Romlah tak menyangka jika dia akan melihat suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, bahkan sahabatnya itu sudah melahirkan anak suaminya.
Di saat dia ingin bertanya kenapa keduanya berselingkuh, dia malah dianiaya oleh keduanya. Bahkan, di saat dia sedang sekarat, keduanya malah menyiramkan minyak tanah ke tubuh Romlah dan membakar tubuh wanita itu.
"Sampai mati pun aku tidak akan rela jika kalian bersatu, aku akan terus mengganggu hidup kalian," ujar Romlah ketika melihat kepergian keduanya.
Napas Romlah sudah tersenggal, dia hampir mati. Di saat wanita itu meregang nyawa, iblis datang dengan segala rayuannya.
"Jangan takut, aku akan membantu kamu membalas dendam. Cukup katakan iya, setelah kamu mati, kamu akan menjadi budakku dan aku akan membantu kamu untuk membalas dendam."
Balasan seperti apa yang dijanjikan oleh iblis?
Yuk baca ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BDN Bab 22
Wati menggendong Ayu dengan erat, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya baru saja menyiram air dingin ke tubuh bayi mungil itu, tapi Ayu tiba-tiba kejang, matanya membelalak tak berfokus, bibirnya menekuk kaku, dan wajahnya berubah kebiruan.
Wati tidak menyangka kalau hal sederhana yang dia lakukan akan membuat cucunya dalam keadaan bahaya, mandi merupakan hal yang biasa. Namun, nyatanya memandikan Ayu dengan air dingin mengundang hal yang bahaya.
"Tolong cucuku! Aku harus bagaimana?” teriak Wati panik sambil menoleh ke pintu kamar mandi yang terbuka. Pembantu dan Romlah masuk dengan wajah cemas.
"Bu, sudah saya bilang, kondisi Neng Ayu memang lemah. Dia alergi dingin, nggak boleh dimandikan air dingin!”
Suara pengasuh Ayu itu terdengar penuh kecewa dan sedikit kesal. Hal itu terjadi karena Romlah sudah memperingatkan Wati terlebih dahulu, tetapi wanita paruh baya itu malah tetap dengan pendiriannya.
"Iya, iya. Saya nggak nyangka akan begini. Anak saya dulu beda, anak majikan yang saya urus juga kuat sekali,” ujar Wati membela diri, napasnya tersengal.
Romlah semakin kesal mendengar apa yang dikatakan oleh Wati, karena malah membanding-bandingkan bayi itu dengan anaknya dan juga anak orang lain.
"Kondisi tiap anak itu berbeda, Bu. Apalagi cucu Ibu masih kecil. Kita harus cepat ke rumah sakit,” ujar Romlah berkata tegas sambil bersiap mengangkat Ayu.
"Cepat gendong Ayu, Rom. Kakiku udah lemes, aku nggak kuat,” Wati merengek, tangannya melemah dan wajahnya menunduk, ketakutan datang dan menusuk jauh ke dalam hati.
Romlah buru-buru meraih kain jarik di ujung ranjang, tangannya gemetar saat membungkus tubuh bayi mungil itu dengan lembut. Napasnya tersengal saat ojek pangkalan menunggu di depan rumah. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Romlah menatap bayi itu dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan.
"Ini baru dimulai," ujar Romlah dengan senyum penuh arti.
Di rumah, pembantu segera menyiapkan baju bersih, susu dan perlengkapan Ayu dengan wajah serius. Dia ingin ikut memarahi Wati, karena wanita itu sudah gegabah dalam mengurus bayi. Namun, dia tidak berani seperti Romlah.
"Ini semua untuk cucu Ibu," katanya sambil menyerahkan barang-barang itu pada Wati yang tergopoh-gopoh.
Wati menatap tas di tangannya, pandangannya dipenuhi rasa khawatir. Dia juga takut kalau nantinya Sugeng akan marah terhadap dirinya.
"Ya," jawabnya lesu.
Sesampainya di rumah sakit, ternyata cucunya sudah mendapatkan tindakan dan dipindahkan ke ruang perawatan. Anak itu sudah berada di ruang picu. Wati melangkah cepat ke ruang PICU.
Tubuh kecil cucunya terbaring lemah, di dalam ruangan itu dikelilingi alat-alat yang berdengung. Matanya berkaca-kaca menatap bayi itu, dadanya sesak oleh rasa bersalah.
