NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 24

Fajar baru menyentuh kaca jendela saat Ustadz Yassir membuka matanya. Tubuhnya masih terbaring, tapi dadanya terasa kosong. Ia menoleh ke sisi kanan tempat tidur, hanya mendapati lipatan selimut yang sudah dingin.

"Zamara?" panggilnya lirih.

Tidak ada jawaban. Tangannya menyentuh permukaan kasur. Kosong. Ia bangkit perlahan, lalu berjalan ke kamar bayi. Ayunan kayu berwarna putih itu hanya berisi satu bantal kecil. Mireya ada di sana, tapi...

"Taimur? Zhamir?" Teriaknya napasnya mulai tercekat.

Saat matanya menangkap map berwarna krem di atas meja, tangannya langsung bergerak meraihnya. Ada selembar surat cerai. Di bawahnya, amplop putih yang membuat dadanya makin sesak.

Ia membuka perlahan. Beberapa baris tulisan tangan Zamara membakar pikirannya.

> “Aku pergi untuk selamanya. Terima kasih sudah jadi imamku. Aku bawa Taimur dan Zhamir bersamaku. Mireya kutitip di tanganmu, Mas...”

Tubuhnya terduduk di lantai. Kedua tangannya menutupi wajah. Tidak ada tangis, hanya diam panjang. Sunyi yang menyayat.

Bu Sarah masuk tergesa ke kamar, wajahnya panik.

"Yassir? Ada apa ini Nak, Kenapa kamu duduk di lantai?" tanyanya cemas.

Pak Mahmud menyusul dari balik pintu, ekspresinya serius. “Mana Zamara, Nak?”

“Mereka pergi,” lirih Yassir nyaris tak terdengar.

"Apa maksudmu mereka pergi?" tanya Bu Salamah sambil menghampiri, matanya menatap wajah menantunya dengan penuh tanya.

Yassir menyerahkan surat itu tanpa berkata. Pak Lukman membaca pelan-pelan, ekspresinya berubah.

“Zamara... tinggalkan kamu? Sama bayi kembar itu?” tanya beliau lirih.

"Kenapa dia cuma bawa dua? Kenapa Mireya ditinggal?" gumam Bu Sarah sambil menggendong cucu kecilnya yang baru terbangun.

Satu per satu anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. Bayu datang lebih dulu, wajahnya bingung.

"Ada apa sih, rame-rame pagi begini?" tanya Bayu.

“Kak Zamara kabur,” jawab Salwa pendek.

“Gak mungkin,” sahut Gilang matanya melebar. “Dia sayang banget sama Ustadz.”

“Suratnya jelas, Lang,” imbuh Salsabila sambil menyodorkan amplop ke Gilang.

Aliyah duduk di sofa, menatap lantai tanpa suara.

“Dia gak kelihatan kayak orang yang mau ninggalin keluarga ini,” ucap Ahmad dengan suara berat.

Faris berdiri kaku di dekat pintu.

“Dia tuh orang baik, Kak. Tapi kalau dia ambil keputusan ini, pasti karena udah kepepet,” katanya dengan suara menahan emosi.

Yassir menunduk. “Aku gagal, dek Faris. Mungkin aku gak cukup bikin dia bahagia.”

Bu Salamah menggenggam tangan Yassir. “Kamu bukan gagal, Nak. Kadang, cinta gak cukup buat orang yang terluka di masa lalunya.”

Mereka terdiam cukup lama. Hanya suara tangis kecil Mireya yang terdengar.

Pak Mahmud menatap ke arah jendela yang perlahan disinari matahari pagi.

“Kalau Zamara pergi demi anak-anak, kita gak bisa menghukumnya. Tapi kita juga harus siap jaga Mireya sebaik mungkin.”

Yassir mengangguk pelan. Ia peluk putri kecilnya, bibirnya menempel di dahi mungil itu.

"Ayah gak akan biarin kamu merasa ditinggal, Nak," bisiknya.

Di tengah keheningan rumah besar itu, satu hal jelas Zamara sudah pergi. Tapi jejaknya tidak akan pernah hilang dari hati mereka.

Langit makin terang. Tapi rumah dua lantai itu tetap muram. Tak ada suara riuh seperti pagi biasanya. Semua berjalan lambat, seperti waktu yang ikut kehilangan arah.

Pak Mahmud duduk di kursi kayu panjang dekat jendela. Matanya menatap kosong ke taman depan yang basah oleh embun. Ia membuka suara dengan nada pelan.

“Abah yakin... nak Zamara pergi pasti memiliki alasan yang tak bisa diungkapkan,” katanya penuh keyakinan.

Bu Salamah menoleh, lalu menatap lembut wajah Ustadz Yassir yang masih memeluk Mireya. Tangannya terulur, mengusap pelan lengan anak angkatnya itu.

