NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana Pernikahan Jangka Pendek dan Kontrak Komunikasi

​Aku duduk di bangku tunggal yang mewah, di salah satu ruang meeting pribadi di lantai eksekutif kantor pusat Ammar Fikri Group. Ruangan ini didominasi oleh warna-warna netral, dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Kontras sekali dengan hatiku yang sedang berusaha keras mencapai ketenangan dan kepatuhan.

​Hari ini adalah hari pertemuan mingguan kami, sekaligus sesi formal pertama setelah Ayah Bimo menyetujui pertunangan kami. Aku sudah mengenakan pakaian terbaikku—gamis dan khimar yang sopan—dan membawa buku catatan, seolah aku akan menghadiri rapat dewan.

​Tepat pukul tiga sore, pintu ruang meeting terbuka. Gus Ammar Fikri masuk. Ia tidak lagi mengenakan jas, melainkan kemeja biru muda yang rapi, yang dipadukan dengan celana bahan hitam. Ia terlihat santai, tetapi aura dominasinya tetap tak terbantahkan.

​"Assalamu'alaikum, Saudari Indira," sapanya, nadanya formal dan terkontrol. Ia duduk di kursi seberangku, di ujung meja yang panjang, menjaga jarak fisik yang terasa sesuai dengan jarak emosional kami.

​"Wa'alaikumussalam, Gus," jawabku, suaraku mantap. Aku harus membuktikan padanya bahwa aku telah membersihkan semua variabel yang ia anggap berisiko.

​Ammar tidak langsung membahas pernikahan. Ia membuka sesi dengan audit singkat.

​"Saya menerima konfirmasi Anda melalui pesan singkat mengenai cincin," kata Ammar, sambil membuka tablet di depannya. "Apakah ukurannya sudah ideal? Apakah desainnya memenuhi harapan Anda?"

​"Sudah ideal, Gus," jawabku. "Cincinnya sangat indah, dan ukurannya pas. Terima kasih."

​"Bagus," Ammar mencatat sesuatu di tablet-nya. "Dalam sebuah kesepakatan, tidak boleh ada asumsi yang tidak diutarakan. Saya mengirimkan cincin itu untuk mengukur kepatuhan Anda pada proses. Anda menerima dan merespons dengan efisien, tanpa drama emosional. Itu menunjukkan stabilitas yang saya butuhkan."

​"Saya sudah membuang semua variable yang tidak perlu, Gus," kataku, membalasnya dengan terminologi yang sama.

​Ammar mengangkat kepalanya, sedikit terkejut dengan kecepatan adaptasiku. Senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di sudut bibirnya.

​"Bagus. Itu memuaskan," katanya. "Karena Anda sudah menunjukkan kemajuan dalam pengendalian emosi, kita bisa melanjutkan ke topik berikutnya: Rencana Pernikahan Jangka Pendek."

​Ammar menggeser tablet-nya ke arahku. Di layar itu, terpampang flowchart dengan beberapa poin yang harus segera diputuskan.

​"Taaruf ini tidak akan kita perpanjang. Pertunangan akan kita laksanakan dalam dua minggu ke depan," Ammar memulai. "Poin A: Komunikasi Pasca-Pertunangan. Kita harus mendefinisikan batas-batas interaksi kita, karena status kita akan berubah menjadi mahram sementara."

​"Maksud Anda, batas interaksi kita akan lebih longgar, Gus?" tanyaku.

​Ammar menggeleng tegas. "Justru sebaliknya. Kita harus lebih tegas. Kita berdua masih berada dalam zona fitnah karena pernikahan belum terjadi. Komunikasi kita harus tetap terbatas pada urusan perencanaan pernikahan dan pendidikan Anda."

​Ia menunjuk ke flowchart-nya. "Saya mengusulkan Kontrak Komunikasi Taaruf. Poin 1: Panggilan hanya dilakukan jika ada urusan yang substansial. Poin 2: Waktu pertemuan hanya dua kali seminggu, selalu didampingi oleh mahram atau di tempat umum. Poin 3: Setiap pesan harus bersifat informatif dan efisien, menghindari basa-basi yang menimbulkan zina hati."

​"Bagaimana dengan chat ringan, Gus?" tanyaku. "Maksud saya, untuk mengenal lebih dalam, Bukankah kita harus membahas hal-hal yang lebih pribadi?"

​Ammar menatapku lurus. "Mengenal itu adalah proses, Saudari Indira, bukan output yang terburu-buru. Kami akan mengenal satu sama lain dalam koridor yang halal, yaitu melalui pertanyaan terstruktur yang saya siapkan. Bukan melalui chat iseng."

​Ammar menggeser tablet-nya lagi. "Poin B: Pengamanan Data Pribadi. Saya ingin Anda membuat database sederhana tentang kebiasaan, harapan, dan tantangan dalam rumah tangga yang Anda bayangkan. Saya akan melakukan hal yang sama. Kita akan bertukar data itu setiap dua minggu."

​Aku terkejut. Dia ingin kami bertukar database pribadi, seperti Human Resources bertukar data karyawan.

​"Jadi, kita akan mengenal melalui data, Gus?"

​"Data tidak berbohong, Saudari Indira. Emosi bisa menipu. Kita akan menganalisis kecocokan nilai-nilai kita melalui data yang terstruktur. Ini jauh lebih efisien daripada menghabiskan waktu dengan basa-basi yang tidak menghasilkan informasi penting."

​Kami membahas detail pertunangan: lokasi di rumahku, jumlah undangan minimal, dan keputusan Ammar untuk menyediakan semua kebutuhan pertunangan.

​"Saya akan mengurus semua logistik dan biaya. Anda dan Bunda hanya perlu memilih desain kebaya. Itu sudah saya anggap sebagai job description Anda," jelas Ammar.

​"Baik, Gus," kataku, mencatat di bukuku.

​"Sekarang poin C: Persyaratan Pasca-Pertunangan," kata Ammar, nadanya kembali berubah menjadi sangat serius. "Saya memiliki satu permintaan spesifik, Saudari Indira. Ini adalah syarat mutlak yang harus Anda penuhi."

​"Permintaan apa, Gus?"

​"Setelah pertunangan, saya ingin Anda segera mengambil kursus akuntansi dasar atau manajemen bisnis. Anda harus mulai memahami bagaimana uang bekerja dan bagaimana mengelola aset. Anda adalah mahasiswi sastra, dan saya menghargai itu. Tetapi Anda akan menjadi istri seorang CEO. Saya butuh mitra yang juga memiliki pemahaman dasar tentang ekonomi dan investasi."

​Permintaan ini sungguh di luar dugaanku. Dia ingin mengubahku, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara profesional.

​"Saya tidak punya latar belakang akuntansi, Gus," kataku jujur.

​"Itu adalah masalah yang bisa diperbaiki," balasnya dingin. "Saya akan menugaskan salah satu manajer keuangan saya untuk menjadi mentor Anda, secara daring, setiap pekan. Anda harus melaporkan kemajuan studi Anda kepada saya setiap akhir bulan."

​"Dan jika saya menolak?" tanyaku, menantang Manajer Risikoku untuk pertama kalinya.

​Ammar bersandar, tatapannya tenang. "Jika Anda menolak, itu berarti Anda menolak visi saya untuk masa depan rumah tangga kita. Dan jika Anda menolak, itu berarti Anda menunjukkan defisit komitmen yang cukup besar untuk membuat saya mempertimbangkan ulang perjanjian taaruf ini. Pilihan ada di tangan Anda, Saudari Indira."

​Aku menundukkan kepala. Ancaman pembatalan taaruf selalu menjadi senjata pamungkasnya. Aku tidak bisa mengambil risiko itu, apalagi setelah aku membuang Revan demi dirinya.

​"Saya setuju, Gus," kataku, menuliskan "Kursus Akuntansi Dasar" di daftar tugasku.

​Ammar mengakhiri sesi tepat setelah satu jam, sesuai jadwalnya. Ia berdiri, mengemasi tablet-nya.

​"Sesi hari ini selesai. Anda sudah menerima tugas. Saya tidak butuh respons emosional, Saudari Indira. Saya butuh eksekusi yang sempurna," ujarnya.

​Tiba-tiba, Ammar mengambil jeda, dan ia melakukan hal yang selalu membuatku bingung: ia menunjukkan sisi manusianya.

​"Omong-omong, Bunda Anda mengirimkan makanan enak hari ini. Rendang. Saya suka," katanya.

​"Oh, iya. Itu rendang resep keluarga, Gus," jawabku, sedikit lega karena ada topik yang tidak melibatkan data atau akuntansi.

​Ammar menatapku, dan kali ini, senyum tipis itu terlihat lebih tulus.

​"Setelah kita bertunangan, Anda akan bertanggung jawab untuk memastikan saya mendapatkan rendang resep keluarga itu setidaknya sebulan sekali, Saudari Indira. Itu adalah satu-satunya variabel yang saya izinkan untuk bersifat emosional."

​Ia mengucapkan salam formal, dan kemudian keluar dari ruang meeting, meninggalkan aku sendirian dengan flowchart pernikahan, tugas akuntansi, dan permintaan rendang bulanan.

​Aku menatap buku catatanku.

​KPI: Stabil.

​Tugas: Kursus Akuntansi.

​Emosi: Rendang.

​Aku adalah calon istri seorang pria yang mengatur hidupku secara ketat, menuntut profesionalisme, tetapi di tengah semua itu, ia menyisakan satu ruang kecil untuk rasa dan kehangatan: masakan ibuku.

​Aku tahu, taaruf ini akan sulit. Tetapi aku harus menghargai kejujurannya. Ia tidak menjanjikan bunga mawar, tetapi ia menjanjikan keamanan finansial dan iman yang kuat. Dan itu, mungkin, adalah definisi cinta yang paling dewasa yang pernah ada.

​Aku mulai membaca bab pertama buku Filsafat Timur yang tadi kubawa. Aku harus menstabilkan pikiran sebelum menghadapi mentor akuntansi baruku.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!