“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 11
Laila menarik amplop tadi, ia mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan dinding bawah jendela. Meringkuk seraya memasang telinga – agar dapat mendengar suara sesuatu di atas atap seng.
Kabut putih tipis masuk melalui sela kayu penyangga atap, beraroma memabukkan membuat siapa saja menciumnya seketika tidur pulas.
‘Seseorang menabur atap seng dengan tanah kuburan. Apa tujuannya sehingga ingin membuat yang mendiami rumah ini tertidur lewat ilmu sirep?’ tanyanya dalam hati.
Degup jantung Laila meningkat beriringan dengan kabut putih mengelilinginya. Bila itu orang awam, sudah pasti langsung tertidur.
Namun, tidak dengan Laila – matanya tetap terjaga. Telinganya mendengar pintu dapur berusaha dibuka. Kemudian jendela tempat dimana dia duduk di bawahnya, mulai direnggangkan barisan kacanya.
Laila mendongak, dia melihat sembari menahan napas – tangan berkulit coklat gelap, punggung jari ditumbuhi bulu, sedang menggenggam obeng berusaha membuka baut.
'Dia manusia, bukan makhluk jadi-jadian,’ ia tidak merasakan aura mistis pada sosok yang masih mencoba memutar obeng teralis.
“Tak bisa dibuka. Dia menambah banyak baut, sepertinya pintu pun ditambah grendel nya,” bisik suara seorang pria.
“Jahanam! Ternyata sosoknya cerdik dan memiliki kewaspadaan tinggi. Ayo kita pulang dulu, bila ada kesempatan emas – kembali lagi.”
“Terus bagaimana dengan sesuatu yang ingin kita ambil? Apa dobrak saja pintunya, lagipula pasti si bidan Laila sudah tertidur sangat pulas,” tanya suara serak-serak basah.
Laila menarik lututnya agar semakin menekan dada. Cahaya lampu senter menyorot ruang tamu, tetapi tidak bisa menggapai bawah jendela dikarenakan terhalang teralis dirangkai rapat.
“Lusa kita kembali lagi, bawa linggis! Ayo cepat balik!”
Terdengar derap langkah kaki terburu-buru ke belakang rumah.
“Dua orang.” Laila mengangguk, membenarkan analisanya.
‘Mengambil sesuatu, apa yang tertinggal di sini? Bagian mana yang belum ku telusuri?’
Saat dirasa sudah benar-benar aman, wanita berbaju terusan itu kembali menghidupkan senter. Cahayanya diarahkan ke sekeliling ruangan hingga atap seng.
“Tak ada apa-apa, akupun sudah menggeledah seisi rumah. Lantas dimana?" Dia berdiri, mencoba mencari sesuatu yang sepertinya terlewatkan.
Laila masuk ke dalam kamar, senter diarahkan ke atas. “Astaga, aku melupakan memeriksa plafon itu!”
Di rumah dinas bidan Laila, cuma bagian kamar yang sudah di plafon – lainnya masih terbuka dan terlihat atap rumah.
Dia tidak bisa menunggu sampai besok pagi, enggan melewatkan setiap detik disaat nyawanya sendiri mungkin sedang terancam. Entah kapan tepatnya, yang jelas antara bidan Juleha, suster Ineke dan dirinya, saling terhubung.
Wanita berwajah berkeringat itu terlebih dahulu mengambil isolasi, lalu melakban mulutnya. Supaya kalau misalnya ada penampakan menyeramkan dirinya tidak bisa menjerit.
Kemudian menarik ujung baju terusan, mengikat pada pinggang agar tidak menghalangi saat dia memanjat dinding kamar mandi yang terhubung dengan plafon kamar tidur.
Laila naik ke pinggiran semen bak penampung air yang sampingnya terdapat kloset jongkok. Menurunkan alat mandi, lalu kakinya menginjak papan tipis penyanggah rak sabun.
