Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Penyatu Takdir
Kencana melangkah masuk ke rumahnya, wajahnya yang cantik kini ditekuk ketegangan. Denting hujan yang menghantam genting tidak lagi terdengar merdu, melainkan seperti dentuman genderang yang mengiringi rasa cemas di dadanya. Di ruang dalam, ia duduk, menunggu ayahnya yang entah sedang di mana. Jari-jarinya mengetuk meja kayu dengan irama tak beraturan, mencabik-cabik keheningan malam yang sunyi.
Pintu berderit, lalu Jagatpati muncul. Jubah basahnya meneteskan air, namun senyum licik di bibirnya tak kalah basah—seperti genangan yang baru saja terbentuk di wajah Kencana.
“Ayah,” Kencana memanggil, suaranya pecah dan tercekat di tenggorokan. “Apakah buktinya sudah disingkirkan?”
Jagatpati melangkah pelan, seperti bayangan yang baru saja keluar dari kegelapan. Ia menanggalkan jubahnya, menaruhnya di kursi. Mata dinginnya menatap putrinya, tanpa keraguan.
“Tenanglah, Kencana,” suaranya serak namun mantap, seolah setiap kata yang ia ucapkan telah dipikirkan matang-matang. “Emban yang menaruh racun itu sudah tidak bernyawa. Tabib yang membantu pun sudah aku singkirkan. Mereka kubuang ke jurang, bersama semua bukti.”
Kencana menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya. Hujan di luar seakan menjadi saksi bisu, menutupi suara rahasia gelap yang baru saja dikubur di bawah jurang.
“Jadi… tidak ada seorang pun yang tahu?” tanyanya, suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Jagatpati mendekat, menepuk pundak putrinya dengan sentuhan yang terasa berat. “Tidak ada. Dan kalaupun ada, mereka tidak akan sempat membuka mulut.” Matanya berkilat, seperti mata ular yang baru saja menelan mangsa.
“Sekarang,” ia melanjutkan, suaranya kini rendah namun penuh keyakinan. “Semua akan percaya bahwa Puspa mati sebagai pembawa celaka.”
Kencana menggigit bibirnya. Ada kepuasan aneh yang menjalar di dadanya, bercampur dengan rasa takut yang tak bisa ia redam. Bayangan wajah Puspa terus muncul di benaknya—mata yang tulus, senyum yang sederhana. Namun rasa iri dan ambisi yang sudah terlanjur membara dalam dirinya menutup rapat semua keraguan.
“Ingatlah, Kencana,” suara Jagatpati kini mengeras, membawa wibawa seorang pemimpin bayangan. “Yang harus bersanding dengan calon raja, entah Wira atau malah nanti Suraghana hanyalah kamu. Kamu adalah calon permaisuri yang layak. Tidak ada darah aneh yang boleh menodai garis bangsawan.”
Kencana mengangguk, matanya menatap ayahnya, seperti seorang prajurit yang menerima perintah dari komandannya. Kata-kata ayahnya bagai mantra, mengikatnya semakin erat pada jalan yang dipenuhi dosa dan darah
________________________________________
Tahun 669 Masehi
Di tengah keramaian alun-alun yang perlahan mereda, Wira berlutut tak berdaya. Ia tak lagi peduli pada sorotan mata yang mengarah padanya. Di hadapannya, api yang tadinya berkobar kini hanya menyisakan bara dan kepulan asap. Asap itu adalah napas terakhir Puspa. Air mata Wira bercampur dengan tetesan hujan, wajahnya pucat pasi seperti arca yang kehilangan jiwanya. Ia menatap nyala api yang berangsur padam, seolah hatinya ikut terbakar dan kini tinggal abu.
Hujan turun semakin deras, seakan alam semesta menangisi tragedi yang baru saja terjadi. Dengan tangan gemetar, Wira merangkak di tanah yang basah, meraih gumpalan abu hitam yang tersisa. Ia menampungnya di lipatan bajunya, takut hujan akan menghanyutkan sisa-sisa keberadaan Puspa.
“Puspaaa…” lirihnya, suaranya pecah, sebuah erangan yang merobek langit.
Pangeran Suraghana mendekat. Meski ia dikenal keras dan tak mudah tersentuh, matanya kini basah menatap adiknya. Ia menunduk, lalu berbisik pelan di telinga Wira. “Wira, aku yakin roh Puspa masih berdiam sementara sebelum benar-benar mencapai alam leluhur. Kita harus bergegas mencari keadilan. Ayahanda harus segera tahu.”
