📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
misi gagal
**MALAM KACAU DI SEMAR MOHAWK**
**WHOOP-WHOOP-WHOOP!** Sirene mobil polisi Jakarta memekakkan telinga, lampu merah-biru berputar-putar seperti kaleidoskop dalam kegelapan malam. Suara radio crackling memecah keheningan:
**"MISI GAGAL—MISI GAGAL! EIGHT SUSPECTS ESCAPED BY HELICOPTER! REPEAT, MISI GAGAL!"**
Suara dispatchers bergema dari setiap mobil polisi, menciptakan chorus kekecewaan yang menyelimuti kawasan Semar Mohawk. **STATIC... BZZT... STATIC...** Radio crackle bercampur dengan suara sirene yang tidak henti-hentinya.
**CRASH! SLAM!** Pintu kaca gedung Semar Mohawk terbuka beruntun. Puluhan tentara dan polisi mulai keluar dengan wajah lelah dan berdebu. **STOMP-STOMP-STOMP!** Sepatu boot mereka menghantam aspal dengan ritme kecewa, senjata digendong dengan bahu yang merosot.
**CLANG!** Borgol besi berderak saat tujuh orang tertangkap—bukan mafia target utama, tapi small-time criminals yang tertangkap dalam sweeping—dibawa menuju mobil tahanan. **"MASUK! MASUK!"** teriak polisi sambil mendorong kepala mereka agar tidak membentur atap mobil.
**SLAM! VROOM!** Pintu mobil tahanan tertutup keras, mesin diesel berderum, membawa tujuh tangkapan kecil yang tidak berarti apa-apa dibanding kegagalan besar malam ini.
**WEE-OOO-WEE-OOO!** Ambulans pertama tiba dengan sirene yang menusuk malam. **SCREECH!** Ban bergesekan dengan aspal saat berhenti mendadak di depan gedung. Pintu belakang terbuka, **CLANG!** stretcher diturunkan dengan cepat.
"KORBAN SIPIL! LANTAI 15!" teriak seorang petugas medis sambil berlari masuk gedung. **THUD-THUD-THUD!** Langkah kakinya bergema di lobby yang penuh pecahan kaca dan puing-puing.
**WEE-OOO-WEE-OOO!** Ambulans kedua datang, kemudian ketiga, keempat. **SCREECH! SCREECH! SCREECH!** Suara ban berhenti beruntun menciptakan cacophony di tengah malam. Petugas medis berlari silih berganti, stretcher naik-turun seperti conveyor belt kemanusiaan.
Warga sipil penghuni Semar Mohawk—kebanyakan keluarga muda dan lansia—dibawa keluar dengan luka-luka ringan akibat pecahan kaca, terjatuh saat panik, dan trauma. **"HATI-HATI! PELAN-PELAN!"** suara paramedis bercampur dengan isakan dan rintihan korban.
**VROOM! VROOM!** Ambulans-ambulans itu pergi satu per satu, lampu merah berkedip menghilang di tikungan jalan, membawa korban tak berdosa ke rumah sakit terdekat.
**BEEP-BEEP-BEEP!** Truk crane mulai mengangkat barrier beton yang memblokade jalan Semar Mesem. **CLANK! THUD!** Balok-balok berat diangkat dan dimuat ke truk, membuka kembali akses yang sudah terputus selama operasi.
**HONK! HONK! HOOOONK!** Klakson mobil-mobil yang terjebak kemacetan mulai bersuara, driver frustasi yang sudah menunggu berjam-jam. **VROOM-VROOM!** Mesin-mesin dinyalakan, asap knalpot mengepul dalam udara malam yang dingin.
Gang Semar Mahkota 7 yang tadinya macet total seperti parking lot raksasa, mulai bergerak perlahan. **CREEP... STOP... CREEP... STOP...** Traffic inch by inch, lampu rem merah berjejer seperti mata setan dalam antrian panjang yang akhirnya mengalir.
**SLAM!** Pintu MegatrucX terbuka dengan bunyi logam berat. Rom naik duluan, wajahnya seperti topeng kecewa, mata menatap kosong ke depan. **THUD!** Sepatu bootnya menghantam floor plate truck dengan bunyi hollow.
Shadaq dan Prakai menyusul, tubuh mereka bergerak lambat seperti zombie. **SLAM! SLAM!** Pintu-pintu truck tertutup beruntun. Tidak ada yang bicara. Keheningan mencekam mengisi cabin.
**VROOM!** Mesin MegatrucX berderum dalam, vibration merambat ke seluruh body truck. Gigi persneling berpindah dengan bunyi **CLUNK!** yang berat, roda-roda besar mulai berputar di atas aspal yang basah oleh air dari hydrant yang pecah.
Di dalam cabin, Rom menatap keluar jendela. Gedung Semar Mohawk masih berdiri dengan jendela-jendela pecah seperti mata yang terluka. Lampu darurat berkedip-kedip merah di berbagai lantai, menciptakan pemandangan seperti gedung berdarah.
**WHOOSH!** Angin malam masuk melalui ventilasi truck, membawa aroma asap, debu, dan kekecewaan. Radio truck menyala pelan:
**"All units, return to base. Mission status: FAILED. Repeat, mission status: FAILED."**
Suara dispatcher terdengar datar, profesional, tapi ada nada kecewa yang tidak bisa disembunyikan.
