Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Balik Ke Masalalu.
Plak… plak… plak… Suara tetesan air dari atap jendela kamar yang tinggi terdengar samar, seperti musik lembut yang membangunkan dia dari tidur yang gelisah. Mata Catalina terbuka lebar dengan cepat, jantungnya berdetak kencang seperti thump… thump… thump… genderang perang yang bergema di dalam dada. Dia terbangkit dari kasur, tubuhnya bergetar hebat, selimut pink lembut dengan bunga mawar yang mengkilap terlempar ke sisi. “Aku… berhasil? Aku berhasil!!” teriaknya sambil duduk tegak, suara penuh kegembiraan yang segera memudar—karena apa yang dia lihat membuatnya bingung.
Dia melompat dari kasur mewah itu, lantai kayu yang hangat dan licin berderit lembut di bawah langkah kakinya—creak… creak…—seolah merespon kecepatan gerakannya. Dia berlari ke cermin besar di seberang kamar, yang berdiri tegak di depan dinding yang dipenuhi lukisan bunga dan burung. Di cermin, muncul bayangan seorang anak kecil berusia lima tahun: rambutnya panjang, bergelombang, putih bersih dengan gradasi pink lembut di ujungnya—sama seperti dirinya dewasa, tapi tanpa noda debu atau bekas luka yang pernah menutupi rambutnya. Wajahnya polos, pipi sedikit membonceng, dan mata pink muda yang bersinar—tidak ada kelelahan atau kesedihan yang pernah memenuhi mata dewasanya.
Matanya menatap bayangan itu, sejenak bibirnya melengkung ke atas, tersenyum lega. “Syukur lah… syukur lah…” Ia menepuk pipinya dengan kasar—slap…—menghapus sisa air mata yang masih menempel di wajah mungilnya. Tapi pada saat itu, ingatannya tersentak. Seperti ada celah besar yang kosong di pikirannya, seolah sesuatu yang penting telah hilang tanpa jejak.
“Eh? Kok…?” Matanya membesar, bulu mata panjangnya berkerut. Napasnya tersengal—hek…—seolah udara tiba-tiba hilang. “Lah!!! KEMANA MEMORI TENTANG KEMATIAN MEREKA SEMUA?!! KALAU AKU HILANG INGATAN, BAGAIMANA CARA AKU MEMPERBAIKI SEMUANYA!!” Tubuhnya terhuyung-huyung, lututnya tiba-tiba lemas, dan dia terjatuh duduk di lantai dengan bunyi thud… yang lembut. Tangannya menutupi wajahnya, jari-jari memerah, dan suara tangisnya pecah—haaah… haaah… haaah…—terdengar seperti anak kecil yang benar-benar kehilangan pegangan, penuh ketakutan dan kebingungan.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan lembut—creek…—dan dua sosok yang terlalu familiar muncul di ambang pintu. Yang pertama adalah Andras: rambutnya panjang, bergelombang, berwarna ungu gelap yang berkilau basah di cahaya lampu kamar yang lembut. Matanya berwarna merah-biru yang mendalam, bersinar dengan kehangatan yang Catalina sudah lama tidak rasakan. Dia berdiri dengan tegak, baju tidur putihnya menutupi tubuhnya yang langsing, tapi aura nya tetap kuat seperti pahlawan yang dia kenal. Di sampingnya, Leon—rambutnya panjang, putih dengan gradasi pink di ujungnya yang sama dengan Catalina—mata pink lembutnya penuh khawatir. Dia berlari cepat ke arah Catalina, langkahnya ringan di lantai kayu.
Leon menangkap Catalina di pelukannya dengan kuat, menyelubungi tubuh kecil itu dengan lengan yang hangat. “Catalina sayang? Kenapa kamu menangis?” suaranya lembut, penuh cinta seorang ayah yang khawatir. Dia mengelus punggung putrinya perlahan, membuat Catalina merasakan keamanan yang dia inginkan sejak lama.
Andras melangkah mendekat, tangan lembutnya menyentuh pipi Catalina yang basah oleh air mata. Jari-jari dia menghapus tetesan air mata itu dengan lembut, seolah takut menyakitkan. “Putriku… ada apa? Kenapa menangis? Kau bermimpi buruk lagi?” suaranya hangat, lembut, seolah musik yang menenangkan. Dia menunduk sedikit, matanya memandang Catalina dengan kehangatan yang membuat hatinya terasa hangat.
Catalina menatap keduanya, matanya membesar sampai terasa sakit. Di masa depan yang dia tinggalkan, mereka sudah tiada—terbunuh dalam pertempuran yang sia-sia. Tapi kini, mereka berdiri di depannya, segar dan penuh kehidupan. Dia menelan ludah, mencoba menyembunyikan kebingungan yang besar di dalam hati. “A… aku… hanya… mimpi buruk, Mami…” suaranya kecil, gemetar, dan cara bicaranya aneh—lebih polos, lebih lembut, seperti suara anak kecil yang sebenarnya dia adalah.
Andras mengelus rambut putrinya dengan lembut, jari-jari dia menyentuh setiap helai rambut putih-pink itu. “Catalina… jangan takut lagi… Mami dan Papi ada di sini… selalu… tidak akan pernah meninggalkanmu.” Dia mencium dahi Catalina, bibirnya hangat menyentuh kulitnya.
