NovelToon NovelToon
Sebaiknya Kamu Lari

Sebaiknya Kamu Lari

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Nikahmuda / Duniahiburan
Popularitas:915
Nilai: 5
Nama Author: HARJUANTO

Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.

Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 : Hujan Deras Dihatiku

Hujan Deras Dihatiku

Suara ambulan berbunyi memecah malam.

Suaranya begitu keras memekakkan telinga. Agni membuka matanya, entah ia bermimpi apa sehingga mendadak terbangun seperti itu. Hujan terdengar merintik. Ia duduk di atas tempat tidurnya, mengambil telepon genggamnya dan mengecek. Tidak ada pesan masuk ataupun telepon yang masuk. Ia menghela nafas. Bangun dari tempat tidur dan membuka gorden jendela kamarnya, di luar masih gelap meskipun fajar pertama tak lama lagi.

Tetes-tetes hujan jatuh membasahi tanaman-tanaman hias di depan jendelanya. Cahaya lampu teras memberikan penerangan. Ia bisa melihat satu tetes hujan yang jatuh di daun kembang mawarnya, bergulir di permukaannya untuk bergantung sebentar di ujung daunnya lalu terjun bebas jatuh menetes memecah tanah. Seperti tetesan-tetesan rindu yang jatuh dari hatinya di setiap mengingat putri sulungnya.

Ia mendengar teleponnya berbunyi.

Matanya berbinar senang melihat telepon genggamnya itu menyala dan bergetar. Ia tertawa tak sabar ingin menumpahkan rindunya. Ia ambil telepon genggam itu, tapi ia mengerutkan kening ketika melihat nomer yang masuk bukanlah nomer telepon putri sulungnya. “Nomer siapa ini?” gumamnya bingung. Ia mengangkat telepon tersebut dan terdengar suara wanita yang memperkenalkan diri dari bagian kemahasiswaan kampus Anggi. Agni menanyakan ada apa, dan wanita itu mengatakan kalau Anggi masuk rumah sakit.

Agni terkejut, berdiri terpaku di situ, di titik ia biasa bersujud berdoa pada Tuhannya setelah mendapatkan kabar itu.

Hatinya sontak terasa resah luar biasa.

Maka pagi itu, Agni bersiap untuk melihat kondisi putri sulungnya. Ia menitipkan si kembar pada tetangganya, Bu Erna. Ia pun menghubungi bapaknya untuk menemaninya pergi. “Kakek!” sambut senang si kembar ketika melihat kakek mereka datang. Mereka berpelukan sedang Agni terlihat gelisah. “Ma, ada apa sama Kak Anggi? Kok pergi mendadak sama Kakek? Bukankah rencana kita perginya setelah kita pulang sekolah?” tanya Anindya. “Kak Anggi ga apa-apa ‘kan Ma?” susul Aditya bertanya. Agni tersenyum, “Mama belum tau … karena itu Mama sama Kakek mau kesana pagi ini.”

Bu Erna telah siap di mobilnya, tersenyum menunggu. “Anak-anak, itu Bu Erna sudah nunggu, ayo kalian ke sekolah dulu,” panggil Agni pada kedua anaknya. Kedua anaknya pun naik ke mobil Bu Erna. “Bu Erna … saya minta maaf sudah merepotkan … saya berterimakasih sekali Ibu mau mengantarkan anak-anak,” ujar Agni. “Ah ga apa-apa kok Bu … namanya tetangga harus saling tolong bukan?” balas Bu Erna tersenyum di balik setir dan mulai menjalankan mobilnya perlahan.

“Ma, love you! Sekalian jemput Kak Anggi pulang ya Ma!” seru Aditya dari kursi belakang. Mama menganggguk. Anindya menatap mamanya, “Camilan untuk Kak Anggi jangan lupa dibawa Ma, buat ngemil di jalan bareng, love you Ma.” Mama menatap Anindya, mengangguk. “Dah Kakek!” lambai Aditya dan Anindya berbarengan. Kakek membalas lambaian mereka. Mobil pun berjalan menjauh.

Pria lanjut usia yang terlihat masih bugar itu merangkul bahu putrinya yang menatap mobil itu pergi. “Kamu ga apa-apa Ni?” tanya kakek. “Aku baik-baik Pak … terima kasih sudah datang … aku ga bisa ke sana sendiri, aku butuh teman Pak,” ucap Agni. Kakek mengangguk, tersenyum, “Ga apa-apa, tenang Ni, ada Bapak … bisa kita berangkat sekarang?”

