Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6.Terapi Kilat
Aruna melangkah cepat menuju meja perawat jaga di dekat ruang administrasi. Di sana Maya sedang sibuk menatap layar komputer, jemarinya lincah mengetik data pasien.
“May, nanti kalau misalnya Dirga nyariin gue, bilang aja gue izin… entah ke mana gitu, pokoknya kasih alasan aja ya,” bisik Aruna sambil mencondongkan tubuh.
Maya menghentikan ketikan, menoleh curiga. “Emangnya lo mau ke mana?”
“Ada yang mau gue beresin. Pokoknya kalau Dirga atau dokter lain tanya, bilang aja gue sakit perut atau apa lah. Lagian bentar lagi juga jam istirahat, gue yakin nggak ada yang nyariin gue. Pasien juga udah nggak ada.” Aruna mengedipkan sebelah mata, berusaha mengode sahabatnya itu.
Maya menghela napas panjang. “Gue nggak jamin lo bakal aman, Run. Lo tau kan dokter Salma? Kadang nongolnya kayak setan. Kalau dia tiba-tiba nyariin lo, bisa berabe.”
Aruna malah cekikikan, menepuk bahu Maya. “Ah… gue nggak yakin dia bakal nyariin gue. Yang penting lo pinter-pinter aja ngeles, oke? Bye May, mmmuaacchh!” Ia membuat simbol hati dengan kedua tangannya lalu langsung kabur sebelum Maya sempat protes.
Maya mendengus jijik, bibirnya menekuk ke samping.
____
Aruna menyusuri koridor rumah sakit, matanya jelalatan ke setiap sudut. Ia yakin Utari belum jauh, mungkin hanya bersembunyi sambil menunggu situasi sepi. Dan benar saja, tak lama kemudian ia melihat Utari meringkuk di balik dinding, wajah pucatnya dipenuhi rasa takut, sesekali mengintip kanan-kiri memastikan keadaan.
Aruna melangkah pelan, lalu mendekat dengan senyum hangat. Ia langsung menggenggam tangan Utari tanpa banyak bicara.
“Mb… mbak perawat?” suara Utari gemetar saat merasakan tangannya ditarik.
Aruna menoleh sambil tersenyum menenangkan. “Ikut aku yuk. Anggap aja ini terapi kilat,” ucapnya lembut. Ia kemudian menggandeng Utari keluar dari rumah sakit, membimbingnya melewati lorong yang ramai sambil perlahan mengarahkan fokus Utari agar berani menghadapi situasi yang biasanya ia takuti.
______
Aruna masih menggandeng tangan Utari, matanya terarah pada sebuah kafe di seberang rumah sakit. Dari balik kaca terlihat beberapa pengunjung sibuk mengobrol, suara gelas beradu pelan terdengar hingga ke luar. Cukup ramai, tapi tidak sampai sesak.
“Kamu percaya sama aku, kan?” tanya Aruna lembut. Meski berusaha santai, nadanya tetap profesional karena bagaimanapun Utari adalah pasiennya.
Utari menatapnya cemas. “Mbak… kamu mau apa?” Suaranya bergetar, tangan yang digenggam Aruna berusaha terlepas.
Aruna mengeratkan genggaman itu. “Ada aku di sini. Kamu bilang takut keramaian, kan? Kita harus hadapi pelan-pelan. Aku bakal buktiin kalau keramaian nggak semenakutkan yang kamu pikir.”
“Nggak… aku… aku takut…” Napas Utari terengah, dadanya naik-turun cepat.
Aruna buru-buru menenangkan. Ia menuntun Utari melakukan teknik pernapasan yang tadi mereka latih bersama Dirga. “Tarik napas dalam lewat hidung… tahan sebentar… lalu buang pelan-pelan. Ulangi, ayo.”
Beberapa kali diulang, wajah Utari mulai sedikit lebih rileks.
“Bayangin di sana cuma ada kita berdua. Fokus sama aku. Kamu bisa, Ras,” bisik Aruna menenangkan.
Dengan langkah ragu, Utari akhirnya mau mengikuti Aruna masuk ke dalam kafe. Saat mengantri, Aruna tak berhenti mengajaknya ngobrol. Ia bercerita tentang hal-hal sepele tapi lucu—mulai dari kucing tetangganya yang suka nyolong ikan, sampai Dirga yang kalau marah mukanya mirip orang sembelit. Utari sempat terkikik kecil, dan itu sudah jadi kemenangan pertama.
Setelah pesanan mereka didapat, Aruna membawa Utari ke meja pojok yang lebih tenang. Sebelum duduk, Aruna sempat meminjam sebuah mainan dari kasir—seekor Buaya plastik dengan mulut terbuka lebar berisi gigi-gigi karet kecil.
“Kita main ini,” kata Aruna sambil mengeluarkan mainan dari balik meja.
Utari melongo. “Itu apa, Mbak?”
“Mainan anak-anak. Tapi seru kok buat bikin otak lebih rileks. Kamu mau coba sama aku?”
Utari mengangguk pelan sambil memegang hotdog dan minumannya.
Baru saja mereka hendak mulai, dua sosok muncul mendekat.