Sempakwaja, adiknya yang lain, mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Tapi, Kakang… Paman Jagatpati terlalu cerdik. Jejak selalu hilang. Setiap saksi selalu lenyap. Apa yang kita miliki selain luka? Jika kita bicara sekarang, kita akan dianggap memfitnah.”
Suraghana menatap tajam, matanya penuh tekad. “Lalu, apa kau ingin membiarkan Wira mengutuk diri sepanjang hidupnya? Membiarkan roh Puspa menyeberang ke alam leluhur dengan duka yang tak terobati?”
Sempakwaja terdiam. Lalu ia menghela napas panjang, keputusannya sudah bulat. “Baiklah,” ucapnya lirih, namun mantap. “Kita harus bergerak sebelum keadaan tenang. Biarkan aku mencari bukti di balik kekacauan ini. Kakang, tetaplah di sisi Wira… ia sudah tak lagi waras, jiwanya seolah ingin menyusul mati.”
Suraghana mengangguk, rahangnya mengeras. “Hati-hatilah, Waja. Awali pencarianmu dari orang yang paling dekat dengan Kencana. Aku yakin… di sanalah kunci segala kebusukan ini tersembunyi.”
________________________________________
Jejak yang Hilang
Pangeran Sempakwaja adalah ahli strategi dan memiliki pikiran yang tajam, bak pedang terasah. Namun, melacak bukti kejahatan pamannya, Jagatpati, yang juga merupakan salah satu gurunya dalam seni strategi perang, bukanlah hal yang mudah. Sejak awal kerajaan, Jagatpati dikenal memiliki ambisi layaknya bangsawan dan membenci orang-orang yang dianggap benalu. Sempakwaja tahu benar bahwa melawan pamannya sama dengan menantang ular yang bersembunyi di semak: sekali salah langkah, bisa mati seketika.
Sudah berhari-hari Sempakwaja menyamar di kedai-kedai tempat para emban dan prajurit sering berkumpul, menguping setiap gosip yang beredar. Ia rela menahan diri di antara aroma keringat dan rempah yang menyengat. Namun, tidak ada satu pun informasi berarti yang didapatkannya. Setiap jejak yang ia temukan seakan-akan sudah dibersihkan dengan sempurna oleh tangan Jagatpati. Rasa frustrasi mulai merayap di dadanya, seolah ia mengejar bayangan yang tak akan pernah bisa ia sentuh.
Saat ia bergegas pergi, seorang ibu dengan wajah cemas dan pakaian lusuh tiba-tiba menangis dan meminta tolong. Di pelukannya, seorang anak laki-laki tergeletak lemah, tubuhnya panas dan napasnya tersengal.
Tanpa berpikir panjang, Sempakwaja menggendong anak itu. "Ibu dari mana, kenapa anaknya sampai separah ini?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
“Saya dari desa di balik gunung, Tuan. Ke sini mencari tabib. Tapi bekal kami habis,” jawab ibu itu, suaranya bergetar menahan tangis.
"Apakah desamu tidak ada tabib?" tanya Sempakwaja. Ia terheran-heran, bukankah setiap desa memiliki tabib?
“Ada, Tuan. Tapi sejak dipanggil ke kerajaan, tabib itu belum kembali lagi,” jawab ibu itu. Matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam.
“Dipanggil kerajaan? Kapan itu?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Tiba-tiba, Sempakwaja merasakan ada sesuatu yang janggal. Otaknya yang tajam langsung menghubungkan kejadian itu dengan kasus Puspa.
“Sudah dua purnama mungkin,” jawab ibu itu.
Dua purnama. Tepat di waktu yang sama saat Puspa dibakar. Seperti mendapat angin segar di tengah badai, Sempakwaja mendapatkan secercah harapan. Ia menatap wajah ibu itu, lalu beralih ke anak yang sakit parah. Ini adalah petunjuk. Ini adalah jalan.
“Aku akan menolong anakmu, Bu. Akan kuantar kalian pulang ke desamu,” kata Sempakwaja. Ia yakin petunjuk ada di sana.