Agni mengangguk.

***

Perjalanan paling berat adalah saat kamu harus menahan perasaanmu yang dipenuhi kegelisahan dan kesedihan setelah mendengar kabar atas berita buruk yang menimpa orang yang kamu sayangi di kota lain.

Jarak Bandung–Bogor tidaklah terlalu jauh, tapi bagi Agni seperti yang tidak sampai-sampai. Ia ingin segera melihat buah hatinya tetapi ia harus menahan gejolak rindu yang bercampur gelisah di hatinya itu. Jalan tol seakan tak selesai. Sakit? Anggi masuk rumah sakit? Gumam hati Agni berkali-kali tak percaya. Perasaan kemarin Anggi baik-baik saja, ucap hati Agni lagi. Berkali-kali pula ia berganti posisi duduknya di sebelah bapaknya yang sedang menyetir. “Ni, semua akan baik-baik saja,” ucap kakek menenangkan. Agni hanya mengangguk. Kemudian tidak ada percakapan lagi. Agni sibuk dengan pikirannya sedang kakek tidak ingin menambah kegelisahan putrinya itu.

Mereka pun sampai di Bogor bersamaan dengan awan mendung yang membunyikan gemuruh petir. Mobil memasuki rumah sakit PMI. Setelah mobil terparkir, Agni beserta kakek bergegas menuju instalasi gawat darurat. Jantung Agni berdegup-degup tak menentu. Ia melihat beberapa gadis memakai jaket kuning biru beserta gadis-gadis seusia putri sulungnya berdiri di kiri kanan jalan di depan pintu IGD dengan wajah layu. Agni menggenggam erat tangan bapaknya, perasaannya makin tak enak.

Sesampainya di pintu IGD, seseorang wanita datang menghampirinya. “Apakah anda Ibu dari Anggita Damayanti?” Agni mengangguk, “Mana anak saya?” Wanita itu berkata, “Saya Rosa dari bagian kemahasiswaan, saya yang menelpon Ibu dini hari tadi, sebelumnya saya ingin---“

“Mana anak saya?” potong Agni tajam.

Agni berdiri di depan pintu, di dalam ia melihat sebentuk tubuh yang terbaring di atas ranjang dengan kain hijau menutupi hingga wajahnya. “Itu anak saya?” tanya Agni gemetar. Rosa mengangguk pelan. Agni melangkah masuk. Langkah kakinya seperti tak menjejak, kakinya tak menapak lantai, yang ia injak hanya udara hampa.

Kakek memegangi Agni.

Seorang dokter tampak berdiri di ujung kaki ranjang menunggu.

“Kenapa anak saya Dok? Kenapa kain itu menutupi wajahnya?” ucap Agni dengan bola mata bergetar-getar. “Maaf Bu … kami sudah melakukan yang terbaik, tapi Anggita tak tertolong,” sesal dokter.

Hujan turun deras di hati Agni mendengar itu.

“Tak tertolong? Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Kakek. Agni telah berdiri di kepala ranjang, tangannya gemetar bergerak untuk mengangkat kain itu. “Saya ingin melihat wajahnya … ini tidak mungkin anak saya …” lirih Agni. Dokter membantu menurunkan kain itu dan terlihatlah sebuah wajah.

Agni terpaku membeku melihatnya.

Wajah yang begitu dikenalnya dan telah mencuri hatinya sejak hari pertama kelahirannya, tengah terpejam dengan kulit wajah yang membiru. Wajah yang selalu mengisi hari-harinya dengan candanya, tawanya kini tak menyapanya. Wajah itu diam bahkan tanpa senyuman. Jemari Agni menyentuh wajah itu, perlahan dan lembut. “Anggi? Nggi … Mama di sini … bangun Nggi …” lirih Agni dengan airmata yang mengalir melalui kedua pipinya. Kakek pun mengusap airmatanya melihat cucunya terbaring kaku seperti itu.

Agni melihat luka lebam di bahu kanan atas payudara Anggi.

“Pak tolong tutup pintunya,” pinta Agni. Kakek segera menutup pintu IGD membuat para mahasiswi di luar tidak bisa melihat ke dalam lagi. Setelah pintu ditutup, Agni segera menarik kain yang menutupi tubuh anaknya itu hingga sepinggang. Terkejutlah Agni melihat kondisi tubuh putrinya itu. “Apa ini Dok?” tanya kakek terkejut melihat tubuh cucunya yang dipenuhi luka lebam.

