NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertarungan Ganasss

Langkah kaki Bima maju satu tapak. Gerakannya tenang, tapi matanya menajam, menusuk seperti predator yang sudah mengunci mangsa. Bagas tidak bergeming, dagunya sedikit terangkat, sorot matanya penuh tantangan. Di antara mereka, udara seperti mengeras, menekan semua yang ada di sekeliling. Suara gaduh penonton malah menghilang di telinga mereka, hanya ada detak jantung masing-masing dan napas yang makin berat.

Bima yang pertama melepaskan pukulan. Cepat, lurus, tanpa basa-basi. Bagas menangkis dengan pergelangan, tubuhnya sedikit berputar, lalu meluncurkan tendangan rendah ke arah betis. Dentuman keras terdengar ketika tulang kaki mereka beradu. Getaran itu menyusup ke tanah, membuat sebagian yang menonton ikut meringis.

“Bagus,” desis Bima sambil mundur setapak, bibirnya melengkung tipis.

Bagas hanya mendengus, lalu kembali maju dengan sikut terangkat, menghantam udara kosong karena Bima berhasil menunduk.

Serangan demi serangan berbalas cepat. Pukulan Bima presisi, dingin, penuh perhitungan—seperti mesin yang sudah terprogram untuk menghancurkan lawan tanpa ampun. Sementara Bagas, gaya bertarungnya liar tapi penuh tenaga, setiap hantaman seolah ingin merobohkan siapa pun yang berani berdiri di hadapannya.

Tubuh mereka bergerak begitu cepat sampai bayangan pun nyaris kabur. Sekali Bima melancarkan hook kanan, Bagas menahannya dengan lengan, balas mendorong keras sampai bahu mereka berbenturan. Suara gesekan sepatu menghantam tanah, menandakan keduanya menolak untuk goyah.

Sorot mata keduanya makin tajam. Penonton yang tadinya bersorak kini malah terdiam, menahan napas melihat bagaimana dua sosok itu saling mengukur tanpa ada satu pun yang mundur.

Hingga akhirnya, Bagas melepaskan pukulan beruntun, keras, liar, menghujam seperti badai. Bima menangkis sebagian, sisanya ia geser dengan tubuhnya, lalu balas dengan lutut ke arah perut. Bagas menahan dengan lengan, tubuhnya terdorong ke belakang, tapi sekejap kemudian ia malah tersenyum miring.

“Tenang amat lo, Bi. Gue bikin panas dikit, baru kerasa, kan?” ucapnya serak.

Bima hanya menatap, dagunya menegang. Ia maju lagi, kali ini tanpa ragu. Pukulan bersih melayang, cepat, terarah ke wajah. Bagas menunduk, mengelak tipis, lalu membalas dengan uppercut yang nyaris menyambar dagu lawannya. Udara di antara mereka bergemuruh, seperti dua binatang buas yang baru saja benar-benar mulai serius.

Dentuman-dentuman keras terus terdengar, langkah mereka saling mendesak. Ada kontrol dalam gerakan masing-masing, tapi jelas: panas mulai naik. Tak ada lagi basa-basi, tak ada lagi uji coba. Keduanya kini sudah menunjukkan wajah asli dari gaya bertarung masing-masing.

Dan mereka belum berniat berhenti.

Tubuh Bima terdorong setapak ke belakang, tapi matanya tetap mengunci. Bagas maju tanpa jeda, hantaman sikutnya meluncur ganas. Suara benturan tulang dengan lengan terdengar keras, membuat beberapa orang di barisan depan menahan napas.

Kali ini, kontrol yang tadi masih terasa mulai pecah. Serangan datang lebih cepat, lebih kasar, lebih keras. Bagas mengayun tinjunya seperti palu godam, tanpa peduli apakah pukulan itu akan ditahan atau masuk telak. Sementara Bima, wajahnya makin dingin, tubuhnya bergerak lebih fleksibel, tapi setiap balasan pukulannya lebih berat dari sebelumnya.

Braaak! Sebuah pukulan lurus Bima mendarat di pipi Bagas, membuat kepala lawannya terputar. Penonton berteriak, tapi Bagas tidak tumbang—ia justru tertawa pendek, darah mengalir dari bibirnya.

“Gitu, Bi! Baru gue rasain lo beneran lawan gue!” suaranya serak, liar.

Tanpa pikir panjang, ia menyerbu lagi. Kedua tangan mereka beradu cepat, pukulan dan tangkisan silih berganti seperti bunyi besi dipukul. Satu tendangan keras dari Bagas menghantam rusuk Bima, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Tapi sekejap kemudian, Bima melancarkan siku ke rahang lawan. Keduanya terhuyung, sama-sama babak belur, sama-sama menolak untuk jatuh.

Peluh bercampur darah mulai menodai wajah dan pakaian. Nafas mereka berat, tapi mata tetap menyala dengan amarah. Kini bukan lagi soal teknik, tapi soal siapa yang lebih keras kepala.