"Ini semua karena aku," gumam Wati lirih, bayangan Inah dan Sugeng yang pasti akan marah terus menghantui pikirannya.
Tangannya menggenggam kain yang tadi dibawa, seolah mencoba menghangatkan hati yang penuh gelisah. Di saat dia sedang meratapi rasa sedihnya, Wati melihat Sugeng yang baru saja keluar dari mushola yang memang letaknya tidak jauh dari ruangan picu.
"Waduh! Kok dia cepet banget tahu kalau anaknya dirawat di sini," ujar Wati semakin ketakutan.
Dia takut dimarahi oleh anaknya itu, Wati bahkan menutupi kepalanya dengan kain agar tidak dilihat wajahnya oleh anaknya itu. Dia hanya menyisakan sedikit lubang dari kain itu agar bisa mengintip ke arah Sugeng.
Namun, dia merasa heran karena ternyata Sugeng tidak mendekat ke arahnya. Pria itu malah melangkahkan kakinya menjauh dari dirinya, Wati yang merasa penasaran menitipkan Ayu pada Romlah, lalu dia pergi mengikuti putranya.
"Loh! Masuk ke mana dia?"
Melihat Sugeng yang masuk ke dalam ruang perawatan, Wati mengintip dari jendela yang terbuka. Dia bisa melihat kalau putranya kini duduk di bangku tunggu, di atas ranjang pasien ada Inah yang sedang duduk dengan tatapan matanya yang kosong.
"Loh! Ada apa ini? Inah sakit? Kapan dia dibawa ke sini untuk dirawat?"
Wati bisa melihat kalau Sugeng sedang berbicara dengan Inah, tetapi dia tidak bisa mendengarnya. Saat dia asik mengintip, dokter kebetulan ingin masuk dan menegur Wati.
"Maaf, anda siapa ya?"
"Eh? Saya mertuanya pasien, Dokter mau ke dalam ya?"
"Iya, mau ngobrol sama pak Sugeng."
"Saya ikut masuk," ujar Wati yang penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh dokter nantinya.
Sugeng kaget karena melihat dokter yang datang dengan ibunya, padahal dia belum memberitahukan keadaan Inah kepada Wati. Dia belum pulang, dia malah tidur sampai puas di mushola. Dia bahkan belum mandi dan juga makan.
"Siapa yang beritahu ibu kalau Inah dirawat di sini?"
"Anak kamu sakit, dia sekarang ada di ruang picu. Kritis, tadi nggak sengaja lihat kamu masuk ke sini."
"Ayu sakit? Kenapa, Bu? Romlah nggak bisa urus dia?"
Wati menundukkan kepalanya, dia takut kalau Sugeng akan marah kalau dia berkata yang sesungguhnya. Sugeng yang melihat ibunya hanya menunduk langsung bertanya sambil membentak.
"Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Bu! Jangan buat aku kesal, aku sudah kesel dengan keadaan Inah sekarang."
"Maaf, Nak. Ibu tadi memandikan anak kamu dengan air dingin, dia langsung menggigil dan kejang-kejang."
"Sial! Memangnya Ibu tak tahu kalau anakku alergi dingin?"
"Nggak! Maaf," ujar Wati.
"Ibu tuh gak ba---"
"Diam! Kalian berisik sekali!" teriak Inah yang sejak tadi diam saja.
Melihat Sugeng berdebat dengan Wati, hal itu memancing wanita itu untuk emosi kembali. Dia marah-marah dan bahkan mencoba menyakiti dirinya sendiri, Sugeng dengan cepat memeluk Inah.
Dokter yang sejak tadi diam akhirnya menyuntikan obat penenang, karena Inah sudah tidak terkendali.
"Sebenarnya apa yang terjadi terhadap Inah?"
Dokter menghela napas panjang, lalu pria itu mulai menjelaskan tentang keadaan Inah.
"Setelah sadar, kami melakukan pemeriksaan ulang. Ternyata Ibu Inah mengidap kanker payu dara stadium lanjut, dia harus melakukan perawatan khusus."
"Apa?!" teriak Wati dan juga Sugeng.
Sugeng merasa lemas sekali mendengar apa yang dikatakan oleh dokter, tubuhnya sampai luruh ke lantai yang dingin. Dia memeluk kedua kakinya dengan air matanya yang berurai.
"Kenapa bisa seperti ini? Inah sakit kanker, sekarang Ayu juga kritis. Aku harus bagaimana, Bu?"