“Ini bisa dijelaskan, tetapi sebelumnya saya ingin---“

“Diam Bu Rosa, Bapak saya bertanya pada dokter bukan anda,” potong Agni yang terus menatap tubuh anaknya. “Itulah yang ingin saya diskusikan pada keluarga Anggita. Kematian Anggita bukanlah sebuah kematian yang wajar,” jelas dokter. Agni dan kakek saling pandang, mereka sudah menduga itu setelah melihat kondisi jenazah Anggi.

“Sebentar … di sini saya datang sebagai perwakilan kampus untuk---“

Agni menatap Rosa, berkata tajam, “Untuk apa Bu Rosa? Untuk melepas tanggung jawab? Bahwa kematian putri saya bukanlah tanggung jawab kampus begitu?!”

Rosa mengangguk, “Tapi bukan melepas tanggung jawab seperti itu Bu … dengarkan saya dulu … sebelumnya, saya atas nama pribadi juga atas nama kampus, ingin mengucapkan turut berduka yang terdalam atas wafatnya Anggita. Begini, sebelum Ibu datang, dokter telah mengatakan soal ketidakwajaran kematian ini pada saya dan saya pun telah berkoordinasi dengan pimpinan kampus … secara internal kami akan mencari tahu apa yang terjadi, tapi kami meminta dengan bijak, agar keluarga Ibu tidak melibatkan atau membawa-bawa nama kampus untuk segala bentuk pertanggungjawaban dan---“

“Yang terbujur kaku di atas ranjang itu putri saya Bu ….”

“Ya saya tahu … saya pun seorang ibu … saya tahu gimana rasanya.”

“Baiklah Bu Rosa … kami mengerti maksud Ibu … kami harap pihak kampus segera melakukan investigasi internal seperti yang Ibu bilang tadi … sekarang Ibu boleh pergi … kami sedang berduka … beri kami waktu untuk berduka … terima kasih,” sela kakek seraya mengantar paksa Rosa keluar. Sebelum kakek menutup pintu, Rosa menyerahkan kartu namanya, “Kalau ada apa-apa, hubungi saya … sungguh saya turut berduka Pak.” Kakek mengangguk dan mengambil kartu nama itu lalu menutup pintunya.

“Jadi apa saran Dokter?” tanya Agni berlanjut.

“Autopsi, ini saran yang bisa saya berikan.”

“Hah? Tidak, tidak,” tolak kakek, “jadi nanti tubuh cucu saya akan dibedah begitu?” Dokter menggeleng, “Tidak begitu Pak … untuk kasus kematian yang masih baru seperti ini, tidak harus begitu. Saya akan bekerjasama dengan ahli forensik untuk memeriksa kondisi luar pasien saja, cek darah, memeriksa struktur pulang, me-rontgen-nya, setelah itu kita bisa simpulkan dan temukan apa penyebab kematian.”

“Berapa lama Dok?” tanya Agni.

“Semoga malam ini sudah bisa didapat informasinya.”

“Lakukan sekarang Dok,” ucap Agni dingin.

“Baik, saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Ibu,” ucap dokter lalu segera memanggil dua orang suster untuk mendorong ranjang itu. Kakek menatap tak percaya pada Agni ketika mereka melangkah keluar ruang IGD untuk menunggu. “Apa-apaan itu Ni? Kamu pengen tubuh anakmu dibongkar?” cetus kakek. “Tadi Bapak sudah dengar sendiri, tidak sampai membedah …” balas Agni. Kakek hanya menghela nafas, ia tak ingin berdebat lebih lanjut di tengah duka ini.

Agni menatap nanar air hujan yang turun dari talang air. Ia masih belum percaya apa yang terjadi. Ia masih berdiri di antara kenyataan dan ketidakpercayaan. Apakah betul tadi itu anaknya yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit? Apakah betul dirinya yang harus menerima musibah seperti ini? Seberat ini? Ia tidak pernah bermimpi akan berada di situasi seperti ini.

“Anggiiii ….”

Agni terkejut mendengar seseorang meneriakkan nama anaknya dengan sedih. Ia segera mencari tahu asal suara tersebut. Dilihatnya dua orang gadis sedang membawa pergi seorang gadis berponi yang menangis di bawah tatapan teman-teman lainnya. “Hey! Tunggu hey!” panggil Agni. Gadis berponi itu menoleh tetapi tak bisa menghentikan langkahnya karena dua gadis bertubuh besar dan bertubuh tinggi dengan jaket kuning biru itu terus mengapitnya serta membawanya pergi menjauh.

“Maaf, anda Ibunya Anggi?” tanya lembut seorang gadis memegangi tangan Agni sehingga ia tak bisa menyusul gadis yang menangis tadi. “Iya betul … saya Ibunya Anggi,” jawab Agni pada gadis bertahi lalat di pipi itu. “Saya Evelyn … saya temannya Anggi … saya turut bersedih atas wafatnya Anggi … kami semua satu angkatan turut kehilangan Anggi,” ucap Evelyn bersedih. Agni mengangguk, ”Iya … terima kasih Lyn … tapi tadi siapa yang menangis?” Evelyn mengangkat bahu, “Sepertinya salah satu rekan Anggi … saya tidak tahu.”

“Lyn … Tante mau nanya … apakah kamu tau soal malam orientasi mahasiswi semalam?” tanya Agni.

Evelyn menggeleng, “Ga tau Tante, saya ga ikutan.”

“Baiklah Lyn, makasih ya,” ujar Agni lalu berjalan meninggalkan Evelyn dan duduk di sebelah bapaknya. Mereka berdua menatap hujan yang terus turun dan turun. Tiba-tiba telepon genggam Agni berbunyi, ia mengangkatnya.

“Halo Nindya,” sapa Agni setelah mengenali suara di ujung telepon sana.

“Ma, pulang jam berapa? Aku sama Adit mau nyiapin pesta surprise buat Kak Anggi nih, tapi jangan ngomong ke Kak Anggi ya Ma!” tawa Anindya. “Iya Ma … aku sama ibu gorilla ini sedang menghias kamar Kak Anggi!” seru Aditya gembira lewat pengeras suara.

Agni terdiam, menahan gemuruh yang mendadak datang menggedor dadanya. Bola matanya bergetar-getar. Kalimat dari anak kembarnya itu mengguncangnya. “Ma! Kok diem sih? … ” tanya Anindya. Agni menghapus airmatanya yang menetes, menarik nafas berat dan menahan sesak di dalam dadanya lalu mencoba bicara biasa saja, “Ga usah bikin-bikin pesta segala Nin, Dit.” Anindya terdiam sesaat lalu berkata, “Mama lagi nangis ya?” Getaran kesedihan di tiap kata itu ternyata bisa dirasakan Anindya.

“Kenapa ga boleh bikin pesta kejutan Ma?” ucap Aditya terdengar lesu. Agni sudah tak bisa berkata-kata lagi, kakek yang berada di sebelahnya segera mengambil telepon genggam dari tangan Agni. “Halo Nin, Dit … ini Kakek … Kakek sama Mama pulangnya agak malam … kalian minta ditemenin sama Bu Erna dulu ya,” ujar kakek. “Kek, mana Mama? Mana Kak Anggi? Anin mau ngomong sama Kak Anggi,” cetus Anindya bergetar. Kakek menghela nafas, menatap Agni yang sedang menangis sesunggukkan lalu kakek memutuskan untuk memberitahu apa yang terjadi dengan kakak mereka.

Dan hujan, masih terus saja turun.

***

Ovi menekan leher Dina dengan lengan kanannya.

“Diam!” hardik Ovi. “Ta, tapi Kak … ga bolehkah gue bersedih karena kehilangan teman yang sangat baik?” lirih Dina dengan pipi yang berlinang airmata. “Boleh tapi ga perlu lebay! Pake manggil-manggil namanya pula!” sambung Ovi lagi. Kemudian muncul Evelyn dari dalam rumah sakit menghampiri mereka yang sedang berada di parkiran mobil. “Udah Vi … biarkan si Poni ini berduka dulu,” ujar Evelyn menarik lengan Ovi dari leher Dina. Boba hanya berdiri diam melihat itu semua.

Dina mengusap airmatanya. Evelyn berdiri di samping Dina lalu merangkul bahunya. “Din … bukan lo aja yang bersedih kok … kita semua juga … gue, Ovi dan Boba … kating yang lain juga … kita semua ‘kan satu sisterhood … tapi apa yang terjadi, itu semua musibah … kecelakaan,” ucap Evelyn. Dina melirik pada Evelyn lalu menatap Ovi lalu Boba yang seketika menunduk. “Anggi bisa tertolong kalau semalam kita cepat menghubungi ambulan,” tukas Dina menyesali. Evelyn mengangguk, “Ya lo bener … tapi ajal ga ada yang tau Din.”

Dina terdiam.

