follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tangan Bu Yanti bergetar hebat memegang KTP Aruni. Usia 30 tahun! Selama ini, ia selalu membayangkan Aruni adalah gadis berusia awal dua puluhan, seumuran dengan keponakannya atau anak tetangganya. Wajah Aruni yang tampak muda, pembawaannya yang ceria, serta fakta bahwa Ahmad tidak pernah menyebutkan usia Aruni secara spesifik, membuatnya luput dari pertanyaan krusial ini.
Bu Yanti merasa dadanya sesak. Cucu. Itulah satu-satunya hal yang ia impikan sejak Ahmad beranjak dewasa. Ia ingin menimang cucu, mendengar tawa bayi di rumahnya, dan melihat garis keturunannya berlanjut. Kini, kenyataan tentang usia Aruni terasa seperti tembok besar yang menghadang impiannya.
"Ahmad!" panggil Bu Yanti, suaranya sedikit bergetar saat Ahmad muncul dari kamar mandi, handuk kecil tersampir di bahu.
Ahmad menatap ibunya heran. "Ada apa, Bu? Kok tegang begitu?" tanya Ahmad sambil menggosok rambutnya yang basah
Bu Yanti mengangkat KTP Aruni, tatapannya tajam menuntut penjelasan. "Ini apa, Nak? Kenapa Ibu baru tahu sekarang? Kenapa kamu tidak bilang kalau usia Aruni sudah tiga puluh tahun?!"
Ahmad terdiam, wajahnya pias. Ia tahu, inilah saatnya rahasia itu terbongkar. "Bu, soal usia itu..."
"Soal usia itu penting, Nak! Penting sekali!" potong Bu Yanti, nada suaranya meninggi. "Kamu tahu sendiri bagaimana Ibu sangat mendambakan cucu. Di usia segini, sulit bagi wanita untuk punya anak, Nak! Nanti kalau Aruni tidak bisa memberikan Ibu cucu bagaimana?!"
"Bu, soal anak itu urusan Allah, Bu. Kita tidak bisa mendahului kehendak-Nya," jawab Ahmad mencoba menenangkan, suaranya pelan. "Aruni dan aku saling mencintai, Bu."
"Cinta saja tidak cukup, Ahmad!" Bu Yanti menggeleng keras, air mata mulai menggenang di matanya. "Cinta itu tidak bisa menjamin Ibu punya cucu! Ibu tidak mau kamu menyesal nanti, Nak. Ibu tidak mau rumah tangga kalian sepi tanpa tawa
anak-anak."
Ahmad mendekati ibunya, berusaha memegang tangannya. "Bu, tolong dengarkan Ahmad dulu. Ahmad sudah membicarakan ini dengan Aruni. Dia juga sudah tahu risikonya. Tapi kami siap menjalaninya, Bu. Kami akan berusaha..."
"Tidak bisa!" Bu Yanti menarik tangannya. "Ibu tidak bisa menerima ini, Nak. Ibu sudah memikirkannya baik-baik. Kamu harus batalkan pertunangan ini."
Ahmad terkejut. "Batalkan? Bu, tidak bisa begitu! Kita sudah lamaran, Bu. Bagaimana dengan Aruni? Bagaimana dengan keluarga Aruni?"
"Itu risiko, Nak! Lebih baik batal sekarang daripada nanti kamu menyesal seumur hidup!" Bu Yanti bersikeras, wajahnya menunjukkan tekad bulat. "Ibu akan bicara sendiri dengan Aruni. Kamu tidak perlu ikut campur."
Ahmad terdiam dan mematung dia benar-benar tidak percaya ibunya akan melakukan hal ini. Padahal dia dan Aruni baru saja mendapatkan kecocokan yang sama satu sama lain.
Keesokan harinya, telepon Bu Yanti mendarat di ponsel Aruni. Nada bicara Bu Yanti terasa dingin, jauh berbeda dari kehangatan saat lamaran atau sebelumnya.
"Hallo ibu, " Sapa Aruni ramah.
"Hallo nak Aruni, bisa kita bertemu dan bicara berdua." tanya Bu Yanti tanpa basa basi.
"Eh, ada apa ya bu? " jantung Aruni tiba-tiba berdetak kencang mendengar keinginan ibu Ahmad.
"Nanti aku jelaskan setelah kita bertemu." Bu Yanti terdia sejenak seolah memikirkan apa yang ingin dia katakan selanjutnya. "Kita bertemu besok di rumah makan Bu Anis, di perbatasan desa kita. Tanpa Ahmad. "
Aruni tertegun, sebenarnya ada apa ini, kenapa Bu Yanti tiba-tiba bersikap ketus dan dingin padanya walau hanya melalui telepon.
