Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEJARAH YANG DISENSOR
Waktu: Selasa, 16 April 2019. Pukul 09.45 WIB.
Lokasi: Lobi Gedung IV, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, Depok.
(POV: Sarah, Mahasiswa Semester 4)
FIB UI pagi ini lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada demo kenaikan UKT atau bagi-bagi takjil gratis, tapi karena sebuah X-Banner setinggi dua meter yang baru dipasang di depan lobi utama.
Sarah menyikut lengan temannya, Dinda, yang sedang sibuk membetulkan liptint.
*"*Liat tuh, Din. Gila, banner-nya aja glossy banget. Ini kertasnya lebih mahal dari skripsi gue nanti kayaknya."
Dinda mendongak, membaca tulisan di banner itu dengan nada skeptis.
KULIAH UMUM & KELAS KHUSUS: SEJARAH ALTERNATIF NUSANTARA Dosen Praktisi: Aditya Wiranagara, B.A., M.Hum.
"Wiranagara?" mata Dinda membelalak. "Maksud lo, Wiranagara yang itu? Yang punya gedung pencakar langit di Sudirman? Yang kakaknya sering masuk majalah Forbes?"
"Iya! Anaknya yang tengah," bisik Sarah antusias. "Gue denger gosip dari anak BEM, dia donatur terbesar renovasi perpustakaan kemarin. Dan sekarang dia mau ngajar. Katanya sih orangnya ganteng banget, tapi misterius. Jarang keekspos media."
"Alah, paling cuma nepo baby yang gabut," cibir Dinda. "Anak orang kaya main jadi dosen. Paling nanti yang ngajar asistennya."
Tiba-tiba, suasana lobi menjadi hening.
Sebuah mobil sedan hitam mengkilap—Porsche Taycan hitam matte—meluncur pelan memasuki area drop-off lobi.
Kaca jendela pengemudi berwarna gelap, tidak terlihat siapa di dalamnya. Mobil itu berhenti mulus.
Semua mata tertuju ke pintu pengemudi.
Pintu terbuka. Sebuah sepatu kulit loafer hitam menginjak aspal.
Keluarlah sosok itu dari balik kemudi.
Dia tinggi, mengenakan kemeja batik lengan panjang bernuansa gelap yang pas badan, dipadukan dengan celana bahan yang potongannya sempurna. Rambutnya agak gondrong tapi tertata rapi. Wajahnya... oke, Sarah harus mengakui, gosip itu benar. Dia tampan.
Tapi ada yang aneh.
Saat dia keluar dari mobil, gerakannya lambat dan kaku. Dia memegang pinggangnya sesaat, wajahnya mengernyit menahan nyeri, sebelum akhirnya berdiri tegak dan menutup pintu mobil dengan pelan. Wajahnya pucat pasi, dan di bawah matanya ada lingkaran hitam tebal.
"Liat deh," bisik Sarah. "Dia nyetir sendiri? Kirain bakal pake sopir."
"Tapi mukanya capek banget," komentar Dinda. "Kayak abis begadang seminggu."
Seorang satpam kampus buru-buru mendekat. Pria tampan itu menyerahkan kunci mobilnya kepada satpam dengan senyum tipis.
"Tolong diparkirkan, Pak. Saya... agak sulit memutar setir hari ini," katanya sopan.
Di depan pintu lobi, Dekan Fakultas—Profesor Santoso—sudah berdiri menyambut dengan senyum lebar.
(POV: Aditya Wiranagara)
"Selamat datang di kampus perjuangan, Mas Aditya! Atau saya harus panggil Pak Dosen sekarang?"
Profesor Santoso menyambut Aditya dengan antusiasme yang menyakitkan telinga. Pria paruh baya itu merentangkan tangan lebar-lebar.
Aditya tersenyum tipis, menahan napas. Perjalanan dari Jakarta ke Depok tadi adalah siksaan murni. Setiap kali mobilnya melindas polisi tidur atau lubang jalan, rusuk kanannya yang retak menjerit protes. Menyetir sendiri ternyata ide buruk, tapi setidaknya dia punya waktu untuk menenangkan diri dan memasang topeng "Aditya Wiranagara si Akademisi".
"Panggil Adit saja, Prof. Saya di sini untuk mengajar, bukan untuk dihormati," jawab Aditya sopan, menyalami tangan Dekan itu. Tangan kanannya gemetar sedikit saat diangkat.
