Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 : Mencari sekutu
Pemuda yang sering diejek mirip banci dikarenakan caranya berjalan, bersikap layaknya wanita, apalagi kalau bersuara – nadanya mendayu-dayu. “Kau lihat sendiri itu Ihsan. Mati aku, mau mati rasanya sampai sulit bernapas macam ini! Padahal diriku tak ikut-ikutan sewaktu kalian mengarak di malam mencekam itu! Aku memilih ngorok, bermimpi dijemput Abang-abang naik Lembu jantan!”
“Diam kau Igun! Banyak kali cakap kau!” Rido melengos melewati si Igun, banci kampung Hulu.
“Mampus saja kau! Kuharap kau mati dengan cara mengenaskan! Gara-gara dirimu, kalian – pemuda paling tampan di kampung ini lenyap!” Igun mencebik, tapi tidak berani bersuara lantang, cuma bergumam.
Rido, dan juga Sarman yang tadi beralasan pura-pura sesak buang air besar dikarenakan malas harus memasuki rimbunnya pepohonan bambu, berlari kecil menuju tempat Ihsan pingsan.
Pupil mata kedua pria yang nyaris berhasil menodai Padmini, membesar. Mereka sangat terkejut sekaligus ngeri melihat keadaan Ihsan, pemuda tempo hari meraba paha kekasihnya Rahardi kala di arak.
“Siapa yang berani dan ahli memegang kepala Ular? Tolonglah Ihsan!” dia sendiri sudah menyerah. Ular sawah sebesar lengan bayi melilit kedua paha pemuda tak sadarkan diri. Kepalanya menggigit tepat di buah zakar.
Tidak ada yang berani maju. Ular itu bukan satu ekor, tapi dua. Walaupun tidak berbisa dikarenakan jenis Ular sawah emprit – berburu mengandalkan cara melilit mangsa. Tetap saja menakutkan dan berbahaya bagi mereka yang baru saja mengalami hal mengerikan.
“Biar aku saja! Percuma mengaku perkasa, tapi sama Ular tak berbisa pun takut! Cakap saja yang besar, nyatanya nyalinya cetek. Awas kalian!” Igun tiba-tiba datang lagi, tidak tega melihat pemuda mesum sering mengintip gadis mandi disungai, tengah sekarat.
Igun berjongkok, memandang lekat kepala Ular yang masih belum melepaskan taring nya dibuah zakar, satu lagi menggigit ujung benda tumpul mengerut.
“Hap! Astaga sepertinya aku cocok jadi pawang Ular!” pekiknya girang saat berhasil mencengkram leher Ular.
Para pria menatap kagum sekaligus bergidik geli. Bagaimana pemuda layaknya berkelakuan seperti gadis itu terlihat sangat berani menarik badan Ular sampai melepaskan lilitan dan gigitannya.
Ketika Ihsan sudah terbebas dari lilitan hewan melata, ia dipanggul oleh pemuda tetangganya menuju puskesmas.
Igun tidak tega mau melempar Ular yang ekor dan badannya melilit kedua lengannya. "Biar ku bawa kau pergi jauh. Takutnya kalau masih disini, nanti kalian dibunuh layaknya Padmini dan calon suami haluku kang Rahardi!"
Tidak ada yang mempedulikan sang penyelamat itu, mereka berduyun-duyun kembali ke area perumahan warga. Mencari solusi bagaimana caranya terhindar dari teror menyeramkan.
.
.
Begitu sampai di semak-semak tepi sungai. Igun membungkuk, pelan-pelan dia lepaskan kepala Ular sawah dalam genggamannya.
Anehnya, Ular tersebut tidak menyerang balik padahal sudah belasan menit lehernya dicekik Igun.
“Kok baik kali kalian? Lebih manusiawi ketimbang mereka yang diberikan akal tapi tak berotak!” pujinya terkekeh girang.
“Wangi apa ini? Harum sekali langsung membuat perutku lapar.” Dielus-elusnya perutnya. Dia berbalik badan mencari sumber aroma masakan bersantan.
Seperti dihipnotis, kehilangan rasa takut – Igun menceburkan diri ke dalam sungai. Berjalan ke seberang dan naik ke permukaan, lalu melangkah dan menyibak tumbuhan putri malu menutup sebuah lorong.
Tidak dirasanya perih pada lengan akibat tergores tumbuhan berduri tadi. Kakinya terus melangkah maju, pandangannya sangat fokus menyusuri jalanan berliku-liku, minim cahaya.
Lima belas menit kemudian, Igun sampai di hutan belantara, tanpa cahaya matahari. Berkabut dan suhunya dingin menusuk tulang.
“Eh! Dimana ini? Siapa yang menculikku kesini?!” pekiknya, baru dirinya sadar kalau berada ditempat asing dan terkesan horor.