"Baik, sampai jumpa besok, bu. " ucap Aruni lirih.
Setelah mendapatkan panggilan dari bu yani, Aruni merasa tidak tenang sama sekali. Dalam benaknya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Bu Yanti kepadanya. Kenapa mereka harus bertemu berdua saja?
Aruni benar-benar tidak mengerti maksud semua ini.
*******
Keesokan harinya sepulang mengajar, Aruni pergi ke tempat yang sudah di janjikan Bu Yanti. Sampai di sana, Bu Yanti sudah menunggunya dengan raut wajahnya kaku. Mereka duduk berhadapan, keheningan terasa mencekam.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Aruni, berusaha tetap tenang.
"Waalaikumsalam, Aruni," jawab Bu Yanti tanpa senyum. Ia menatap Aruni lurus. "Ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu, tentang usia kamu."
Aruni menunduk. "Iya, Bu. Saya tahu..."
"Kenapa kamu tidak jujur dari awal, Nak? Kenapa tidak bilang usiamu sudah tiga puluh tahun?" tanya Bu Yanti, nada suaranya menuntut. "Apakah kamu sengaja menyembunyikannya?"
"Tidak, Bu. Saya tidak berniat menyembunyikan," jawab Aruni, mengangkat wajahnya. "Saya sudah mengatakan tentang usia saya pada Mas Ahmad, dan saya sudah melakukannya. Mas Ahmad sudah tahu dan tidak mempermasalahkan tentang usia saya."
"Ahmad memang tidak mempermasalahkan, tapi Ibu mempermasalahkan!" tegas Bu Yanti, suaranya meninggi. "Kamu tahu, harapan terbesar Ibu adalah memiliki cucu. Dengan usiamu yang sudah tiga puluh, kemungkinan untuk punya anak itu kecil, Aruni. Nanti kalau kamu tidak bisa memberikan Ibu cucu,
bagaimana?"
Aruni merasakan tenggorokannya tercekat. Kata-kata itu menusuk hatinya dalam-dalam. Inilah ketakutan terbesarnya. Ia tahu, di masyarakat, wanita yang menikah di usia matang seringkali dihadapkan pada stigma ini.
"Bu, soal rezeki anak itu adalah ketentuan Allah. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa," Aruni mencoba menjelaskan, matanya berkaca-kaca. "Saya tidak bisa menjamin akan langsung punya anak, tapi saya akan berusaha sekuat tenaga, Bu."
"Usaha saja tidak cukup, Nak!" Bu Yanti menggeleng keras. "Ibu tidak mau mengambil risiko. Ibu tidak mau Ahmad menyesal nanti. Rumah tangga tanpa anak itu hampa, Aruni. Ibu sudah memikirkannya matang-matang." Bu Yanti menarik napas dalam-dalam, sorot matanya menunjukkan keputusan bulat yang tidak bisa diganggu gugat.
"Aruni, dengan berat hati Ibu katakan, pertunangan ini... rencana pernikahan kalian... Ibu batalkan," ucap Bu Yanti, suaranya datar namun tegas. "Ini demi kebaikan Ahmad, demi masa depan Ahmad. Ibu tidak bisa menerima kamu sebagai menantu Ibu."
Dunia Aruni runtuh seketika. Kata-kata itu menghantamnya bagai palu godam. Air mata yang selama ini ia tahan, kini tak terbendung lagi. Ia menatap Bu Yanti, bibirnya bergetar, tak mampu berkata-kata. Mimpi yang baru saja ia bangun bersama Ahmad, kini hancur berkeping-keping di hadapan matanya.
"Bu... Bu Yanti..." Aruni mencoba bicara, suaranya tercekat.
"Sudah, Aruni. Jangan paksa lagi," kata Bu Yanti, memalingkan wajah. "Ini keputusan Ibu. Kamu pulanglah sekarang."
Aruni bangkit dengan kaki gemetar, hatinya hancur berkeping-keping. Pertunangan yang baru seumur jagung itu kini resmi dibatalkan, hanya karena angka di KTP-nya. Rasa sakit, malu, dan kecewa bercampur aduk, meninggalkan luka yang menganga dalam jiwanya. Bagaimana ia harus menghadapi orang tuanya? Dan bagaimana ia akan mengobati luka hatinya yang begitu dalam ini?