NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Dalam waktu singkat, Ara telah menjadi bunga baru di sekolah itu—sosok yang kehadirannya memecah rutinitas dan membelokkan banyak pandangan. Gadis yang datang tanpa pengumuman, namun langsung mencuri tempat dalam benak para bangsawan muda yang terbiasa mendapatkan segalanya dengan mudah.

Beberapa dari mereka mulai mencoba mendekat, dengan cara mereka yang sopan namun penuh maksud: menawari membawakan buku, menyapa dengan senyum yang dibuat semanis mungkin, bahkan mengundangnya makan siang bersama di taman sekolah yang dikenal eksklusif. Tapi semua usaha itu berakhir tanpa hasil.

Ara selalu berhasil menghindar.

Ia tidak terlihat di kantin saat jam makan siang, dan tidak ada satu pun siswa yang tahu di mana ia berada ketika lonceng istirahat berbunyi. Seolah ia menghilang di antara dinding sekolah yang megah, atau tersembunyi di sudut-sudut yang tak terjangkau oleh mata yang penasaran.

Tidak ada yang tahu bahwa ia lebih memilih kesendirian daripada sorot mata yang terlalu berani.

Saat bel istirahat berbunyi dan murid-murid menyerbu kantin dan taman, Ara melangkah ke tempat paling sepi yang bisa ia temukan—perpustakaan sekolah.

Namun bukan ke bagian depan yang terang dan rapi ia pergi. Ia menyelinap ke sisi paling ujung, tempat rak-rak tinggi dipenuhi buku-buku tua berlapis debu, tempat yang bahkan petugas perpustakaan sendiri jarang datangi. Di sanalah ia duduk, tenang, menyendiri di antara tumpukan sejarah tua dan puisi terlupa. Ia sudah makan lebih awal—sendiri—dan kini hanya menunggu bel masuk berbunyi lagi.

Tapi ketenangan itu segera terusik.

Langkah kaki terdengar di lorong di balik rak. Ara mendongak. Langkah itu tegas, tidak ragu, tapi juga tidak terburu-buru. Seseorang sedang berjalan dengan tujuan—mencari.

Tanpa pikir panjang, Ara segera bergerak. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku sesaat, lalu ia menyelinap ke bawah meja baca besar yang tertutup di tiga sisi oleh kayu tua. Dalam diam dan detak jantung yang berpacu, ia hanya bisa berharap…

…siapa pun itu, tak benar-benar mencari dirinya.

Saat suara langkah itu akhirnya berhenti, Ara menahan napas.

Ia merunduk lebih dalam di bawah meja, jantungnya berdetak kencang di dada. Dari celah sempit antara kaki-kaki meja, ia perlahan melirik ke arah sumber suara.

Dan di sana, di balik rak tua yang nyaris menyentuh langit-langit, dua sosok berdiri begitu dekat. Seorang pria muda—mungkin berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, bertubuh tinggi dan mengenakan jas hitam sekolah pascakelulusan—tampak mendekap erat seorang gadis yang seumuran dengan Ara. Seragam gadis itu setengah kusut, dasinya longgar, dan pipinya memerah dalam cara yang tak bisa disalahartikan.

Mereka nyaris tidak memperhatikan sekeliling. Tak peduli pada derit lantai kayu tua atau kemungkinan seseorang lewat.

Pria itu mencium sang gadis dengan rakus. Bukan ciuman lembut seorang kekasih yang malu-malu, tapi ciuman panas yang sarat hasrat dan keberanian. Tangan-tangan mereka pun saling menjelajah, tanpa malu-malu, seolah mereka berada di ruang tertutup milik sendiri, bukan di sudut perpustakaan sekolah.

Ara terpaku. Antara syok, risih, dan perasaan asing yang sulit dijelaskan di dadanya.

Ia bukan orang asing pada kekerasan. Bahkan bukan pula orang asing pada ciuman yang dipaksakan, sentuhan yang menyakitkan. Tapi yang ia saksikan saat ini… adalah jenis yang berbeda. Jenis yang dipilih. Jenis yang dikehendaki.