Mata bulat Igun berkedip-kedip, mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Dia merinding, bersiap untuk menangis kencang-kencang. Bibirnya sudah mencebik dan sudut mata basah.
“Igun ….”
Seperti video diperlambat, perlahan Igun berbalik badan, baru saja mau berteriak tapi ternyata suaranya menyangkut di batang tenggorokan.
“Kau sainganku dalam memperebutkan cinta Kang Adi, ‘kan? Kok masih bernapas? Eh betulan bernapas atau sudah berhenti?” Ia lupa kalau semenit yang lalu ketakutan. Dipandanginya gadis berkaos dan bercelana lengan panjang.
Tanpa senyum, dan tetap dengan raut datarnya, Padmini bersuara. “Aku masih orang yang sama, tapi tak lagi memiliki hati nurani, lupa apa itu namanya empati. Diriku sengaja memanggilmu kesini, menagih hutang orang tuamu yang menumpuk meminjam uang kepada ayahku juragan Pandu.”
Ada getar samar pada sorot mata terbuka lebar. Dapat dirasakannya aura kuat, tegas, dan mistis pada gadis yang sebelumnya terlihat malu bila berpapasan dengan pria, selalu menjaga sikap, adab sopan santun.
“Dengan apa harus kubayar hutang yang jumlahnya menggunung itu? Aku yakin, bila bekerja seumur hidup pun belum lunas,” ucapnya rendah, tak berdaya, apa adanya.
Orang tua Igun, terutama bapaknya yang kecanduan judi kartu dan sabung Ayam, terlilit hutang tanpa bunga dengan Juragan Pandu – alasannya untuk berobat Igun agar sikapnya jadi layaknya laki-laki sejati.
Sementara ibunya Igun terjerat hutang dikarenakan gaya hidup boros. Tak pintar mencari uang, tapi suka sekali menghamburkannya. Kini mereka telah tiada, dan Igun pernah berjanji mau melunasi, sudah pula mulai mencicil dengan bekerja di kebun tebu milik keluarga Padmini.
Padmini menatap tegas manik coklat gelap pemuda seumuran dengannya, dua puluh satu tahun. “Bukan uang yang kuinginkan sebagai pelunasan. Namun kesediaan dan kesetiaanmu menjadi orang kepercayaanku!”
Pemuda berkaos lusuh, celana selutut itu mengerutkan kening, dia tidak paham akan permintaan aneh Padmini.
“Igun, kau pasti mengetahui peristiwa menjijikan malam kelam itu ‘kan?” Kala Igun mengangguk. “Pun tentang kutukan Maut ku?”
“Iya. Lantas apa hubungannya denganku? Padmi, aku sama sekali tak ikut-ikutan! Meskipun sering menggoda kang Adi secara terang-terangan, tapi itu cuma sebatas candaan, ya walaupun terkadang diri ini terpesona oleh senyum teduhnya.” Pipinya merona kemerahan, dia seperti gadis remaja jatuh cinta.
Andai saja dulu sebelum kejadian merenggut kebahagiaan dan menghancurkan hidup Padmini, pasti gadis cantik itu tekekeh lirih, bila sudah tidak lagi bisa menahan tawa, langsung membekap mulutnya kala mendengar godaan jenaka Igun yang merayu kang Adi.
Namun kini cuma menatap tanpa mau menanggapi candaan itu.
"Memang tak ada hubungannya denganmu, tapi seluruh warga kampung Hulu akan mendapatkan hukuman atas kebiadaban mereka tanpa kecuali! Aku ingin kau bekerja sama denganku sebagaimana dulu dirimu menjadi pekerja dikebun tebu."
Walaupun telah bersekutu dengan Iblis, Padmini masih membutuhkan seseorang untuk melancarkan aksi balas dendamnya. Karena dia menginginkan kematian secara perlahan-lahan terhadap para calon korbannya.
Igun menimbang-nimbang. Ada hutang yang harus dilunasi, dan dia pun ingin terhindar dari kutukan maut itu karena memang dirinya tidak bersalah. Tidak sudi menanggung hukuman atas kejatahan yang tak pernah diperbuatnya.
“Apa yang harus kulakukan? Bantuan seperti apa yang kau perlukan, Padmini?”
.
.
Bersambung.
Aq suka ide mu Kaka,, bener2 ga d sangka2..., biasanya kalo ad hajatan,, kericuhan yg d khawatirkan itu seperti tiba2 ad yg kesurupan,, atw ad yg mabuk trus berkelahi,, dan kalo pun ad yg keracunan makanan,, taunya setelah pulang k rumah.
Lha ini...,, keren ...,, keributan,, kepanikan,, ketegangan dan jangan lupa bau yg luar binasa bikin orang muntah2 serta pemandangan yang menjijikan. Benar kata Sundari...,, ini pernikahan yg terkutuk 🤣
mana di kamar pengantin juga ada🤣🤣