bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi cukup untuk didengar oleh semua orang di aula yang hening.
Senyum puas yang hampir tidak terlihat melintas di bibir Duke Jasper Gideon.
Giliran Duke yang ditanya. "Jasper Gideon, apakah engkau bersedia menerima Emelia Grace sebagai istrimu yang sah, untuk hidup bersama dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?"
"Saya bersedia," jawab Duke dengan suara yang tegas, kuat, dan penuh keyakinan. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam nada suaranya, seolah dia baru saja membeli barang yang sudah lama diinginkannya.
Pendeta tersenyum lega. "Baiklah. Sekarang, silakan pasangkan cincin."
Seorang pelayan muda yang gugup maju dengan nampan beludru, di atasnya terdapat sepasang cincin pernikahan emas putih yang indah. Duke mengambil cincin yang lebih kecil dan, dengan gerakan yang tidak terduga lembut, meraih tangan kiri Emelia. Jari-jari kasarnya memegang tangan Emelia yang mungil, dan dia memasangkan cincin itu di jari manis Emelia. Kulit mereka bersentuhan untuk pertama kalinya, dan Emelia merasakan sengatan listrik halus menjalari lengannya.
Emelia, dengan tangan gemetar, mengambil cincin yang lebih besar untuk Duke. Dengan canggung, dia memasangkannya di jari manis Duke.
"Dengan ini, saya nyatakan kalian resmi menjadi suami istri. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia," kata pendeta dengan gembira. "Anda dapat mencium mempelai wanita."
Emelia tersentak. Ciuman? Di depan semua orang? Dengan pria dingin ini? Dia menatap Duke dengan ngeri. Duke Jasper Gideon hanya menatapnya dengan pandangan tenang, seolah ini adalah bagian dari transaksi bisnis yang harus diselesaikan.
Duke perlahan mendekat, tangannya yang besar meraih pinggang Emelia dan menarik tubuh mungilnya rapat ke tubuhnya. Emelia tersentak karena kedekatan itu. Sebelum Emelia bisa bereaksi lebih jauh, Duke menundukkan kepalanya, dan bibirnya mendarat di bibir Emelia. Ciuman itu singkat, dingin, dan berkuasa, lebih seperti meterai persetujuan daripada ciuman cinta.
Saat Duke menjauhkan wajahnya, Emelia terengah. Aula utama dipenuhi tepuk tangan meriah dari para tamu yang lega dan senang pernikahan itu berjalan lancar. Emelia dan Duke berbalik, menghadap para tamu, tangan Duke masih bertengger posesif di pinggang Emelia. Emelia resmi menjadi Duchess Jasper Gideon, terikat selamanya dengan pria yang baru dikenalnya kurang dari 24 jam.
Pesta pernikahan yang mewah dan meriah terasa seperti siksaan bagi Emelia. Ia harus berdiri selama berjam-jam, menerima ucapan selamat dari para bangsawan yang dingin dan penuh perhitungan, sementara tangan posesif Duke Gideon tidak pernah lepas dari pinggangnya. Emelia tersenyum kaku, berharap malam ini segera berakhir.
Akhirnya, setelah pesta selesai, Duke Jasper Gideon membawa Emelia kembali ke kamar mereka—kamar yang sama dengan tempat Emelia menginap semalam, kini dihiasi dengan bunga dan lilin yang romantis.
Duke menutup pintu kamar dengan bunyi klik yang final, mengunci mereka berdua di dalam ruangan. Suasana seketika berubah tegang dan hening. Emelia berdiri kaku di tengah ruangan, jantungnya berdebar kencang, takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Gaun pengantinnya yang indah kini terasa seperti belenggu berat.
Duke Gideon melangkah mendekati meja rias, melepaskan dasinya dan meletakkannya dengan rapi. Dia kemudian berbalik menghadap Emelia, tatapannya tenang, tidak sedingin biasanya, tetapi tetap tanpa emosi yang jelas.
"Duduklah, Emelia," perintahnya, menunjuk sofa beludru di sudut ruangan.
Emelia patuh, duduk dengan canggung di tepi sofa. Duke Gideon tidak ikut duduk, melainkan tetap berdiri di depannya.
"Dengar baik-baik," Duke memulai, suaranya tenang dan terukur, "Maaf saya menikahimu bukan karena saya jatuh cinta padamu."
