Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teguran kepala sekolah
Koridor kelas XII⁴ kembali riuh oleh suara bentakan Diana.
"DUDUK! SEMUA DUDUK! KALIAN SAYA SURUH DIAM, BUKANNYA MALAH TERTAWA-TERTA-"
Beberapa murid yang tadi menahan tawa langsung terdiam ketika mata Diana membelalak ke arah mereka. Namun sisa tawa kecil yang telanjur keluar membuat emosi Diana makin memuncak.
"Kalian pikir saya main-main?!" bentaknya lagi, wajahnya memerah.
Seorang murid perempuan di barisan tengah menutup mulutnya, tapi bahunya yang bergetar tetap terlihat jelas. Teman di sebelahnya ikut terkikik pelan.
Diana menepuk meja paling depan dengan keras.
"Kalau ada yang TIDAK SENANG sama saya, SILAHKAN KELUAR SEKARANG JUGA!"
Suasana hening.
Semua murid saling pandang.
Diana berdiri di sana dengan dada naik turun, kekesalan menguasai seluruh sikapnya. Ia pikir ancamannya membuat mereka tunduk.
Tapi, di barisan belakang, Tegar salah satu teman geng Ares berdiri sambil mengangkat ranselnya.
"Saya keluar,"
Diana mengerutkan kening.
Baru satu murid keluar. Ia masih bisa mengatasinya.
Lalu, disusul oleh salah satu temannya.
"Saya juga."
Kemudian satu lagi.
"Sama."
Lalu semuanya bangkit satu per satu.
Langkah kaki mereka menggema bersamaan.
Diana terpaku.
"E-eh… kalian… kalian mau ke mana?! Kalian mau saya panggil orangtua kalian?!"
Tegar menoleh singkat.
"Ibu yang bilang kan? Kalau tidak senang, keluar. Dasar guru lebay, aneh."
Suaranya tenang, dan tidak takut sama sekali. Murid-murid lain berhenti sesaat dan menatap Diana dengan tatapan kecewa. Tanpa sepatah kata, mereka melanjutkan langkah ke luar kelas.
Diana ternganga.
"A-apa kalian sudah gila?! Saya belum,"
Tidak ada yang mendengarkan.
Dalam waktu kurang dari satu menit, kelas yang tadi riuh berubah kosong total. Meja kursi tertinggal tanpa penghuni, menciptakan keheningan yang menusuk.
Bahkan ketua kelas, dan seorang siswa laki-laki pendiam, ikut keluar tanpa ragu. Juga anak paling cupu di kelas, yang biasanya takut membuka mulut, turut menyeret tasnya keluar sambil menunduk.
Pintu kelas perlahan tertutup oleh dorongan murid terakhir.
Brak.
Diana berdiri mematung. Ini tidak pernah terjadi selama kariernya mengajar. Kemarahan berubah jadi rasa malu, lalu rasa takut.
"Apa-apaan ini…?" gumamnya, suaranya getar.
Belum sampai lima menit, ada guru lain yang lewat mengintip ke kelas yang sepi itu dengan dahi mengerut.
"Bu Diana, kelasnya… kosong?" salah satu guru bertanya.
Diana memasang senyum kaku.
"Mereka sedang … uhm, saya beri tugas mandiri. Di luar."
Guru itu mengangkat alis seperti tidak percaya, tapi tidak lanjut bertanya. Ketika ia akhirnya melangkah keluar menuju ruang guru, seorang staf TU mendekat cepat.
"Bu Diana," katanya, sedikit terburu-buru.
"Ibu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Segera."
Jantung Diana mencelos.
"A… sekarang?"
"Ita bu. Sekarang. Ibu Victoria sudah menunggu."
"Baik." ucap Diana.
Ia keluar dari kelas, menggenggam buku di tangannya. Ia berjalan mengikuti staf tersebut, mencoba memperbaiki rambut dan wajahnya yang masih memerah karena kesal.
Setiap langkah terasa berat.
Saat pintu ruang kepala sekolah dibuka, pandangan pertama Diana langsung tertuju pada seseorang yang duduk di kursi tamu.
Ares.
Bersandar santai sambil memainkan ponselnya, wajahnya tampak tanpa beban sedikit pun.
Diana menahan desakan untuk memaki lagi.
Kenapa harus ada anak itu di sini?
Lalu matanya berpindah pada Victoria, yang duduk tegak dengan aura dingin khas seorang kepala sekolah berwibawa. Wanita berpenampilan rapi itu menutup map berwarna cokelat dan menatap Diana tajam.
"Silakan duduk, bu Diana."
Diana menelan ludah.
"S-selamat siang, bu Victoria," katanya gugup sambil duduk perlahan.
