"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Sewindu
“Di depan sana, Kak!” Sewindu menunjuk ke arah deretan rumah di dalam perkampungan itu.
Daffa menghentikan laju motornya seperti arahan Sewindu. Matanya tak berkedip melihat rumah yang berdiri kokoh di sampingnya.
Rumah itu terdiri dari dua lantai. Sorot lampunya cemerlang memantul pada lapisan dinding dan lantai marmer yang ada di sekitarnya. Tampak sebuah taman kecil yang dihiasi dengan banyak tanaman mewah. Pagarnya cukup tinggi dan berat.
Sewindu melepaskan helm yang sebelumnya dia kenakan. Dia mengikuti arah pandang Daffa yang tak berkedip.
“Bagus, ya? Mewah.”
Daffa meraih helm yang disodorkan oleh Sewindu. “Kerja apa, ya, biar bisa bangun rumah kayak gini, Ndu?” tanyanya masih terkagum.
“Nggak tahu,” Sewindu mengedikkan bahunya, “Kayaknya seru kalau bisa tinggal di rumah sebesar ini.”
Mendengar kalimat itu, Daffa sontak menoleh cepat. Dahinya berkerut tipis sambil berkata, “Loh, ini bukan rumah kamu?”
Sewindu menggeleng tegas. “Bukan!”
Tangannya menunjuk rumah yang berada di samping rumah mewah itu. Tepatnya, rumah yang hampir mereka lewati begitu saja. Beruntungnya, Daffa berhenti di sana.
Rumah sederhana yang terdiri dari satu lantai. Bangunannya cukup luas, begitu pula dengan halamannya yang tak kalah luasnya. Meski terdiri dari satu lantai saja, rumah itu tetap tampak gagah berdiri.
Satu pohon mangga yang menjulang seolah menyambut kedatangan para tamunya. Beberapa tanaman pendek seperti pohon belimbing dan bunga-bunga mengitari halaman yang luasnya sampai ke belakang.
Sinar lampu yang sedikit kekuningan berpadu manis dengan elemen kayu jati yang banyak di gunakan untuk menopang bangunan hunian itu. Pagarnya tak terlalu tinggi, namun memiliki bagian runcing di atasnya.
“Rumahku yang ini,” kata Sewindu.
Daffa tampak membulatkan bibirnya. Pemuda itu lantas tertawa renyah atas kesalah pahamannya sendiri.
“Oh … aku kira yang ini.” Dia menunjuk rumah mewah yang sempat mereka kagumi tadi.
Sewindu ikut tertawa kecil mendengar itu. “Makasih, ya, udah nemenin jalan-jalan.”
Daffa mengangguk. Dia kembali mengenakan helm miliknya. “Aku pulang dulu, ya. Jangan terlalu sedih gara-gara pengumuman hasil tes tadi. Semangat!”
Deru motor kembali terdengar di tengah perkampungan sepi ini. Daffa sempat melambaikan tangannya dan tersenyum pada Sewindu sebelum kembali melajukan motornya di tengah angin malam.
Pagar pendek dari besi menguarkan derit pelan begitu Sewindu mendorongnya. Mata gadis itu menangkap sosok Ibu yang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
Sewindu mengatupkan bibirnya rapat begitu melihat Ibu di sana. Tatapan wanita itu tajam padanya.
“Dari mana saja, Ndu?” tanya Ibu begitu Sewindu sampai di teras. “Ibu tadi dengar suara laki-laki.”
Sewindu terdiam sebentar. Meski usianya sudah menginjak 19 tahun, orang tuanya masih sangat was-was jika Sewindu dekat dengan laki-laki.
“Bukan siapa-siapa, Bu. Itu tadi teman Sewindu.”
Ibu menghela nafasnya cukup keras hingga Sewindu mendengarnya dengan jelas. Tatapannya yang sebelumnya tajam itu langsung luruh, sorot matanya mengungkapkan rasa khawatir yang pekat.
Sebuah pukulan dia daratkan di lengan Sewindu. “Kamu ini lho! Wis jam piro iki, Nduk?! Di telepon juga nggak diangkat! Marai Ibu sama Romo khawatir!”
Sewindu mengembungkan pipinya, matanya tak berani menatap pada Ibu. “Maaf, Bu.”
Mendengar itu, Ibu tak menjawab. Wanita paruh baya itu hanya diam dan melangkah masuk ke dalam. Meninggalkan pintu yang terbuka. Menyuruh Sewindu untuk segera masuk tanpa berbicara.