Emelia menundukkan kepalanya, meskipun hatinya sudah menduga hal itu, mendengarnya secara langsung tetap menyakitkan.
"Tapi," lanjut Duke, "ini semua karena kakek saya. Dia sudah tua, dan dia terobsesi menjodohkan saya dengan putri bangsawan yang tidak saya sukai. Para wanita itu munafik dan hanya mengejar kekayaan serta gelar saya." Dia menghela napas singkat, satu-satunya tanda emosi yang terlihat. "Aku butuh alasan kuat agar dia berhenti menjodohkan saya, dan kau adalah solusinya."
Emelia mengangkat kepalanya, menatap Duke dengan bingung. Jadi, dia hanya alat?
"Tenang saja, Emelia," Duke Gideon melanjutkan, menyadari kebingungan Emelia. "Aku tidak akan menyakitimu ataupun menyentuhmu, jika kau tidak menginginkannya." Dia menatap Emelia lurus di mata. "Kau aman di sini. Kamar ini besar, kau bisa tidur di tempat tidur, aku akan tidur di sofa di ruang kerja sebelah, atau sebaliknya."
Mendengar janji itu, hati Emelia merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ketakutan terburuknya tidak akan terjadi malam ini, atau mungkin tidak akan pernah. Dia merasa senang mendengar dia akan aman secara fisik.
"Baik, Tuan," jawab Emelia, suaranya terdengar lebih ringan dari sebelumnya.
Tapi, di dalam benaknya, Emelia tahu ada lebih dari sekadar alasan kakek. Duke ini membayar hutang ayahnya yang sangat besar untuk menikahinya, seorang gadis desa biasa. Pasti ada alasan lain yang lebih dalam, sesuatu yang belum Emelia ketahui. Mengapa dia memilih Emelia, bukan orang lain, hanya untuk menghindari perjodohan?
"Baiklah, aku akan keluar agar kau bisa berganti pakaian," kata Duke, berbalik menuju pintu ruang kerjanya yang terhubung. "Gerya akan datang sebentar lagi untuk membantumu."
Duke menghilang di balik pintu, meninggalkan Emelia sendirian lagi di kamar yang kini terasa sedikit lebih hangat dan tidak terlalu mengancam.
Beberapa menit setelah Duke Jasper menghilang ke ruang kerjanya, pintu utama kamar terbuka, dan Gerya masuk dengan tergesa-gesa, membawa gaun tidur sutra di lengannya. Wajahnya tampak cemas, mungkin karena suasana tegang yang ditinggalkan oleh tuannya.
"Nona Emelia, syukurlah Anda baik-baik saja," kata Gerya, langsung mendekati Emelia yang masih duduk di sofa dengan gaun pengantinnya. "Mari saya bantu Nona berganti pakaian."
Saat Gerya membantu melepaskan gaun pengantin yang rumit itu, Emelia merenungkan kata-kata Duke barusan. Ada sesuatu yang mengganggunya. Keputusan Duke untuk menikahi gadis desa yang tidak dikenal hanya untuk menghindari perjodohan bangsawan terasa tidak masuk akal.
Setelah gaun pengantin dilepas, Emelia mengenakan gaun tidur sutra putih yang lembut. Gerya mulai membereskan gaun pernikahan itu, tetapi Emelia menghentikannya dengan pertanyaan serius.
"Gerya," panggil Emelia, suaranya pelan dan penuh pertimbangan. "Apakah Tuan Duke punya masalah serius?"
Gerya berhenti melipat gaun pengantin. Dia menatap Emelia, sedikit terkejut dengan keseriusan pertanyaan itu. Dia melihat sekeliling ruangan, memastikan pintu ruang kerja Duke tertutup rapat, lalu mendekat ke Emelia.
"Masalah serius apa yang Nona maksud?" bisik Gerya, matanya membesar karena penasaran dan sedikit takut.
"Maksudku," Emelia merendahkan suaranya, "apakah ada alasan lain dia menikahiku? Bukan hanya karena kakeknya menjodohkannya dengan putri bangsawan lain?"
Gerya tampak ragu, wajahnya menunjukkan dilema. Loyalitasnya kepada Duke bertentangan dengan keinginannya untuk membantu Emelia. "Saya... saya tidak tahu pasti, Nona," jawabnya mengelak. "Tuan Duke sangat tertutup soal urusan pribadinya. Kami pelayan hanya tahu apa yang dia izinkan kami tahu."