Victoria tidak membalas salam.
Ia hanya meletakkan kedua tangannya di meja dan memandang lurus, tanpa ekspresi.
"Ada sedikit laporan mengenai kelas ibu barusan." suaranya dingin dan terukur, tidak seperti biasanya.
"Saya hanya…" Diana membuka mulut, tapi Victoria langsung mengangkat tangan.
"Bu Diana, saya belum selesai."
Diana terdiam lagi.
Victoria mengambil selembar kertas dari mapnya.
"Seluruh siswa kelas XII⁴ keluar dari kelas ketika Ibu mengajar. Benar?"
Diana mencengkeram rok kerjanya.
"Itu… mereka membangkang, bu. Saya hanya ..."
"Ada juga laporan bahwa ibu berteriak kasar dan mengusir salah satu murid. Ares?"
Ares mengangkat kepalanya sedikit, melirik Diana dengan senyum malas.
Diana panik.
"Saya hanya menegur dia, bu! Anak itu memang suka membantah saya! Saya sudah berkali-kali bilang ..."
Victoria mencondongkan tubuh.
"Diana," katanya perlahan, tapi nadanya amat menusuk,
"Apa Ibu tahu siapa Ares?"
Diana mengerutkan kening.
"Ares adalah murid …."
Tatapan Victoria makin tajam.
"Ares adalah keponakan saya."
Diana membeku. Darahnya seperti menghilang dari wajah.
"K… keponakan…?" ulangnya terbata.
Victoria mengangguk, tenang.
"Ibunya adalah kakak kandung saya. Dan saya sangat mengenal Ares. Dia bukan anak yang suka membantah tanpa alasan."
Ares tidak berkata apa-apa, tapi jelas ia menikmati momen ini.
Diana mencoba berbicara lagi, suaranya putus-putus.
"Saya… saya… tidak tahu, bu. Saya tidak bermaksud,"
"Justru karena tidak tahu," potong Victoria lagi,
"Ibu seharusnya lebih berhati-hati dalam memperlakukan murid."
Diana menunduk. Tangannya gemetar.
"Bu Victoria… saya hanya sedang… emosional sedikit. Murid-murid itu tidak hormat. Mereka tertawa ketika saya bicara, kelas tidak kondusif,"
"Dan apa solusi Ibu? Mengusir semuanya?"
"Saya… saya hanya ingin menertibkan…"
Victoria menarik napas dalam, menahan diri agar tetap profesional.
"Diana, saya sudah mendapat banyak keluhan tentang gaya mengajar ibu yang terlalu keras sejak semester lalu. Saya sudah beri peringatan. Tapi hari ini, Ibu membuat satu kelas penuh keluar."
Diana menutup mulutnya sendiri, terkejut karena ia tidak tahu keluhannya sudah sebanyak itu.
"Mereka murid, bukan musuh," lanjut Victoria.
"Mereka butuh bimbingan, bukan teriakan. Ares bilang, anda juga tidak pernah suka Gauri yang sering ikut belajar dengannya? Kenapa? Gauri itu pewaris sekolah ini, dia hanya sedang sakit. Dia bisa keluar masuk semaunya di sini. Apalagi dia tidak pernah mengganggu pelajaran ibu. Buktinya, guru-guru yang lain tidak pernah mengeluh dengan keberadaannya di kelas mereka, kenapa bu Diana malah mengeluh?"
Diana kaget saat mendengar Gauri adalah pewaris sekolah ini. Tidak, tidak mungkin. Perempuan sakit mental itu seorang pewaris?
"Bu saya, bukan maksud saya ..."
"Sudah-sudah. Hari ini anda hanya saya peringatkan. Silahkan tulis surat permintaan maaf anda sudah salah. Anda boleh pergi sekarang."
Dengan terpaksa Diana mengangguk lalu keluar dari ruangan itu. Sebelum keluar, ia sempat melihat ke Ares yang tersenyum menang padanya. Anak sombong itu, sangat menyebalkan.
Diana merasa dipermalukan sebagai seorang guru.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
MENDING INSAF DAN HILANGIN AMBISIMU WAT MILIKI DEVAN.DEVANYA AJA G MAU MA ELOH...
Apa mereka kecelakaannya tenggelam ya.
Sari - curiga sama Diana. Apa lagi Sari mendapat video dari ponsel Bram - Diana masuk ke area kolam - di jam yang sama ketika Gauri jatoh ke kolam. Semakin layak dan pantas dicurigai.
Bukan hanya tidak melihat Gauri jatoh, Sari... Tapi Diana yang mendorong - gitu lho Sari 😁
Devan.... kemarahanmu kek apa ini nanti ??? Bayangin dululah 🤔
kudu kau rasa nya