Di balik sekat kayu yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga, Sewindu dapat melihat cahaya televisi yang masih menyala. Siluet Romo yang duduk sambil mengembuskan asap rokok, menjadi pemandangan yang menegangkan.
Langkah Sewindu disambut dengan deham keras dan serak. Romo melirik Sewindu dari ekor matanya yang tajam. Daripada Ibu, Romo mungkin akan menginterogasinya lebih lama.
“Dari mana?” tanya Romo. Dia bahkan tidak menyebutkan nama anaknya.
Sewindu melihat pada Ibu yang hanya duduk diam di samping Romo. Dia juga melihat pada Sewindu tanpa berniat membantunya.
“Main, Romo. Tadi kan Sewindu sudah pamit sama Ibu, sama Romo juga.”
Sewindu menatap jam dinding berwarna putih yang bergelayut di salah satu sisi dinding rumahnya. Pukul 9 malam, sudah melewati batas jam malamnya.
“Kowe lali aturan toh, Ndu? Seharusnya jam 8 kamu sudah ada di rumah!”
Romo akhirnya menoleh pada Sewindu yang masih berdiri di sana. Matanya yang memang selalu tajam itu menatap lama pada anak perempuan semata wayangnya.
Pria bertubuh besar dan gagah itu mendekat padanya. “Kamu ini perempuan, Ndu. Kalau kamu main sampai malam, kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu di luar sana, kamu mau minta tolong sama siapa?”
“Ya, Romo jangan berpikir yang jelek-jelek kayak gitu,” cicit Sewindu.
“Mikir jelek piye sih, Ndu?!”
Romo berkacak pinggang di depan Sewindu. Nada suaranya memang tidak meninggi. Dia juga tidak membentak atau bahkan berteriak. Namun, mata Sewindu tak beerani menatapnya secara langsung.
“Lagi pula, Sewindu sama teman Sewindu loh tadi. Dia laki-laki, Romo … Malah lebih aman kan?”
Romo menoleh pada Ibu dan tertawa renyah. “Deloken talah arek iki.”
“Heh, Ndu! Justru karena dia laki-laki, bagaimana kalau dia punya niat macam-macam sama kamu?”
Sewindu akhirnya mendongak. Meski takut, dia melihat tepat di mata Romo. “Jangan terlalu sering mikir jelek gitu, Romo. Lihat ini! Muka Romo udah keriput gara-gara sering mikir yang jelek-jelek.”
Romo bergeming di tempatnya. Pria berwajah galak itu tak lagi berbicara apa pun, dia hanya diam dan menatap Sewindu dalam hening. Tapi, justru itu yang menakutkan.
“Lagi pula, kalau Sewindu main sama teman yang perempuan aja, Romo juga khawatir karena nggak ada yang jagain kita, toh? Sekarang Sewindu diantar teman laki-laki sampai depan rumah, Romo sama Ibu malah mikir yang aneh-aneh.”
“Bocah iki, dikandani ono wae jawabane.”
Romo kembali mengisap putung rokoknya untuk terakhir kali dan langsung mematikannya di dalam asbak. “Kamu kalau sekali lagi pulang melewati jam malam. Tak rabino kowe!”
Alis Sewindu sontak menukik tajam, kepalanya menggeleng cepat. “Sewindu kan masih mau kuliah di Jogja, Romo.”
“Keterima?” tanya Romo yang berjalan kembali menuju tempat duduknya semula.
Satu pertanyaan yang mampu membuat Sewindu terdiam. Gadis itu memalingkan pandangannya ke sembarang arah.
Melihat putrinya yang terdiam, Romo menyunggingkan sebuah senyum tipis. “Ora toh? Nggak keterima lagi kan?”
Kekehan renyah terdengar dari bibir Romo. Pria itu kembali memalingkan pandangannya pada berita malam yang tayang di televisi.
“Sudah Romo bilang, kuliah di Malang juga nggak kalah bagusnya. Kamu malah ngotot ke Jogja.”
Sewindu akhirnya melakukan hal yang sudah dia tahan dari beberapa saat yang lalu. Hal yang tidak disukai oleh Romo dan Ibu jika Sewindu melakukannya di depan mereka.
Helaan nafas pelan dan lirih, terdengar dari Sewindu yang masih berdiri. Gadis itu berjalan menjauh dari kedua orang tuanya yang kini memandang pada punggungnya yang menjauh.
Sebelum Sewindu menyembunyikan diri di balik pintu kamar, dia kembali berbalik sebentar. “Sewindu masih punya satu kesempatan lagi tahun depan. Sewindu bakal buktikan kalau Sewindu bisa ke Jogja.”