“Jangan pernah membenci istrimu, Nak,” ujarnya Pak Lukman “Kadang orang pergi bukan karena gak cinta, tapi karena terlalu sayang sampai gak sanggup tinggal.”

Yassir masih diam. Pandangannya kosong. Di dalam dirinya ribut, kacau, penuh pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Tapi wajahnya tetap tenang. Matanya cuma tertuju pada bayi perempuan dalam dekapannya.

Salsabila duduk di tangga, memeluk lutut sendiri.

“Kak Zamara tuh gak pernah cerita apa-apa, ya,” gumamnya.

“Dia terlalu kuat buat minta tolong,” imbuh Salwa, lirih.

Bayu menghembuskan napas panjang. “Gue baru kemarin ngobrol sama dia. Gak ada tanda-tanda dia bakal ninggalin semua ini. Bahkan sempet becanda, katanya pengin ngajarin gue nyetir.”

“Dia bener-bener nyembunyiin semuanya,” seru Gilang, gak percaya.

Faris berdiri membelakangi ruangan. Bahunya sedikit berguncang. Ia mengepalkan tangan.

“Aku tahu Kak Zamara capek. Tapi aku pikir dia kuat. Ternyata dia capek banget sampe harus pergi,” katanya dengan suara hampir pecah.

Aliyah yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Ia menatap Yassir tajam tapi lembut.

“Masih inget gak, Bang... waktu dia bilang, ‘Kalau aku pergi, jangan cari. Tapi jagain yang kutinggal’? Mungkin itu udah pertanda,” ucapnya.

Yassir memejamkan mata, kepalanya bersandar di kepala Mireya. Tangannya mengelus rambut halus bayi itu.

Dalam hatinya terngiang jelas, suara Zamara dulu malam-malam saat mereka berdua duduk di dalam mobil. Ia bertanya, “Kalau suatu hari aku pergi, apa yang akan kamu lakukan?”

Waktu itu Yassir tertawa, menyangka itu cuma gurauan. Tapi sekarang...

“Apakah ini maksud kamu dulu kalau kamu akan pergi, apa yang akan aku lakukan?” gumamnya dalam hati, pedih.

Ia berdiri perlahan, memandang wajah kecil Mireya yang tenang.

“Papa janji gak akan bikin kamu ngerasa kehilangan,” bisiknya, lembut tapi penuh tekad.

Pak Mahmud menatap anak angkatnya itu. Ia berdiri lalu menepuk bahu Yassir.

“Kalau kamu kuat, anak-anak akan kuat. Kalau kamu baik-baik aja, Zamara pasti lega walau dari jauh.”

Bu Sarah menyusul mendekat, menggandeng tangan suaminya.

“Zamara mungkin butuh waktu buat sembuh. Atau mungkin dia gak mau sembuh karena terlalu banyak luka,” ucapnya pelan.

Semua terdiam lagi. Rumah yang biasanya diisi tawa kini hanya menyimpan gema perpisahan.

Dinding-dinding rumah itu seperti ikut berduka. Meja makan panjang tak tersentuh. Kursi bayi di sudut ruang tamu dibiarkan kosong. Tak ada langkah kaki Zamara, tak ada suara sepatu haknya yang dulu sering terdengar tiap pagi.

Rumah yang dulu jadi tempat berlindung kini hanya jadi ruang penuh kenangan.

Tapi tak satupun dari mereka berniat menghapus jejak Zamara.

Karena meski tubuhnya tak ada, cinta dan luka yang ia tinggalkan masih menggantung di udara. Tak terlihat tapi nyata. Tak terucap tapi terasa.

Suasana masih senyap saat Ustadz Yassir masuk ke musholla kecil di pojok rumah. Lampu gantung temaram memantulkan cahaya lembut di atas sajadah hijau yang sudah sering basah oleh air mata.

Ia melipat lengan baju koko, lalu duduk perlahan. Di depannya, Al-Qur’an terbuka, tapi matanya tak benar-benar membaca. Hatinya lebih dulu membaca luka.

Tangannya bergetar saat ia mengangkatnya, lalu jatuh dalam sujud yang panjang.

“Aku gak marah, Ya Allah... cuma hancur.”

Kalimat itu pelan, nyaris tak terdengar, tapi menggetarkan. Suaranya lirih, penuh sesak yang tak bisa ditahan lagi. Ia menangis bukan karena ditinggalkan, tapi karena merasa tak cukup menjaga.

“Kalau selama ini aku terlalu sibuk jadi panutan buat orang lain tapi lupa jadi rumah buat dia, ampuni aku.”

Ia duduk kembali, menyeka air mata yang tak sempat kering. Pandangannya menatap lurus pada surat cerai di samping sajadah. Map krem itu seperti benda mati, tapi menyimpan luka yang hidup dan nyata.

Tangannya menyentuh kertas itu pelan. Ia tarik napas dalam-dalam.

“Surat ini gak akan aku tandatangani.”