Leon tertawa kecil, suaranya “hih… hih…” yang ringan. Dia mengguncang bahu Catalina dengan ringan, membuatnya sedikit terkejut. “Aduh… anak papi udah berat ya… huh… Udah gak terasa aja, kayaknya besok bisa jadi pegulat deh!” dia bercanda, mata pinknya bersinar dengan kegembiraan.
Catalina menoleh dengan ekspresi sedikit cemberut, pipinya memerah karena malu. Dia menepuk bahu Leon dengan lembut—tap… tap…—dan berkata, “Ih, Papa… jangan bilang gitu deh! Aku masih kecil lho!!” Suaranya terdengar benar-benar seperti anak kecil, dan dalam hati, dia terkejut sendiri. “Eh? EH!!! Kenapa cara bicara ku kayak anak kecil!!? Aku jelas sudah berjuang selama bertahun-tahun, tapi kenapa sekarang kayak gini?!” dia bergumam dalam hati, raut wajahnya sedikit berubah menjadi bingung, meskipun dia coba menyembunyikannya.
Leon menurunkan Catalina dari pelukannya, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. “Ayo… kita makan ke bawah. Makanan sudah siap… dan Mami udah bikin yang kesukaanmu lho!” dia berkata, menarik Catalina perlahan menuju pintu.
Andras menggenggam tangan putrinya yang lain, mata lembutnya tetap memandang ke arah Catalina. “Iya… Mami sudah buat pancake selai madu dengan potongan stroberi yang manis. Hangat, manis, dan… hanya untukmu, putriku kesayangan.” Suaranya penuh cinta, membuat Catalina merasa seperti menangis lagi—namun kali ini karena kebahagiaan yang tak terkatakan.
Catalina menelan ludah, pipinya panas, bibirnya gemetar. “B… Baik… Mami…” suaranya kecil hampir tersedak, tapi ada rasa hangat yang menyebar dari tangan yang digenggamnya ke seluruh tubuhnya, seperti cahaya matahari yang menyinari tanah yang basah.
Mereka bertiga keluar dari kamar mewah itu, menuruni tangga lebar yang bersih dan mengkilap—dinding tangganya dipenuhi cermin dan bunga segar yang wangi. Creak… creak… langkah mereka terdengar berderit di tangga, membuat suasana terasa lebih hangat dan akrab. Cahaya lampu gantung yang indah memantul di dinding emas dan perabot besar yang terbuat dari kayu mahoni, seolah rumah ini adalah istana yang penuh kebahagiaan. Catalina menatap sekeliling, mata membesar melihat setiap detail—meja yang bersih, kursi yang empuk, bunga yang mekar di meja tamu. Semuanya terasa begitu asli, begitu nyata, tapi dia masih kebingungan. Rambut panjang bergelombangnya yang putih-pink bergerak mengikuti setiap langkah, basah oleh sisa air mata dari mimpi buruk, berkilau lembut di cahaya lampu.
Dalam hatinya, ia bergumam dengan bingung yang mendalam: “Kenapa cara bicara ku kayak anak kecil!? Kan aku hanya kembali ke masa lalu… dan… mengapa seluruh memori tentang kematian mereka hilang? Aduh… Gimana dong… Dari mana aku harus mulai… Bagaimana cara menyelamatkan mereka kalau aku tidak ingat apa yang akan terjadi?!” Ekspresi wajahnya berubah-ubah—dari kebahagiaan, ke bingungan, lalu ke ketakutan yang samar. Dia menatap tangan yang digenggam oleh Andras dan Leon, merasa keamanan tapi juga tekanan yang besar di pundaknya.
Ketika mereka sampai di lantai bawah, aroma pancake hangat dengan selai madu menyeruak ke hidungnya—wung… aroma yang manis dan segar, membuat perutnya menggeram. Cahaya pagi yang cerah masuk melalui jendela tinggi yang dibuka sedikit, menyinari lantai kayu dan meja makan yang sudah diatur rapi. Di meja, ada piring penuh pancake yang hangat, ditaburi dengan stroberi dan bubuk gula. Dunia ini terasa aman, hangat, sempurna—seolah tidak pernah ada bahaya yang akan datang.
Catalina menatap Andras dan Leon dari sisi mata, melihat senyum mereka yang lembut, mata yang bersinar dengan kegembiraan, dan suara hangat yang menenangkan. Tapi di dalam hati, ada bara kecil tekad yang tumbuh perlahan—sebuah rasa ingin tahu yang membakar, rasa ingin memperbaiki semuanya, dan rasa takut sekaligus haru yang bercampur. Semua emosi itu mengalir melalui seluruh tubuhnya, dari ujung rambut yang basah hingga ujung jari yang menggenggam tangan orang tuanya. Dia tahu bahwa dia ada di sana untuk satu tujuan—menyelamatkan mereka. Tapi tanpa memori, dia tidak tahu bagaimana. Dan meskipun begitu, rasa kebahagiaan yang dia rasakan sekarang membuatnya bertekad untuk berusaha, tidak peduli apa yang akan terjadi.
“Aku pasti bisa… aku harus bisa…” dia bergumam dalam hati, senyum kecil muncul di bibirnya sambil melihat pancake yang hangat di meja. “Untuk Mami, Papi, dan semua yang aku cintai… aku akan menemukan caranya.”