Dan untuk sesaat—ia tak bisa berpaling.

Ara mulai merasa panik.

Ia ingin keluar dari bawah meja itu, melarikan diri secepat mungkin dari tempat yang kini terasa terlalu sempit dan pengap. Tapi pergerakan sedikit saja bisa menggeser kursi atau membuat buku di atasnya bergeser—dan itu bisa menarik perhatian dua orang yang sedang… sibuk.

Situasinya sangat canggung. Nafasnya tercekat.

Pakaian kedua orang itu mulai tampak berantakan—dasar seragam sang gadis sudah terangkat sedikit, dan pria itu kini menarik leher bajunya sendiri, memperlihatkan sebagian dadanya. Tangannya, tanpa ragu, menyusup ke balik kemeja gadis itu sambil membisikkan sesuatu yang membuat wajah sang gadis memerah namun tak menolak.

Ara ingin memejamkan mata, menutup telinganya, apa pun untuk tidak menyaksikan lebih jauh. Tapi ruang persembunyiannya terlalu sempit. Suara-suara ciuman mereka yang lembap, napas berat, dan bisikan samar yang terlalu intim terus menyusup ke telinga.

Dan yang paling membuatnya tak nyaman—semuanya terdengar… rela.

Tidak seperti yang pernah ia alami.

Ara menggigit bibirnya, menunduk lebih dalam, berusaha keras menahan desakan emosi yang naik. Ia harus pergi. Tapi bagaimana caranya? Jika ia berdiri sekarang, mereka akan melihatnya. Jika ia menunggu terlalu lama, siapa yang tahu sejauh mana “pertunjukan” ini akan berlanjut?

Tangannya mulai gemetar. Ini adalah hari pertama sekolahnya. Dan sekarang dia terjebak, diam-diam, dalam sudut gelap yang tak seorang pun tahu, menjadi saksi bisu sesuatu yang tak pernah ia harapkan.

Dia tak ingin melihat. Tapi ketika suara ritsleting terbuka, dan gaun putih gadis itu meluncur turun dari bahunya, mata Ara—tak sengaja—menangkap semuanya.

Pria itu… begitu tenang. Gerakannya lihai dan penuh pengalaman. Tidak terburu-buru, tapi tahu persis titik-titik yang membuat gadis di hadapannya memejam dan menggeliat. Tangannya menjelajah tanpa ragu, mencengkeram pinggang sang gadis, menariknya erat seolah tak ada hari esok. Kemeja pria itu terbuka, dadanya telanjang, dan senyum tipis terpatri di wajahnya seolah dunia hanyalah mereka berdua.

Dan yang membuat Ara ingin kabur… adalah kenyataan bahwa mereka tidak berusaha menyembunyikannya. Mereka tidak takut. Tidak malu. Mereka menikmati setiap detiknya, seakan dinding perpustakaan adalah tirai tak kasat mata yang akan melindungi mereka dari segala norma dan aturan.

Waktu terasa begitu lambat.

Dan akhirnya, saat semuanya mereda—gadis itu tertawa kecil, merapikan rambutnya sambil memasang kembali dasinya yang kusut. langkah kaki menjauh meninggalkan ruangan, Ara masih membeku di tempat. Jantungnya berdetak begitu keras, seakan tubuhnya akan pecah hanya karena menahan napas terlalu lama.

Dia menunggu beberapa detik. Mungkin menit. Baru ketika ia yakin suara langkah itu menjauh, ia perlahan merangkak keluar dari bawah meja tua. Kakinya kaku, tangannya masih sedikit gemetar.

Dan di hadapannya—pria itu masih ada di sana.

Berdiri membelakanginya, sedang menyalakan rokok, atau mungkin hanya menikmati sisa-sisa adrenalin di tubuhnya. Kemejanya sudah setengah dikenakan kembali, rambutnya sedikit berantakan, dan sikapnya… santai. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Langkah Ara nyaris tak terdengar saat ia keluar, tapi ketika dia hendak melangkah menuju lorong, suara pria itu terdengar.

“Apa kau menikmatinya?”

Ara terhenti. Seluruh tubuhnya menegang.

