NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

04_Pagi yang dingin.

Lauren membuka pintu kamar dengan perlahan. Cahaya lembut dari lampu tidur menyorot sebagian ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding. Arga sudah terbaring di sisi kanan ranjang, membelakangi tempat Lauren biasa tidur. Napasnya stabil, teratur, namun tidak terdengar menenangkan seperti dulu.

Lauren berdiri lama di ambang pintu, menatap punggung lelaki itu.

Punggung yang dulu menjadi tempat ia memeluk dari belakang setiap pagi.

Punggung yang kini terasa seperti tembok tebal antara mereka.

Ia melangkah masuk.

Menutup pintu pelan.

Menggantung sweater yang masih basah oleh rintik hujan.

Lauren naik ke tempat tidur dengan gerakan hati-hati, seolah takut menyentuh Arga dan membangunkan sesuatu yang mungkin lebih pahit daripada tidur itu sendiri. Ia menarik selimut ke tubuhnya, berbaring menghadap sisi kirinya—membelakangi Arga.

Dinding putih di hadapannya tampak dingin.

Lauren menatapnya, kosong.

Lama.

Sangat lama.

Dan dalam keheningan itu, pikirannya kembali ke masa yang sudah jauh tertinggal…

masa sebelum semua keretakan ini muncul.

Hari itu lima tahun lalu, matahari bersinar hangat di halaman kecil rumah kontrakan pertama mereka. Rumah sederhana yang mereka pilih bukan karena fasilitasnya, tapi karena mereka ingin memulai hidup dari ruang yang mereka bangun bersama.

Lauren masih ingat jelas bagaimana Arga memeluknya dari belakang saat mereka berdiri di depan tumpukan kardus pindahan.

“Selamat datang di rumah pertama kita, Bu Hermasyah,” bisik Arga dengan senyum yang merayap di suaranya.

Lauren tertawa kecil, memukul lengannya pelan. “Jangan panggil aku begitu. Aku berasa tua.”

“Tua, mud—”

Arga memutar tubuh Lauren, mengangkatnya sedikit dengan spontan.

“—yang penting kamu milikku.”

Lauren menjerit kecil sambil tertawa keras, memegang pundaknya agar tidak jatuh. “Arga! Kamu gila!”

Arga menurunkannya lagi, lalu menautkan dahi mereka. “Aku serius, Lauren. Kita mungkin mulai dari rumah sempit, gaji pas-pasan, dan dapur yang cuma muat satu orang…”

Ia tersenyum, jarang sekali ia tersenyum sepanjang itu.

“...tapi selama ada kamu, aku bahagia.”

Lauren saat itu merasakan dunia memeluknya.

Di malam pertama mereka tinggal di rumah itu, mereka makan mie instan di lantai karena meja makan belum dirakit. Lilin kecil menyala di tengah, bukan karena romantis, tapi karena listrik sempat mati. Mereka tertawa sepanjang makan, saling memberi mie, saling mengomentari rasa asin yang berlebihan.

Lauren ingat bagaimana Arga meraih tangan kirinya, mengelus punggungnya pelan sambil berkata:

“Aku janji akan selalu pulang ke kamu.”

Dan malam itu benar-benar terasa seperti awal sebuah kehidupan baru.

Begitu sederhana.

Begitu hangat.

Begitu penuh cinta.

Lauren melihat Arga tidur di dekatnya, memejamkan mata dengan damai—seolah tidak ada jarak yang kini hampir membelah mereka.

Ia ingat juga momen kecil lain.

Malam ketika hujan deras dan mereka masih belum punya atap garasi yang layak; Arga berlari di tengah hujan hanya untuk mengambilkan sweater Lauren agar ia tidak kedinginan.

Atau saat Arga memotret Lauren diam-diam saat memasak, lalu menjadikannya wallpaper ponselnya selama berbulan-bulan.

Lauren bahkan masih ingat tanggalnya.

Masih ingat rasa hangat itu.

Masih ingat tatapan cinta itu.

Semua tampak sangat nyata—sampai suara jam kamar menyentak kembali ke masa kini.

Kembali ke Sekarang

Lauren membuka matanya. Tatapannya yang tadinya kosong kini dipenuhi campuran rasa sakit dan kerinduan. Ia mengembuskan napas pelan, menahan getaran yang hampir pecah di dadanya.

Tangannya meraih sudut bantal, menggenggam ujung kainnya untuk menjaga dirinya tetap tenang.

Di belakangnya, Arga tetap tidur membelakanginya.

Tidak bergerak sedikit pun.

Tidak mendekat sebagaimana dulu ia selalu lakukan.

Lauren menutup mata.

Diam.

Tidak menangis—hanya menahan semuanya di balik napas yang lambat.

Hatinya berbisik, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri:

“Kamu dulu pulang untukku, Arga… kenapa sekarang rasanya aku hanya seseorang yang menunggu?”

Tapi pertanyaan itu menggantung di udara tanpa jawaban.

Malam berjalan pelan, dan Lauren akhirnya tertidur dengan mata sembap—tanpa ia sadari.

Di luar, hujan berhenti.