"Ah, rendah hati sekali! Persis seperti Ayahanda dulu," puji Prof. Santoso. "Kami sangat berterima kasih atas kesediaan Anda. Mahasiswa sangat antusias. Kelas penuh!"
"Semoga mereka tidak kecewa," gumam Aditya.
"Tentu tidak! Mari, mari saya antar ke ruang transit dosen."
Profesor Santoso, dalam luapan kegembiraannya, melakukan hal yang paling ditakuti Aditya saat ini. Dia menepuk punggung Aditya. Keras. Tanda keakraban bapak-bapak.
BUKK.
Tepukan itu mendarat tepat di area rusuk belakang yang memar parah.
Dunia Aditya memutih sesaat. Napasnya tercekat di tenggorokan. Rasa sakit meledak dari punggung menjalar ke dada seperti sengatan listrik. Kakinya goyah, hampir saja dia jatuh berlutut di depan Dekan dan puluhan mahasiswa yang menonton.
"Mas Adit? Anda baik-baik saja?" tanya Prof. Santoso kaget, menyadari wajah Aditya yang tiba-tiba berubah menjadi seputih kertas.
Aditya menggigit bibir bagian dalamnya, memaksakan senyum. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.
"Saya... baik-baik saja, Prof," suaranya parau dan lemah. "Hanya... sedikit kram. Efek menyetir macet tadi."
"Waduh, harusnya pakai sopir saja! Mari, lewat sini. Lift dosen ada di ujung."
"Tidak usah, Prof," tolak Aditya cepat. Dia butuh waktu sendiri. Dia butuh menelan obat tanpa dilihat orang. "Saya langsung ke kelas saja. Saya suka... olahraga naik tangga. Biar sehat."
"Naik tangga? Ke lantai 3? Wah, semangat muda memang beda!" Prof. Santoso tertawa.
"Silakan, silakan. Ruang 4101 ya."
Aditya mengangguk kaku, lalu berjalan memisahkan diri menuju tangga.
Begitu dia berbelok di koridor yang sepi, Aditya langsung bersandar ke tembok. Dia memejamkan mata, mengatur napas yang pendek-pendek.
*"Olahraga naik tangga," *rutuknya pada diri sendiri. "Ide bodoh macam apa itu, Adit? Kau baru saja menyetir satu jam dengan tulang retak, dan sekarang mau mendaki gunung?"
Dia merogoh saku celana, mengeluarkan botol kecil berisi pil pereda nyeri dosis tinggi. Dia menelannya kering tanpa air.
*"Ayo," *bisiknya. "Kau pernah melawan Genderuwo di basement mall. Kau pernah menusuk mata Raksasa Batu. Kau pasti bisa menaiki tiga lantai tangga sialan ini."
Aditya mulai melangkah naik.
Satu anak tangga. Nyut. Dua anak tangga. Nyuuut.
Setiap langkah adalah negosiasi diplomatik dengan rasa sakit. Dia melatih wajahnya agar tetap datar, memasang topeng "Dosen Berwibawa".
Beberapa mahasiswi yang berpapasan dengannya di tangga menyapa dengan senyum malu-malu.
"Pagi, Pak."
Aditya mengangguk kaku, satu tangan memegang railing tangga erat-erat, satu tangan di saku celana menekan pinggangnya agar tidak terlihat pincang. "Pagi."
Akhirnya, dia sampai di depan pintu Ruang 4101.
Dia merapikan kerah kemejanya, mengusap keringat di dahi, dan menarik napas dalam-dalam.
Aditya membuka pintu.
Ruangan itu penuh sesak. Seratus pasang mata langsung tertuju padanya. Hening seketika.
Aditya berjalan menuju meja dosen. Dia meletakkan tas kulitnya dengan gerakan lambat dan hati-hati—bukan karena dramatis, tapi karena membungkuk sedikit saja rasanya seperti punggungnya mau patah.
Adit mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Dia melihat binar mata penasaran dan bisik-bisik yang langsung senyap begitu dia menatap mereka.
“Tidak perlu perkenalan,” batin Adit. “X-Banner norak setinggi dua meter buatan Prof. Santoso di lobi pasti sudah membocorkan segalanya, mulai dari nama lengkap, gelar sampai silsilah keluarga. Bagus. Itu menghemat tiga menit napas dan tenaga yang sangat berharga.”
"Selamat pagi," sapa Aditya. Suaranya tenang, berat, dan bergema di ruangan yang akustiknya buruk itu.