‘Dulu aku paling kesal kala dititipkan dikampung, karena pasti akan dipaksa latihan pencak silat atau apapun itu sebagai bekal ilmu beladiri agar bisa melindungi diri sendiri. Tak ku sangka sekarang bisa berguna untuk memanjat dinding layaknya Monyet.’
Tangannya sudah menggapai kayu panjang yang melintang diatas puncak dinding.
“Pengap sekali.” Digosoknya hidung yang terasa gatal akibat debu. Laila berhasil duduk diatas batang kayu, senternya ia arahkan ke pojok triplek plafon.
Ada sesuatu di sana, terbungkus kain sarung kotak-kotak. Dengan hati-hati dirinya merangkak, menginjak kayu agar bisa mencapai ujung.
Tanpa diduga dibalik sarung – sosok wanita berambut panjang, kening melesak kedalam seperti terkena hantaman godam, bibirnya dijahit, dan dia berusaha menyeringai sehingga mulutnya sobek.
Laila yang terkejut, melompat dari batang kayu ke triplek.
Hmmm!
Brak.
Bugh!
Plafon yang terbuat dari triplek jebol, terjatuh bersama tubuh Laila yang menghantam tilam.
Kain sarung pun ikut terjun ke lantai, terdengar bunyi berdentum rendah.
Hmm … hmmm … hmmm
Laila berteriak kencang, yang keluar hanyalah suara seperti dibekap. Tangannya menarik lepas lakban.
“Huh huh … Hantu sialan kau! Sudah ku peringkat kan kalau mau menampakkan diri beri aba-aba!”
Hampir saja dirinya menangis, lelah fisik dari berguling-guling di bukit belum juga hilang. Sekarang ditambah dirinya terjatuh dari ketinggian tiga meteran.
“Angkat sarung buluk itu kemari!” titahnya tidak tahu diri.
Sang kuntilanak yang bergelantungan di kayu penyanggah atap, melakukan trik layaknya sulap, menggunakan jari telunjuk – sarung pun berpindah ke tempat tidur.
Susah payah seraya menahan nyeri pada punggung dan bokong, Laila duduk. Dibukanya ikatan sarung.
Isinya beberapa potong baju kaos dan celana kolor, lalu pakaian dalam, ada juga peci dan kupluk. Kemudian terdapat buntalan diikat tali kain.
Laila gamang kala hendak membuka, terlebih jimat yang dia kenakan bertambah dingin pada bagian besi.
“Siapa suruh memberi teka teki kepada seseorang yang memiliki rasa penasaran setinggi langit! Perihal takut, nanti kita usahakan tak menjerit apalagi pingsan,” gerutunya.
Tali pun dibuka, tangannya melebarkan kain beludru bewarna hitam. Cahaya senter di kening Laila menembus ke dalam, bersamaan dengan itu tubuhnya bergetar hebat. Tangannya menumpahkan isinya, terjatuh lah benda yang dia kenali lewat penglihatan tempo hari.
Laila memegang sebuah paku ulir berkarat, panjang 20 cm, sebesar jari telunjuk. Rasa panas, menjalar dari ujung kaki hingga kepala, bukan lagi bergetar – tubuhnya menggigil luar biasa.
Di batas ambang kesadaran, sebuah ingatan berhasil merasuk ke pikirkan Laila. Si empunya langsung tidak sadarkan diri – kali ini bukan cuma gambaran buram, tetapi layaknya adegan terjadi di depan mata.
Sosok remaja laki-laki di ikat terbalik, di bawah kepalanya terdapat baskom terbuat dari bahan kuningan.
Tes
Tes
Tetes demi tetes berbau anyir terjatuh, menghasilkan bunyi seperti suara buliran air hujan di atas atap seng.
Tubuh ringkihnya tidak mengenakan baju, terdapat beberapa luka sulut.
Dibatas ambang kesadaran yang kian menipis. Bibir pucat itu mengeja lemah sebuah panggilan.
J U R A G A N ....
.
.
Bersambung.
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk
dgn ke konyolna si laila ahahaaaa
mantap kk up lagi dongg kk