“Din … pesen gue, apa yang terjadi semalam di sana, tinggalkan di sana. Ga perlu diceritakan pada siapa pun, apalagi sama keluarga Anggi, kasihan keluarganya sedang berduka dan kasihan juga sama Anggi, biarkan dia tenang di sana,” lanjut Evelyn.

Dina mengangguk, berkata, “Sekarang, boleh gue pergi Kak?”

Evelyn mengangguk.

Dina melangkah menjauh.

“Hey Din!” panggil Ovi. Dina menoleh lalu Ovi memberi tanda dengan jemarinya yang melakukan gerakan mengunci di depan mulutnya lalu menggaris lehernya. Dina tahu arti gerakan itu, ia hanya mengangguk dan pergi.

“Lihat apa yang telah kalian lakukan! Kalian kacau!” teriak Boba setelah Dina pergi.

Evelyn mendekati Boba, berkata, “Turunkan suara lo Ba! Dan ingat, lo juga kacau, ini bukan gue dan Ovi doang, lo juga terlibat!”

Boba menggeleng, “Ga Eve … gue ga terlibat! Gue sudah mengingatkan kalian semalam! Pil yang kalian masukkan ke dalam soda itu, itu yang membuat nyawa Anggi melayang!”

“Brengsek!” umpat Ovi seraya mendorong Boba dengan kesal, “jadi lo mau lepas tangan gitu aja Ba?!” Boba mengerutkan kening, “Lepas tangan? Bahkan semalam gue ga campur tangan dengan semua yang kalian lakukan itu! Ini masalah kalian! Bukan gue!”

“Ba! Kita terlibat di sini bersama-sama! Ingat janji persaudarian kita?” tukas Evelyn.

“Gue inget … tapi gue tidak bersumpah untuk setia kawan dalam tindakan yang menghilangkan nyawa orang lain! Kalau kampus melakukan penyelidikan atas hal ini, dan gue yakin mereka memang akan melakukan penyelidikan ini … dan mengetahui keterlibatan kalian, maka kelar kuliah kalian! Bisa jadi kalian pun masuk penjara!” cetus Boba.

“Ga … asalkan lo tutup mulut!” sahut Ovi.

“Dan inget juga Ba … lo adalah ketua dari malam orientasi … semua orang tau itu … dan pihak kampus juga, gue yakin, mereka semua ga akan percaya kalau lo ga tau apa pun dengan yang terjadi selama masa orientasi … semua terjadi di bawah tatapan mata lo Ba, tapi lo diem aja … lo membiarkan semua itu terjadi … sebagai ketua, lo lalai … dan itu masuk pelanggaran hukum juga … hehehe, lo akan tetap tersangkut dengan hal ini Ba,” urai Evelyn dengan senyum sinis. Boba terdiam lalu mengacak-ngacak rambutnya menyesal, mengapa ia tidak melarang mereka dengan lebih keras lagi semalam.

“Karena itu … kita harus sama-sama dalam hal ini Ba,” tambah Evelyn.

Boba mendengus dan berteriak kesal.

“Jadi … apa rencana lo?” tanya Boba pasrah akhirnya.

Evelyn menggeleng, “Gue ga punya rencana apa-apa … tapi selama kita kompak dan tutup mulut rapat-rapat, maka tidak akan ada yang tahu ….”

“Tapi Eve … Ibunya Anggi keliatannya akan mencari tau penyebabnya,” ujar Ovi gelisah. “Jangan khawatir Vi … apa sih yang dia bisa? Paling nyiapin sarapan, masak, nganter anak-anaknya ke sekolah trus joget-joget tiktokan ga jelas deh … tenang, dia cuma emak-emak gemuk yang lamban dan ga tau apa-apa, hehehe,” kekeh Evelyn meremehkan.

“Gue sih ngeliatnya dia cukup keras kepala ya,” tukas Boba, Ovi mengangguk menyetujui. “Sekeras apa emang kepalanya? Hehehe … Percayalah, ga akan mungkin dia melakukan tindakan nekat kayak di film-film aksi gitu … lihat aja, nanti juga dia akan ikhlas dan melupakan semuanya ... tipikal ibu-ibu,” ledek Evelyn, “udah sekarang waktunya kita pulang, berduka dan bersiap-siap … besok atau lusa, pasti ada pihak kampus yang akan datang menanyai kita … ingat, tutup mulut!”

Boba dan Ovi mengangguk. Mereka pun meninggalkan rumah sakit. Setelah mereka pergi, dari balik dinding muncul Dina dengan tangan mengepal menahan kesal menatap mobil-mobil mereka yang berdecit keluar dari tempat parkir.

1
HARJUANTO
😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!