Dia mengambil spidol, berbalik menghadap papan tulis putih. Gerakan mengangkat tangan kanan untuk menulis membuatnya ingin berteriak, tapi dia menahannya.
Dia menulis satu kata besar dengan huruf kapital: KEBETULAN.
Aditya berbalik menghadap kelas, bersandar sedikit di meja dosen untuk menopang berat badannya.
"Sejarah resmi mencatat bahwa banyak kerajaan besar di Nusantara runtuh karena hal-hal logis: perang saudara, bencana alam, atau wabah penyakit," Aditya memulai kuliah perdananya.
"Tapi perhatikan polanya. Majapahit mulai kehilangan taringnya tepat setelah hilangnya jabatan 'Dharmadyaksa Kasogatan'—penasihat spiritual tertinggi. Sriwijaya kehilangan kendali atas laut tepat setelah catatan tentang 'Ritual Penjaga Ombak' berhenti ditulis dalam prasasti."
Aditya tersenyum tipis, senyum yang penuh rahasia.
"Apakah itu kebetulan? Atau ada perang lain yang terjadi di balik layar? Perang yang tidak dicatat tinta, tapi dicatat darah?"
Seorang mahasiswa di baris depan mengangkat tangan ragu-ragu. "Tapi Pak, bukankah mengaitkan sejarah politik dengan hal mistis itu... tidak ilmiah? Itu pseudosains."
"Sains adalah cara kita menjelaskan fenomena yang bisa diukur," jawab Aditya cepat. "Tapi apa yang terjadi ketika fenomena itu menolak untuk diukur? Tugas sejarawan bukan hanya mencatat apa yang terlihat, tapi mempertanyakan apa yang hilang."
Dia berjalan pelan di depan kelas, mengabaikan rasa nyeri demi sebuah pertunjukan intelektual.
"Semester ini, saya ingin kalian menjadi detektif. Cari anomali dalam prasasti. Cari cerita rakyat yang terlalu spesifik untuk sekadar dongeng. Karena di negeri ini..."
Aditya berhenti tepat di depan jendela, matanya menerawang jauh ke arah langit Depok yang biru, namun di kepalanya dia melihat langit Merapi yang merah membara.
"...legenda seringkali hanyalah sejarah yang belum berani ditulis oleh para pemenang."
Kelas hening, terpukau.
Aditya merasa puas. Setidaknya, otaknya masih berfungsi meski badannya remuk.
Namun, saat dia hendak meletakkan spidol ke meja, jarinya kejang sesaat karena menahan sakit terlalu lama. Spidol itu terlepas dari tangannya.
Tak.
Spidol itu menggelinding di lantai, berhenti satu meter di depan kakinya.
Aditya menatap spidol itu. Jaraknya hanya satu meter ke bawah. Tapi bagi kondisi tulang rusuknya saat ini, jarak itu setara dengan jurang Mariana. Membungkuk untuk mengambilnya sama saja dengan bunuh diri.
Dia terdiam, mematung di depan kelas.
Suasana menjadi canggung. Mahasiswa saling pandang. Kenapa Pak Dosen cuma ngeliatin spidol?
"Biar saya ambilkan, Pak."
Seorang mahasiswa di baris depan sigap berdiri, memungut spidol itu, dan menyerahkannya.
"Terima kasih," kata Aditya tulus, mengambil spidol itu.
Mahasiswa itu tidak langsung duduk. Dia mengendus pelan saat berada di dekat Aditya.
"Bapak... sakit?" tanya mahasiswa itu pelan. "Bapak pucat sekali. Dan maaf, Bapak bau obat urut ya?"
Aditya tersenyum kecut. Salep Jermannya kalah melawan keringat dingin.
"Cedera olahraga," jawab Aditya cepat, memasang senyum profesional. "Tenis. Olahraga orang tua. Punggung saya agak bermasalah."
"Oh, pantesan jalannya pelan, Pak. Cepet sembuh ya, Pak."
Mahasiswa itu duduk kembali.
Aditya menghela napas lega. Identitasnya aman. Mereka mengira dia cuma dosen yang encok main tenis, bukan vigilante yang habis dihajar monster.
"Oke," kata Aditya, melirik jam tangannya. Masih ada 40 menit lagi. "Mari kita lanjut ke Teori Kehancuran Singhasari. Ada yang tahu siapa Kebo Iwa?"
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit