Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Lidya Marah
Arjuna refleks menatap Lidya, lalu menghela napas sebelum mengangkat.
“Halo, Sayang.”
Suara manja Eliza terdengar jelas. “Mas Arjun … kenapa tadi pagi tidak telepon, aku tuh kangen sama Mas. Sekarang lagi di mana?”
Lidya pura-pura sibuk dengan sendoknya, padahal telinganya menangkap setiap kata.
Arjuna menahan nada suaranya agar terdengar lembut. “Mas masih di Yogyakarta, Sayang. Besok pagi baru pulang dari sini.”
“Aduh, baru besok ya … aku udah rindu berat, Mas. Eh, jangan lupa beliin aku oleh-oleh, ya. Yang banyak, Kalau bisa belikan aku beberapa kain batik yang bagus-bagus, Mas.” Suara Eliza terdengar riang. “Oh iya … adikku mana, Mas?”
Arjuna melirik ke arah Lidya. “Dia .…”
Lidya cepat menyahut, memaksa senyum. “Aku baik-baik saja, Kak El.”
“Oh syukurlah.” Eliza tersenyum dari layar ponsel. “Besok kalian pulang bareng, ya. Aku jemput di bandara.”
Lidya menunduk, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Iya, Kak. Besok kami pulang.”
Eliza tiba-tiba mendekatkan wajah ke kamera. “Eh, tapi Lidya, selama di sana … ada sekretaris-sekretaris cantik di sana yang menggoda suamiku, nggak?” Nada bercanda, tapi matanya serius di balik telepon.
Arjuna terperangah, tapi belum sempat menjawab, Lidya cepat menyela.
“Tenang, Kak El. Kak Arjuna aman kok. Tidak nakal. Dia sibuk sama kerjaan, tidak ada yang ganggu.”
Eliza terkekeh lega. “Syukurlah. Aku percaya sama kamu, Lid. Kamu pasti jagain Mas Arjun baik-baik. Pokoknya kalau ada wanita yang berani dekati suamiku, tolong diberantas.”
Lidya menelan ludah, hatinya perih. “Iya, Kak.”
Panggilan berakhir. Arjuna menatap ponselnya sejenak, lalu meletakkannya di meja.
Suasana hening lagi. Lidya melanjutkan makan, berusaha menahan gemetar di tangannya. Arjuna hanya menatapnya, wajahnya penuh dilema.
“Lidya … aku minta maaf,” akhirnya Arjuna berkata pelan.
Lidya tidak menoleh. “Untuk apa lagi? Tadi Kak Arjun sudah jelaskan. Mau minta maaf sebanyak apa pun, tidak akan mengubah keadaanku. Aku tahu posisiku, dan sebaiknya jangan dibahas terus, jika ini menjadi rahasia kita berdua!”
Gadis itu menuntaskan makannya dengan cepat, meski hampir tidak merasakan rasa di lidah. Ia berdiri, kursi bergeser keras.
“Aku balik ke kamar, Kak.”
Arjuna masih duduk, menatap punggung gadis itu menjauh. Dadanya sesak, tapi ia tidak bergerak.
Ia hanya berbisik lirih pada dirinya sendiri.
“Kalau saja waktu bisa diputar balik … aku akan memilih tidak pernah menyentuhmu, Lidya. Supaya kamu tidak harus menanggung luka ini. Maaf, aku tidak bisa menikahimu. Aku tak ingin mengecewakan Eliza.”
Dan malam itu, meja makan dengan sisa makanan hangat menjadi saksi dari rahasia yang semakin berat, mengikat mereka dalam dilema yang tak terucapkan.
***
Keesokan pagi, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel. Lidya sudah rapi dengan blouse putih sederhana dan celana jeans. Wajahnya masih pucat, namun ia memaksa diri untuk kuat. Penerbangan mereka ke Jakarta pukul sembilan, tapi ia menyempatkan diri untuk sarapan lebih dulu di restoran hotel.
Restoran hotel sudah ramai. Aroma kopi, roti panggang, dan sup panas menyeruak. Buffet panjang tersaji dengan beragam menu: bubur ayam, nasi goreng, roti, salad, hingga aneka jus segar.
Lidya mengambil nampan, lalu bergerak perlahan menyusuri meja buffet. Ia mengambil bubur ayam, beberapa roti iss, dan segelas susu. Tidak berlama-lama, ia segera menuju meja dekat jendela, kembali memilih posisi menghadap keluar.