________________________________________
40 Hari - Upacara Sesaji dan Duka yang Mendalam
Di bawah temaram api obor yang menari-nari, upacara sesaji untuk arwah Puspa digelar. Udara dipenuhi aroma wangi bunga melati, asap dupa yang mengepul lembut, dan bisik-bisik doa yang seakan mengalir bersama angin malam. Angin berhembus pelan, seolah turut merasakan duka yang menyelimuti. Di mata para hadirin, tragedi itu masih sangat segar, sebuah kisah yang akan terus membayangi.
Wira, dengan mata sembap dan wajah pias, mengenakan kain putih polos—simbol dari kesucian dan duka yang tak terperikan. Ia berlutut di depan perapian, di tangannya, ia menggenggam erat sebuah guci kecil berisi abu Puspa. Guci itu terasa berat, seolah seluruh dunia Wira kini hanya seukuran genggaman itu. Di sampingnya, Ibu Puspa duduk tegar, mengenakan kebaya putih sederhana, rambutnya digelung tanpa hiasan. Meski berusaha menahan diri, isak tangis sesekali lolos dari bibirnya. Ia seperti batu karang yang kokoh, namun hatinya hancur berkeping-keping.
Wira menatap Ibu Puspa. Air matanya kembali tumpah. "Ibu… seharusnya aku tak mengajak Puspa ke sini. Seharusnya aku tak mengenalkannya pada dunia kejam ini," bisiknya, suaranya pecah dipenuhi penyesalan.
Ibu Puspa menoleh, tatapannya lembut namun menyimpan duka yang begitu dalam. “Semua sudah kehendak dewata, Nak….” suaranya bergetar. “Hanya saja… jika kematiannya karena tuduhan palsu, itulah yang tidak ibu terima. Tuduhan itu... telah membakar jiwa dan raganya.”
Wira semakin tertunduk, rasa bersalah bagai cengkeraman tak kasat mata di dadanya. "Aku... tak bisa melindunginya."
“Jangan terpikirkan untuk menyusul Puspa, Nak,” bisik Ibu Puspa, suaranya penuh kasih. “Ibu yakin, dia di alam sana tak akan senang melihatmu serapuh ini. Cinta tidak akan salah. Bukan kamu pembunuh Puspa….”
Wira mengangkat wajahnya yang berlumuran air mata. "Ibu yang kehilangan lebih dalam, bagaimana mungkin ibu memaafkan pembunuh seperti saya, Bu?"
Ibu Puspa menggelengkan kepalanya. Ia meraih tangan Wira, menggenggamnya erat, seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatannya. “Wira... Puspa mencintaimu. Cinta tak pernah salah. Pembunuh Puspa adalah kebusukan hati dan fitnah. Dan itu bukan dirimu,” katanya, matanya dipenuhi linangan air mata.
________________________________________
Permata Zamrud
Di tengah duka yang menyelimuti, Pangeran Suraghana datang mendekat, menggandeng seorang lelaki tua berambut putih. “Wira,” katanya, suaranya mengandung harapan. “Aku tahu kau tak ingin terpisah dengan Puspa. Maharesi Wangsa, ahli spiritual kita, mampu membuat pusaka dan benda bertuah.”
Wira menatap kakaknya dengan mata kosong. Ia meragukan kata-kata itu. Namun, Maharesi Wangsa melangkah maju. Dengan jubahnya yang lusuh dan senyum tulus, ia mengulurkan tangan. "Biar hamba yang melakukannya, Pangeran," katanya lembut.
Maharesi Wangsa mengambil guci berisi abu Puspa dari tangan Wira, lalu meletakkan di atas altar. Ia menggumamkan doa-doa kuno. Perlahan, abu itu mengeluarkan cahaya redup. Cahaya itu semakin terang, lalu mengerucut membentuk sebuah gumpalan kecil yang bersinar.
Ketika cahaya itu meredup, di atas altar, tergeletak sebuah permata indah berwarna hijau zamrud. Warnanya persis seperti kalung yang Nayla temukan, berkilau seolah memancarkan kehidupan. Wira tak bisa berkata-kata, matanya terbelalak tak percaya.
Maharesi Wangsa tersenyum. "Ini adalah Putri Puspa, Pangeran. Ia ingin menemani Pangeran."
Wira mengambil permata itu. Ia merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Itu adalah Puspa. Ia hidup. Permata itu kemudian diikat pada rantai perak, menjadi sebuah kalung yang kini dapat menemani Wira sebagai penyatu takdir mereka.