NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

operasi yang akhirnya selesai

Lampu merah di atas pintu ruang operasi akhirnya padam.

Tidak ada yang langsung bergerak. Tidak juga bersuara. Seolah lorong itu menahan napas bersama mereka. Bunyi klik kecil dari lampu yang mati terdengar terlalu keras, memantul di dinding rumah sakit yang dingin.

Pintu ruang operasi terbuka perlahan.

Andre yang sejak tadi berdiri tanpa berpindah tempat menegakkan tubuhnya. Punggungnya terasa kaku, kakinya pegal, tapi semua itu tidak penting. Yang ia lihat hanya satu orang—dokter yang melangkah keluar dengan wajah lelah, masker menggantung di leher, rambutnya sedikit basah oleh keringat.

Bukan wajah lega sepenuhnya.

Jantung Andre kembali berdetak tak karuan.

“Pak Andre,” panggil dokter itu.

Andre maju satu langkah, lalu berhenti. Tenggorokannya terasa kering. “Istri saya… gimana, Dok?”

Dokter menarik napas dalam, seperti memilih kata yang paling aman. “Operasinya berhasil. Pelurunya sudah kami keluarkan.”

Andre memejamkan mata. Kepalanya menunduk. Napas panjang keluar dari dadanya, berat, bergetar, seolah baru sekarang ia benar-benar bernapas.

Di bangku tunggu, Feni refleks menutup mulut. Air matanya jatuh tanpa suara. Erlang langsung merangkul bahunya. Toni mengusap wajahnya singkat, lalu berdiri tegak lagi, rahangnya mengeras.

“Hidup…” gumam Feni lirih. Entah pada siapa.

“Tapi—” lanjut dokter.

Satu kata itu cukup membuat udara kembali menegang.

Andre membuka mata. Tatapannya terkunci pada dokter. “Tapi apa, Dok?”

“Peluru berada sangat dekat dengan saraf utama di bahu dan lengan kanan,” jelas dokter pelan. “Kami berhasil mengeluarkannya tanpa merusak saraf secara langsung.”

Andre mengangguk cepat. Terlalu cepat.

“Namun karena trauma jaringan dan tekanan di area tersebut, ada kemungkinan fungsi tangan kanannya terganggu sementara. Bisa mati rasa, lemah, atau sulit digerakkan.”

Untuk sementara.

Andre tidak langsung menjawab. Ia menelan ludah, lalu bertanya dengan suara yang lebih rendah dari yang ia inginkan. “Sementara itu… berapa lama?”

“Kami belum bisa memastikan,” jawab dokter jujur. “Butuh waktu. Observasi. Dan fisioterapi.”

Andre mengangguk lagi. Kali ini lebih pelan.

“Selain itu,” lanjut dokter, “Rima kehilangan cukup banyak darah. Kami sudah melakukan transfusi, kondisinya stabil, tapi masih sangat lemah. Kami akan memindahkannya ke ICU. Dua puluh empat jam ke depan penting.”

Feni terisak kecil. Tangannya gemetar saat mencengkeram jaket Erlang. “Boleh… boleh kami lihat dia?”

“Satu orang,” jawab dokter.

“Aku,” kata Andre langsung.

Di dalam ICU, suara mesin terdengar pelan dan teratur. Lampu putih menyinari tubuh Rima yang terbaring kaku. Wajahnya pucat, hampir menyatu dengan seprai. Selang infus terpasang di lengannya, alat bantu napas menempel ringan di wajahnya.

Andre mendekat perlahan. Tangannya ragu sejenak sebelum menyentuh jari Rima yang dingin.

“Maaf,” bisiknya. Hanya itu.

Dadanya naik turun berat. Pandangannya jatuh pada tangan kanan Rima yang terbalut perban tebal. Tangan itu terbaring tak bergerak. Andre menunduk, dahinya hampir menyentuh punggung tangan Rima.

“Aku nggak peduli soal tanganmu,” ucapnya pelan, suara nyaris pecah. “Asal kamu bangun.”

Bahunya bergetar. Ia tidak mencoba menghentikannya.

Di luar ICU, Feni duduk dengan punggung bersandar ke dinding. Tubuhnya terasa kosong. Bajunya yang ternoda darah sudah mengering, meninggalkan warna kecokelatan yang membuat dadanya kembali sesak setiap kali ia melihatnya.

“Dia hidup,” katanya pelan.

“Iya,” jawab Erlang. “Tapi masih panjang.”

Feni mengangguk kecil. Matanya kosong sejenak. “Aku takut.”

Erlang menggenggam tangannya. Tidak berkata apa-apa kali ini.

Toni berdiri tak jauh, matanya menatap ke arah ICU. Tidak ada lega di wajahnya. Hanya perhitungan. Penyerangan ini terlalu nekat. Seseorang sedang kehabisan waktu.

Operasi memang berhasil.

Tapi yang tertinggal bukan kelegaan utuh—melainkan luka, ketakutan, dan perjuangan baru yang belum mereka pahami sepenuhnya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!