Suara itu dalam. Tenang. Dingin. Namun ada nada mengejek yang samar—seperti seseorang yang tahu persis dia telah ditonton, dan tidak keberatan sama sekali.

Ara tidak menjawab.

Tanpa aba-aba, pria itu melangkah maju. Langkahnya tenang namun penuh ancaman. Ara belum sempat bergerak ketika pergelangan tangannya ditangkap—erat—dan tubuhnya didorong kasar ke dinding kayu perpustakaan yang dingin.

Bunyi dentuman lembut terdengar saat punggungnya membentur permukaan keras, membuatnya terkejut dan nyaris tercekik oleh napasnya sendiri. Kedua matanya membulat, sementara pria itu mendekat begitu dekat hingga nafasnya menyentuh pipi Ara.

Mereka hanya terpisah sejengkal. Tatapan mereka terkunci.

Mata pria itu… dingin, namun menyala dengan ketertarikan aneh yang membuat darah Ara berdesir takut. Ia menyapu wajah Ara dari jarak yang tak sopan—menelusuri sorot matanya yang membelalak, bibirnya yang terbuka karena ketegangan, lehernya yang bergetar karena napas tertahan.

Senyum kecil, nyaris tak terlihat, terbit di sudut bibir pria itu. Bukan senyum ramah—melainkan senyum puas yang membuat Ara merasa seperti seekor kelinci kecil yang baru saja tertangkap oleh serigala.

“Jadi,” gumam pria itu dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan di telinganya, “kau sudah melihat semuanya.”

Jari-jarinya masih mencengkeram lengan Ara. Dingin. Tegas. Tak memberi ruang untuk kabur. Ara bisa mencium aroma parfum mahalnya yang bercampur dengan napas panas, namun tidak ada kehangatan dalam perlakuannya. Yang ada hanyalah kekuasaan—dan ancaman.

Ara tak bisa bergerak. Tak bisa berkata-kata. Yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan—menunggu entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Lalu… kau pasti Ara,” ucap pria itu pelan namun mantap, suaranya serak dan menekan seolah menikmati dominasi dalam situasi ini. “Murid baru yang katanya punya rambut hitam dengan sentuhan biru keabu-abuan… Cantik, polos, dan menarik perhatian terlalu cepat.”

Bibir Ara gemetar. Tubuhnya masih tertahan di dinding, dan ia nyaris tak bisa bernapas, bukan karena posisi fisik—melainkan tekanan psikologis dari lelaki asing ini. Dia tahu suara itu bukan sedang menggoda. Itu menguji. Mengancam.

“Aku penasaran…” Laki-laki itu menyipitkan mata. “Apakah kau sudah pernah mencium seseorang sebelumnya? Atau… kau hanya berpura-pura polos seperti kebanyakan gadis yang berharap ditemukan?”

Jantung Ara berdentum keras, dan dia menggeleng cepat. Napasnya pendek, tak stabil. “Kau… kau menjijikkan…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, lebih seperti suara luka daripada kemarahan.

Senyum di wajah pria itu tak berubah—dingin dan penuh perhitungan. Tapi kali ini, matanya menyala puas, seolah senang melihat reaksi ketakutan itu. Bukannya mundur, ia justru mencondongkan tubuh sedikit, masih menjaga jarak namun cukup untuk menciptakan tekanan.

“Jangan bicara seolah kau mengerti aku, Ara,” ujarnya. “Kau baru saja melihat sisi dunia yang biasanya disembunyikan dari gadis seperti dirimu. Selamat datang.”

Matanya menatap Ara seolah tengah menilai barang baru di etalase mewah—puas, rakus, dan berbahaya.

“Kau suka berciuman,” bisiknya. “Melihatmu… aku ingin menciummu.”

Ara terdiam. Nafasnya tercekat. Otot-ototnya menegang, namun suaranya tak kunjung muncul.

Dan sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun—sebelum pikirannya mampu menyusun penolakan—Domias sudah menunduk dan merengkuh wajahnya dengan paksa. Bibir mereka bertemu keras, dalam, tanpa permisi.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!