Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, suasana tegang menyelimuti ruangan.
Nakula duduk di kursi dengan wajah pucat dan gelisah, sementara dari pintu masuk terdengar suara langkah tergesa.
“Nakula…” suara Isabel terdengar serak. Ia berdiri di ambang pintu dengan mata sembab, tangannya gemetar sambil memegangi perutnya.
“Aku hamil.”
Nakula spontan menatap Isabel lebar-lebar.
“Apa?” suaranya meninggi, penuh keterkejutan dan ketakutan.
“Kamu bilang apa barusan?”
Isabel menunduk, air matanya jatuh. “Aku hamil… anakmu, Nakula.”
Nakula berdiri mendadak, kursi di belakangnya terjatuh.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku sedang dikejar polisi karena Amira, dan sekarang kamu malah—”
“Kamu harus menggugurkannya, Isabel. Sekarang juga!”
Isabel menatapnya dengan mata memerah. “Aku tidak bisa. Ini darahmu, Nakula. Aku tidak akan membunuh anakku!”
“Anak kita?” Nakula tertawa sinis, lalu menatapnya tajam.
“Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri, Isabel! Kamu pikir aku mau menambah beban?”
Ketegangan semakin meningkat ketika Mama Mia masuk sambil membawa segelas air.
“Cukup! Isabel, dengarkan aku.”
Isabel menatap ibunya dengan mata memohon
“Mama…”
Mama Mia mendekat, suaranya rendah tapi tajam.
“Kamu harus menuruti kemauan Nakula. Sekarang bukan waktunya bertindak bodoh. Kalau kamu melahirkan anak ini, hidupmu akan hancur—begitu juga reputasi keluarga kita.”
Isabel menggigit bibirnya, air matanya kembali jatuh.
“Tapi, Ma. Dia satu-satunya yang aku miliki.”
Mama Mia menghela napas berat dan menatap Nakula dengan dingin.
“Nakula, aku akan urus ini. Tapi kamu… kamu harus memastikan polisi tidak menemukan kalian. Aku tidak mau keluarga kita terseret masalahmu.”
Nakula hanya diam, rahangnya mengeras. Ia menatap Isabel dengan pandangan penuh kebencian dan keputusasaan.
“Pergi, Isabel. Aku tidak mau melihatmu sampai semua ini selesai.”
Isabel hanya bisa menangis, berdiri terpaku di depan pria yang dulu ia cintai.
Di sisi lain dimana Mobil hitam Sebastian berhenti perlahan di depan rumah besar mereka.
Udara sore terasa tenang, dan Amira tersenyum kecil, masih terlihat lemah tapi bahagia akhirnya bisa pulang.
Sebastian turun lebih dulu, lalu berjalan cepat ke sisi lain untuk membukakan pintu istrinya.
Ia menggandeng tangan Amira dengan lembut.
“Pelan-pelan, sayang. Jangan terlalu cepat, kamu baru saja keluar dari rumah sakit,” ucapnya penuh perhatian.
“Aku tahu, Bas. Aku hanya ingin segera beristirahat di rumah.”
Namun baru beberapa langkah mereka menuju pintu, suara seorang wanita terdengar dari arah gerbang.
“Bas!”
Sebastian dan Amira sama-sama menoleh dan melihat seorang wanita bergaun merah elegan berdiri di sana, wajahnya penuh senyum namun matanya menyimpan sesuatu.
“Bas, aku merindukanmu,” ucap Natasya sambil melangkah mendekat.
“Aku sudah berpikir banyak, dan aku siap menikah denganmu sekarang.”
Langkah Amira terhenti. Ia menatap wajah Sebastian dengan mata yang penuh kekecewaan dan luka.
Tangan yang tadi digenggam erat perlahan ia lepaskan.
“Masuklah dulu, Mira,” ujar Sebastian pelan, tapi Amira hanya menatapnya sejenak sebelum berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata.
Sebastian menarik napas panjang, menatap Natasya tajam.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Natasya?” suaranya dingin.
Natasya mendekat beberapa langkah, mencoba tersenyum lembut.
“Aku cuma ingin bicara. Aku tahu kita dulu berpisah karena salah paham, Bas. Tapi aku masih mencintaimu. Beri aku satu kesempatan lagi.”
Sebastian menggeleng pelan, wajahnya tegas.
“Tidak, Natasya. Aku sudah menikah. Aku mencintai istriku, Amira, dan aku tidak akan mengkhianatinya. Dan bukankah kamu juga sudah menikah dengan lelaki tampan?"
Natasya menatapnya dengan air mata yang mulai jatuh.
“Tapi… Bas, aku menyesal. Dia bukan lelaki baik dan Aku masih—”
“Cukup.” Sebastian memotong dingin, suaranya dalam dan berat.
“Kamu datang di waktu yang salah. Aku mohon, jangan ganggu hidup kami lagi.”
Ia membalikkan badan, melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh.