Namun badai dalam pernikahannya baru saja mulai terasa.

____

Pagi datang perlahan, seperti enggan mengetuk jendela rumah itu. Lauren membuka mata dengan perasaan kosong—bukan karena belum sepenuhnya sadar, tapi karena ia langsung merasakan apa yang tidak ada.

Ruang di sampingnya.

Suara napas.

Aroma tubuh suaminya.

Kosong.

Seperti biasa.

Arga sudah pergi. Lagi-lagi tanpa pamit.

Hanya ada lipatan selimut yang dingin dan bantal yang tidak tersentuh, seakan semalam hanya Lauren yang tidur di sana. Ia duduk pelan, memeluk diri sesaat sebelum memaksa dirinya bangkit. Tidak ada waktu untuk meratapi yang hilang. Rumah tetap harus berjalan, meski hatinya tidak.

Ia merapikan tempat tidur dengan rapi, seperti seseorang yang mencoba menjaga sesuatu agar tetap utuh walaupun dirinya tidak lagi demikian.

Lauren mandi, membiarkan air hangat membasahi wajahnya—sedikit terlalu lama, sedikit terlalu sunyi. Setelah itu, ia mengenakan pakaian rumah yang rapi: blouse lembut warna krem dan celana panjang yang nyaman. Ia suka berdandan sederhana setiap pagi, meski tidak ada yang melihatnya.

Di dapur, ia menyeduh secangkir kopi. Aroma kopi memenuhi ruangan kecil itu, membangkitkan kenangan samar pagi-pagi ketika Arga dulu sering mencium dahinya sambil berbagi roti panggang.

Sekarang, hanya dentingan sendok, bunyi toaster, dan suara detik jam.

Lauren meneguk kopi perlahan, lalu melanjutkan rutinitas: mencuci beberapa piring, mengganti air tanaman, menata buku-buku yang terbengkalai. Rutinitasnya berjalan seperti mekanik, tanpa perasaan.

Hingga akhirnya ia mengambil sapu dan pergi ke teras.

Udara pagi terasa lembap, sisa hujan semalam masih menempel di dedaunan. Lauren mulai menyapu halaman depan, mengumpulkan daun-daun kuning yang jatuh dari pohon tetangga.

Renovasi di rumah depan masih berlangsung. Para pekerja bergerak naik-turun, membawa alat, mengatur barang, memperbaiki sisi-sisi rumah yang dulu kusam. Kini rumah itu tampak lebih hidup—lebih siap dihuni sepenuhnya.

Lauren berhenti sebentar untuk mengatur rambutnya yang tertiup angin. Ketika ia menunduk mengambil debu yang terkumpul, suara pintu depan dari rumah seberang terdengar.

Lauren mengangkat wajah.

Dan di sanalah Asher berdiri.

Tanpa topi.

Tanpa masker.

Hanya wajah aslinya—yang kemarin hanya ia lihat sebagian.

Lauren hampir tidak mengenalinya.

Asher tampak lebih muda dari dugaan pertamanya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, wajahnya bersih, garis rahangnya tegas namun masih menyisakan kesan polos. Ransel hitam menggantung di bahunya, dan ia memeriksa jam di pergelangan tangannya—mungkin hendak pergi ke kampus.

Ia menutup pintu rumahnya, lalu berjalan turun ke halaman sambil merapikan tali ranselnya. Gerakannya tenang, santai, seperti seseorang yang sudah terbiasa hidup sendiri.

Lauren menelan ludah.

'Kemarin… aku belum benar-benar berterima kasih padanya.'

Ia teringat bagaimana Asher menolongnya—membantu membawa belanjaan yang hampir jatuh, menolak imbalan, lalu pergi begitu saja setelah ia hanya memberi senyum singkat karena terlalu canggung.

Lauren memejamkan mata sebentar, merasa sedikit bersalah.

Seharusnya ia berterima kasih dengan benar.

Seharusnya ia tidak hanya menunduk malu dan melarikan diri karena terlalu gugup menyadari betapa mudanya pemuda itu.

Ketika ia membuka mata lagi, Asher sudah melangkah melewati pagar rumahnya. Langkahnya mantap, tapi tidak terburu-buru.

Sesaat, ia melirik ke arah Lauren.

Sangat singkat.

Hanya sepersekian detik.

Namun cukup membuat Lauren merasa seolah ia tertangkap basah sedang melihatnya.

Ia buru-buru memalingkan wajah dan menyapu lebih cepat dari sebelumnya.

Dari sudut matanya, ia melihat Asher menunduk sekilas, seolah mengingat sesuatu… atau mungkin sekadar menyapa dalam hati. Lalu pemuda itu berjalan pergi menuju jalan besar, menghilang di tikungan.

Lauren mengembuskan napas pelan.

Aku harus berterima kasih nanti… kalau aku punya keberanian.

Tapi entah kenapa, meski pagi itu sangat biasa… sesuatu dalam dirinya terasa tidak lagi sama seperti kemarin.

Seakan dunia sedang bergerak perlahan, membawa Lauren ke arah yang belum ia mengerti.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!