“Wih, seru nih! Maling mainan di mana lo, Run?” suara riang itu milik Bima, Dokter anak yang Ceria dan suka ceplas ceplos. Bima seenaknya langsung duduk.
Nadya, dokter anak sekaligus ibu tunggal muda ikut tersenyum lembut pada Utari. “Aku juga sering bawa pasien anak main kayak gini. Lumayan banget buat nenangin mereka.”
Aruna menoleh dengan senyum terpaksa, tapi sorot matanya jelas tajam. “Bim, gue lagi sama pasien. Bisa mulut lo dijaga?”
“Maaf ya, Utari,” ujar Aruna buru-buru. “Ini Bima, perawat anak. Dan ini dr. Nadya.”
Utari tersenyum kaku sambil mengangguk. Nadya membalas dengan hangat, sedangkan Bima malah berbisik ke Aruna, “Lo lakuin terapi kilat lagi?”
“Lo bisa diem nggak Bim sebelum mulut lo gue karetin” balas Aruna dengan senyum tetap terjaga.
Ia menepuk tangannya pelan, kembali fokus ke Utari. “Oke, sekarang kita mulai. Dari kamu dulu ya, Ras. Paham cara mainnya?”
“Iya…” jawab Utari pelan, menelan ludah sebelum meraih mainan itu.
“Gue ikut juga!” sahut Bima semangat. Nadya mengangguk, akhirnya mereka semua duduk melingkar.
Permainan dimulai. Bergantian mereka mengambil berlian plastik kecil dari mulut buaya, sambil menekan giginya bergantian .Awalnya semua aman - aman saja hingga pada ahirnya di saat yang tak terduga mulut buaya tersebut tertutup.
Plak!
Mulut buaya tiba-tiba menutup rapat. Utari terlonjak kaget, hampir menjatuhkan gelasnya.
Tawa pecah serentak dari Aruna, Bima, dan Nadya. Beberapa pengunjung kafe sempat melirik ke arah mereka, tersenyum melihat suasana itu.
Wajah Utari yang awalnya pucat ikut berubah. Bibirnya terbuka, lalu tawa renyah meluncur begitu saja. Tawa yang tulus, tawa yang membuat matanya berkilat.
Untuk pertama kalinya ia tidak sibuk menoleh ke sekeliling, tidak lagi tercekik oleh rasa takut. Keramaian di kafe seolah lenyap, berganti dengan momen sederhana yang membuatnya bahagia.
Selesai bermain, menikmati makanan, dan mengobrol santai bersama teman-teman, Utari akhirnya pamit pulang dengan wajah sumringah. Senyum itu terasa berbeda—lebih lega, lebih berani dibanding saat pertama kali ia datang.
“Makasih ya, Mbak. Aku janji bakal rutin terapi kali ini,” ucapnya tulus.
Aruna ikut tersenyum sambil mengangguk. “Kamu pasti bisa berbaur dengan dunia luar, Utari. Nggak ada yang perlu ditakuti. Semua cuma soal waktu dan keberanian.”
Ia ikut mencegatkan taksi di tepi jalan. Begitu mobil berhenti, Utari masuk dengan senyum bahagia yang seakan menular.
“Sekali lagi, makasih ya, Mbak!” serunya dari balik jendela sebelum taksi melaju pergi.
Aruna melambaikan tangan, tawanya pecah kecil melihat wajah Utari yang begitu lega. Hatinya ikut hangat—rasanya menyenangkan bisa melihat pasien yang tadi penuh cemas kini berangkat pulang dengan harapan baru.
Namun, kehangatan itu mendadak meredup. Sejak di kafe tadi, ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan seolah ada mata asing yang terus mengawasi gerak-geriknya. Berkali-kali ia menoleh, memutar pandang, tapi tak menemukan siapa pun. Hanya keramaian orang berlalu-lalang.
Bayangan pesan-pesan ancaman yang sempat ia terima beberapa kali pun terlintas di kepalanya, membuat dadanya sedikit mengeras. Dengan langkah terburu, Aruna segera kembali ke rumah sakit, berusaha menepis rasa tak nyaman itu.
Dari balik dinding bangunan tak jauh dari sana, seorang pria berbalut kemeja dongker perlahan keluar. Tatapannya tajam, mengikuti arah langkah Aruna yang semakin menjauh hingga hilang dari pandangan.
.
.
.
bersambung
Aduhhh siapa nih yang ngikutin Aruna, apa bener peneror Aruna sekarang udah turun tangan langsung nggak pake ancaman lagi???
Hati - hati ya Run🥺
Jangan lupa tinggalin jejak👣👣 ya guys, komen 😍like 👍🏿dan subscribe ❤dari kalian adalah semangat bagiku untuk terus berkarya🥰
.
.
.
.
______
🌸Nadya mustika
wanita berusia 27 tahun, dokter anak sekaligus ibu tunggal .
sifat : kalem , lembut dan baik hati
Status :Janda anak satu, suaminya meninggal saat ia melahirkan.
🌼Bima Ariandra
Pria berusia 27 tahun, Dokter muda yang bertugas di bagian kesehatan anak.
sifat :ceria , sayang anak, sering ceplas -ceplos tidak jelas dan suka mencairkan suasana saat berkumpul.
Status :jomlo dan teman dekat Dokter Dirga dan Aruna.