Natasya hanya berdiri terpaku di halaman, air mata mengalir di pipinya, menatap punggung
Sebastian yang perlahan menghilang di balik pintu rumah.
“Sebastian! Kamu hanya akan menjadi milikku!” teriak Natasya dari luar rumah, suaranya menggema penuh amarah dan obsesi.
Namun Sebastian tak lagi menoleh. Ia menapaki setiap anak tangga dengan langkah berat, dadanya sesak memikirkan wajah Amira yang tadi memudar di balik pintu.
Sesampainya di lantai dua, ia mendapati Casandra berdiri di depan kamar Amira bersama Pak Herman dan Bu Endah. Wajah mereka semua tegang.
“Dia menguncinya dari dalam, Bas,” ucap Casandra dengan nada khawatir.
“Dari tadi kami ketuk, dia nggak jawab,” tambah Pak Herman pelan.
Sebastian menatap pintu kamar itu, hatinya mencengkeras. Ia mendekat, mengetuk pelan tapi tegas.
“Sayang, buka pintunya. Aku bisa jelaskan semuanya,” ucapnya, suaranya bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar isakan pelan dari balik pintu.
Sebastian menempelkan telinganya ke kayu pintu, menahan rasa panik yang mulai menghantam dadanya.
“Mira, tolong. Jangan seperti ini. Aku nggak punya siapa-siapa selain kamu.”
“Bas, biar mama panggil pelayan untuk ambil kunci cadangan,” ucap Casandra.
Sebastian hanya mengangguk, matanya tak lepas dari pintu itu.
Tak lama, pelayan datang dengan wajah gugup, membawa kunci kecil berwarna emas.
“Ini, Tuan.”
Dengan tangan gemetar, Sebastian memutar kunci itu.
Bunyi klik terdengar dan pintu kamar Amira terbuka.
Pemandangan di dalam kamar membuat semua orang terdiam.
Amira duduk di lantai, punggungnya bersandar pada ranjang, rambutnya terurai berantakan.
Matanya bengkak, air mata terus mengalir di pipinya.
Di tangannya masih tergenggam kalung berlian pemberian Sebastian, tapi kini rantainya patah.
Sebastian mendekat perlahan. “Mira…” suaranya hampir berbisik.
Namun sebelum ia bisa menyentuhnya, Casandra meletakkan tangan di bahunya dan menatapnya tegas namun lembut.
“Biarkan dia dulu, Bas.”
Casandra melangkah masuk, menutup pintu perlahan di belakangnya, memberi waktu bagi ibu dan anak untuk menenangkan suasana di luar.
Sebastian hanya berdiri di depan pintu, menunduk dalam.
Sebastian perlahan duduk di samping Amira, menatap wajah istrinya yang masih sembab karena tangis.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum membuka suara.
“Sayang…” ucapnya pelan. Amira hanya menunduk, jemarinya menggenggam ujung selimut.
Sebastian menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada masa lalu pada luka lama yang pernah hampir menghancurkannya.
Flashback beberapa tahun lalu, Sebastian berdiri di sebuah taman dengan setangkai bunga dan cincin kecil di tangannya.
Wajahnya berseri-seri saat menunggu seseorang yang ia cintai.
Tetapi malam itu Natasya tidak datang ke taman itu.
Beberapa hari kemudian, Sebastian mendengar kabar kalau Natasya pergi bersama pria lain seorang pengusaha muda yang kaya dan terkenal.
Saat itu, hatinya hancur. Dunia terasa runtuh. Ia menutup diri dari siapa pun.
Sampai akhirnya ia bertemu Amira, wanita sederhana yang perlahan menyembuhkan lukanya.
Kembali ke masa sekarang.
“Aku dulu memang pernah mencintai Natasya. Tapi dia pergi saat aku ingin melamarnya. Waktu itu aku kehilangan arah.”
Amira menoleh perlahan, matanya masih menahan air mata.
“Tapi semua itu sudah lama berlalu,” lanjut Sebastian, memegang tangan Amira.
“Sekarang aku punya kamu, Mira. Kamu dan anak kita. Itu sudah lebih dari cukup buatku.”
Amira menatap mata suaminya, lalu tiba-tiba mencubit lengan Sebastian dengan wajah cemberut manja.
“Aku masih marah, tapi kamu tahu cara bikin aku luluh,” gumamnya pelan.
Sebastian tertawa kecil menahan perih di lengannya, lalu menarik istrinya ke dalam pelukannya.
“Kalau kamu marah, cubit aku lagi aja, sayang. Asal jangan pergi dari aku.”
Amira menyandarkan kepalanya di dada Sebastian.
“Kalau kamu janji nggak buat aku nangis lagi, aku janji nggak akan pergi,” ucapnya lembut.
Sebastian mengecup keningnya penuh kasih.
“Janji, sayang. Sekarang dan selamanya.”
Sebastian bangkit dan langsung membopong tubuh istrinya.
up'ny yg bnyk thor🙏💪