Bagas meraung, melompat dengan pukulan lurus yang diarahkan ke dada. Bima menangkis, tapi dorongan tenaga itu mendorongnya mundur beberapa langkah. Balasannya cepat—Bima menubruk maju, mengunci bahu Bagas, lalu meninju perutnya berulang-ulang. Suara gedebuk keras terdengar, membuat sebagian penonton menutup mulut, ngeri sekaligus kagum.

Namun Bagas menahan sakitnya, lengannya melingkar, menjepit leher Bima dan menariknya ke bawah. Lututnya menghantam dada lawan, sekali, dua kali. Bima terbatuk, tapi matanya tetap tajam. Ia melepaskan diri dengan sikutan brutal yang memecahkan kulit di pelipis Bagas.

Darah segar mengalir. Nafas mereka kini seperti hewan buas yang terpojok, berderu, panas, tak terkendali. Penonton berdesak, sebagian berteriak menyemangati, sebagian lagi hanya bisa terpaku, tak percaya mereka melihat pertarungan yang begitu sengit.

Benturan demi benturan makin brutal. Nafas Bagas sudah tersengal, tapi matanya masih menyala penuh amarah. Bima pun tak kalah, wajahnya berlumur darah, bibir pecah, tapi tetap maju dengan tatapan yang sama liarnya. Kontrol yang tadi sempat ada sudah hilang—kini keduanya hanya digerakkan oleh dendam dan harga diri yang tak mau runtuh.

Dari luar lingkaran, Raka menelan ludah. Tangan gemetar, matanya tak lepas dari dua tubuh yang terus saling hajar. “Gila… kalau begini terus, salah satunya bisa cacat,” bisiknya ke Dodi.

Dodi mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Iya… bukan cuma babak belur lagi ini. Satu salah pukul, bisa patah tulang. Anjir… gimana ini?”

Raka sempat melirik ke arena, ada dorongan nekat untuk melompat masuk, tapi logika menahannya. Aura pertarungan itu terlalu berbahaya, seperti dua hewan buas yang saling menerkam. Dia tahu, kalau ikut masuk, bukan melerai, justru dirinya yang bisa jadi korban.

Sementara itu, Bagas meninju keras ke arah perut Bima, tubuh Bima terlipat, tapi entah bagaimana, masih bisa membalas dengan sikutan ke rahang. Keduanya terhuyung, sama-sama nyaris roboh, tapi bangkit lagi. Penonton yang tadinya berteriak penuh semangat kini lebih banyak terdiam, wajah-wajah mereka ngeri melihat duel yang hampir kelewat batas.

Tiba-tiba—

“WEEETTT!! WEEETTT!!” Sirine polisi meraung dari kejauhan. Lampu merah-biru menari di balik pagar. Suasana langsung pecah. Kerumunan bubar panik, ada yang lari, ada yang dorong-dorongan, suasana kacau.

Tapi di tengah kekacauan itu, Bagas dan Bima sama sekali tidak bergeming. Mereka masih berdiri saling berhadapan, dada naik-turun, seakan dunia luar tak ada artinya. Kedua mata mereka masih saling kunci, tangan masih terangkat, siap saling hajar lagi.

“Bangsat! Mereka masih mau lanjut!” Raka teriak, wajahnya pucat.

“Bima! Cukup!” Dodi nekad maju bareng dua orang lain, langsung menahan tubuh Bima yang masih ngotot ingin menyerang. Raka ikut lompat, bersama dua temannya lain menahan Bagas yang masih meraung sambil berusaha lepas.

“Lepasin! Belum selesai!” teriak Bagas, matanya liar, tubuhnya menggeliat seakan lebih buas daripada tadi.

Bima pun sama, meski ditahan empat orang, dia masih berusaha maju, terengah-engah sambil meludah darah. “Gua belum kalah, anjing! Jangan halangin gua!”

Butuh tenaga penuh buat memisahkan keduanya. Suasana makin ricuh, sirine makin dekat. Akhirnya, dengan paksa, Bagas berhasil ditarik ke sisi lain, Bima digiring menjauh ke arah sebaliknya. Keduanya masih meraung, masih menantang, tapi benar-benar terpisah oleh kekuatan orang-orang yang menahan mereka.

Raka menunduk, nafasnya ngos-ngosan seolah dia sendiri ikut bertarung. “Gila… kalau nggak ada kita, mungkin mereka udah beneran remuk…”

Dodi masih menahan Bima yang ngamuk. Wajahnya tegang, tapi matanya jelas menunjukkan satu hal: ketakutan. Bukan takut pada polisi, tapi pada apa yang bisa terjadi kalau duel itu dibiarkan terus berlanjut.

1
Cadel_1
Lanjut thor🔥🔥
Aanirji R.: Siap kak 😉
total 1 replies
Cadel_1
Apa ni apa ni apa ni
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!