Kalimatnya tegas. Matanya memerah tapi bersinar.

“Aku gak akan selesaiin kisah ini sepihak. Kalau dia butuh waktu, aku kasih waktu. Kalau dia butuh ruang, aku kasih ruang. Tapi bukan untuk melepaskan, apalagi membenci.”

Ia menunduk lama, lalu menggenggam kertas itu erat, seperti menahan semuanya agar tak pecah.

“Aku tahu rasa sayang gak selalu cukup. Tapi setidaknya, biar anak-anakku tahu... ayah mereka gak lari.”

Hening kembali menyelimuti ruangan. Di luar, matahari mulai naik perlahan. Tapi hati Yassir belum sepenuhnya terangkat. Masih berat, tapi ada cahaya kecil yang menyelinap masuk.

Ia melipat map itu, lalu menyelipkannya ke dalam mushaf yang biasa ia baca.

“Biarlah waktu yang buktikan apakah Zamara memang pergi selamanya, atau cuma butuh tahu siapa yang tetap tinggal.”

Tangannya kembali diangkat. Kali ini lebih mantap.

“Dan aku juga berjanji, Ya Allah... selama hidupku masih di tangan-Mu, aku gak akan menikah lagi. Bukan karena gak ada yang baik, tapi karena aku tahu tempat hatiku masih utuh di sisinya.”

Lama ia diam di sana. Tak ada yang melihat air matanya mengalir lagi. Tapi Allah tahu, seluruh langit pun mencatatnya.

Suasana ruang keluarga mulai berubah. Bukan jadi riuh, tapi lebih hangat. Setelah momen tangis dan keterkejutan, pelan-pelan cinta kembali memenuhi ruang kosong yang ditinggal Zamara.

Aliyah mendekati Yassir yang masih memeluk Mireya. Gadis itu mengelus rambut keponakan kecilnya dengan hati-hati. Di belakangnya, Salwa menyusul sambil membawa botol susu hangat.

“Kita semua dapat tabungan dari Kak Zamara,” ucap Aliyah tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi tegas.

Salwa mengangguk, lalu duduk di samping kakaknya. “Aku baru buka email pagi ini. Dia kirim rincian semuanya. Ada dana buat sekolah, buat kebutuhan Miera, dan buat kita semua.”

Aliyah melanjutkan, matanya menatap Yassir yang masih diam. “Tapi bukan cuma uang yang dia tinggalin, Bang... dia tinggalin amanah. Dan aku berjanji, aku akan jaga dan rawat Miera. Aku bantuin Abang semampu aku.”

Salwa mengangguk cepat. “Iya, Bang. Kita semua sayang sama Miera. Kita gak akan biarin dia ngerasa sendiri.”

Yassir mengangkat kepalanya pelan, matanya berkaca. Ia memandang dua adik perempuannya yang kini terlihat jauh lebih dewasa dari biasanya.

“Kalian tahu, kan... ini bukan hal kecil.”

Aliyah menepuk bahu kakaknya lembut. “Justru karena itu kita gak akan main-main.”

Faris yang sejak tadi berdiri di dekat jendela akhirnya ikut bicara. “Mungkin Kak Zamara gak ninggalin penjelasan panjang, tapi dia percaya sama kita. Dan aku rasa sekarang giliran kita buktiin, kalau kepergian dia gak sia-sia.”

Pak Mahmud menimpali dengan suara berat tapi lembut. “Keluarga ini kuat karena saling jaga. Dan selama kita tetap bersatu, gak ada yang benar-benar hilang.”

Bu Salamah menambahkan, “Yang pergi gak selalu hilang, yang tinggal gak selalu kalah. Dan yang bertahan itulah yang paling ikhlas.”

Yassir menghela napas panjang. Ia peluk Mireya lebih erat, lalu memandang semua yang ada di ruangan.

“Terima kasih,” katanya pelan. “Aku gak tahu apa rencana Allah dari semua ini. Tapi aku tahu kita gak sendirian.”

Salsabila bangkit dari sofa, lalu mengusap kepala Bayu yang terlihat masih cemberut.

“Kalau kamu bisa berhenti ngambek, mungkin kamu bisa bantu jagain Miera juga,” godanya.

Bayu mendengus kecil. “Aku gak ngambek. Aku cuma kaget aja. Tapi ya udah, aku ikut jaga. Tapi jangan suruh ganti popok ya.”

Gilang terkekeh. “Nah, itu baru Bayu.”

Mereka tertawa kecil bersama. Meski samar, tapi kehangatan mulai kembali. Tak akan ada yang bisa menggantikan Zamara, tapi cinta yang ia tinggalkan cukup besar untuk terus hidup dalam keluarga itu.

Dan di tengah kebersamaan mereka, Mireya tertidur pulas di dada ayahnya. Tenang. Damai. Seolah tahu bahwa meski ibunya pergi, ia tetap dikelilingi cinta yang utuh.

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!