Baru saja ia menaruh piring di meja, suara berat yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
“Pagi.”
Lidya menoleh sekilas, cukup untuk melihat Arjuna berdiri dengan kemeja biru muda dan celana bahan gelap, lalu langsung kembali menatap ke luar jendela.
Arjuna mengambil piringnya sendiri, menyendok omelet, beberapa potong roti, lalu secangkir kopi hitam. Setelah selesai, ia berjalan ke meja yang sama dan duduk di seberangnya, tanpa minta izin.
Suasana tegang. Hanya bunyi sendok, garpu, dan gelas dari meja-meja lain yang terdengar.
Arjuna mencoba membuka percakapan.
“Semalam tidurmu nyenyak?”
Lidya tidak menoleh, hanya meraih sendok dan mengaduk bubur ayam.
“Kalau punggungmu masih sakit, aku bisa minta obat tambahan,” lanjut Arjuna, kali ini nadanya lebih lembut.
Lidya menaruh sendok di piring dengan suara berisik, lalu menoleh tajam.
“Kak Arjun. Kita sarapan saja. Tidak perlu basa-basi.”
Arjuna menatapnya lama, lalu menghela napas. “Oke, baiklah.”
Mereka makan dalam diam. Sesekali Arjuna menatap Lidya, sementara Lidya sengaja menunduk, sibuk dengan makanannya meski sebenarnya lidahnya hambar.
Namun ketegangan itu buyar ketika langkah sepatu hak terdengar mendekat.
“Permisi. ” Suara seorang perempuan terdengar jelas.
Jenny berdiri di samping meja mereka dengan wajah penuh canggung. Rambut panjangnya tergerai rapi, dress abu-abu membalut tubuhnya, dan sebuah tas kecil tergenggam erat di tangannya.
Lidya langsung menegakkan tubuh, matanya menajam. “Kamu, Mbak Jenny, … apa lagi maumu datang ke sini?”
Jenny menelan ludah, suaranya gemetar. “Saya … saya ingin bicara. Sama kalian berdua.”
Arjuna menaruh garpu, wajahnya menegang. “Bicara cepat. Kami tidak punya banyak waktu.”
Jenny menghela napas berat. “Tentang malam itu … saya minta maaf. Itu semua salah saya. Bukan ide Pak Tommy. Saya yang menjebak—”
“Cukup!” Lidya mendesis, tangannya mengepal di atas meja. “Berhenti sebut malam itu!”
Beberapa tamu restoran menoleh penasaran. Jenny menunduk, mencoba melanjutkan.
“Saya hanya ingin jujur. Saya … sebenarnya ingin mendekati Pak Arjuna, saya yang sengaja membuat skenario. Tapi saya tidak tahu akan sejauh ini. S-Saya menyesal.”
Lidya mendengus keras, lalu mendadak berdiri. Kursinya berderit kasar, menarik perhatian banyak orang.
“Menyesal?! Kamu pikir kata-kata itu bisa menghapus semua yang saya rasakan?!”
Jenny tertegun. “Saya … saya hanya ingin berdamai. Tolong, jangan bawa masalah ini ke perusahaan. Saya bisa kehilangan pekerjaan.”
Lidya melangkah cepat ke arahnya, tangan kanannya terangkat tinggi.
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Jenny.
“Kamu perempuan rendahan! Sudah jelas-jelas Pak Arjuna sudah punya istri, malah berniat ingin menggodanya!” Lidya bersuara lantang, nadanya bergetar menahan amarah. “Kalau saja kamu tidak ada di hadapan saya sekarang, saya tidak perlu mengingat semua kelicikan kamu itu. Gara-gara ulahmu, perempuan yang tidak bersalah menjadi korbannya. Memangnya kamu bisa membayar mahal apa yang ditanggung perempuan itu seumur hidupnya!”
Jenny memegangi pipinya, air matanya jatuh. “Mbak Lidya ... saya … saya benar-benar minta maaf.”
“Ck, tidak ada gunanya kamu minta maaf. Justru kamu lebih pantasnya mendekam di hotel prodeo!” sergah Lidya.
Arjuna berdiri, nadanya tegas. “Lidya, cukup—”
Tapi Lidya sudah mengambil tasnya. “Apa! Cukup! Pak Arjuna melarang aku untuk menegur wanita licik ini! Aku benar-benar muak! Permisi!”
Ia berjalan cepat meninggalkan restoran, meninggalkan keheningan yang menyesakkan.
Bersambung ... ✍️
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
cemburu yee 🤭