**RUMBLE-RUMBLE!** MegatrucX melaju meninggalkan kawasan Semar Mohawk, melewati ambulans-ambulans yang masih berdatangan, melewati mobil polisi dengan lampu yang masih berkedip, melewati warga sipil yang berkumpul di trotoar dengan wajah cemas dan penasaran.
**HONK-HONK!** Klakson MegatrucX berbunyi dua kali—salute terakhir untuk operasi yang gagal. Suara itu bergema di antara gedung-gedung, seolah mengakui kekalahan kepada malam Jakarta yang kacau ini.
Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, traffic lights berubah dari merah ke hijau ke kuning dalam ritual malam yang tidak pernah berhenti. Tapi bagi Rom, Shadaq, dan Prakai, malam ini akan dikenang sebagai malam ketika delapan mafia terlepas dari genggaman mereka, terbang menghilang dalam belly helikopter hitam menuju kegelapan yang tidak diketahui.
**RUMBLE... RUMBLE... RUMBLE...**
MegatrucX menghilang di tikungan jalan, meninggalkan Semar Mohawk yang mulai kembali normal—atau setidaknya mencoba kembali normal—setelah malam yang benar-benar kacau.
Pukul 2 pagi, arloji yang melingkar di pergelangan tangan Rom menunjukkan jarum pendek di angka 2 dan jarum panjang di angka 2.
Prakai menepuk bahu Rom dengan kekuatan yang cukup untuk membuat pundaknya bergetar, seolah menyalurkan ketenangan melalui kontak fisik. Suara dentuman kecil terdengar saat perisai di punggung Rom bergesekan. "Tenanglah, kita urus sisanya lain waktu," kata Prakai sambil mencondongkan tubuh sedikit, mata menatap Rom penuh keyakinan, bahunya rileks meski napasnya masih berat.
Rom menunduk sebentar, tangan mengepal di lutut, lalu menatap ke depan jendela MegatrucX. "Mereka lebih banyak dari yang kita kira, lima belas orang, kita hanya bisa menangkap tujuh yang kabur lebih dari setengah," suaranya parau, napas masih tersengal setelah pertempuran. Tubuhnya mencondong, lutut menekuk sedikit agar tetap stabil, sementara pandangannya menyapu kegelapan jalanan di bawah.
Prakai mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Mau gimana lagi, mereka terlihat lihai memainkan situasi," ujarnya, suara rendah tapi tenang. Tangannya bergerak menepuk perisai yang menempel di dada Rom, memberikan sensasi ritmis, seolah memberi dukungan moral. Napas mereka bersatu dengan getaran mesin truk yang mendesah, menciptakan irama lambat yang menenangkan meski ketegangan masih membekas.
Rom menutup mata sesaat, membayangkan Juliar yang terbaring dengan tubuh babak belur, rompi anti peluru penuh bekas benturan. "Juliar hampir mati, padahal dia kapten. Jika mereka lebih banyak, apa yang akan terjadi pada kita?" pikirnya keras dalam hati, bibirnya mengerucut sedikit, mata kembali membuka dengan sorot cemas. Tangannya meremas pinggir kursi, menandakan ketegangan yang masih ia rasakan.
Shadaq duduk di sisi lain, tubuhnya mencondong, kaki menapak mantap di lantai truck. "Kau kawatir benar? Lima belas orang, setengah dari mereka mampu menjatuhkan kita lalu kabur, padahal jumlah kita lebih banyak dari mereka, belum lagi polisi juga membantu. Tapi tenanglah, mereka sedang beruntung, ini cuma kebetulan," suaranya berat tapi menenangkan, lengan kiri menekuk di atas lutut, jari-jari mengetuk perlahan di paha sebagai ritme. Mata Shadaq sesekali menatap ke jendela, menilai jalanan yang gelap di bawah.
Rom menghela napas panjang, menelan ludah, bibirnya bergerak pelan. "Ku harap begitu," gumamnya, kepala sedikit menunduk, rambut berantakan menutupi dahi yang basah oleh keringat sisa adrenalin. Tubuhnya mencondong, tangan kanan menekan perisai di pangkuan, sementara kaki menapak mantap meski lelah.
Roeden, duduk paling belakang, menunduk sebentar, tangan menekuk di atas lutut. "Apa kita akan menjenguk Juliar besok? Ku rasa tubuhnya babak belur, peluru-peluru itu memukul rompinya cukup kuat," suaranya terdengar di kabin, tubuhnya bergoyang sedikit mengikuti getaran jalan. Mata Roeden menatap ke arah Rom, mencari reaksi.
Rom mengangkat bahu, menutup mata, menekuk lutut, lalu menepuk bahunya sendiri. "Iya, besok saja. Aku ngantuk, aku tak akan mandi dan bergegas tidur," katanya, suara berat tapi santai, menimbulkan getaran humor tipis di udara. Kepala menunduk, rambut menutupi mata, napas mulai berirama lebih tenang.
Tujuh belas pasang mata di dalam truck melemparkan pandangan ke Rom, beberapa menahan tawa, yang lain tersenyum lebar. Gelak tawa mereka pecah, beberapa menepuk punggung satu sama lain, suasana sesaat menjadi ringan di tengah kelelahan malam yang panjang. Rom tetap menunduk, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, tubuhnya mencondong santai, dan perasaan hangat perlahan merayapi lelah yang masih membekas.
Prakai menyeringai tipis, tubuhnya mencondong ke depan, satu tangan menunjuk ke arah pintu MegatrucX. “Ayo ikut denganku,” ucapnya, nada ringan tapi ada getaran antusias di suaranya. Mata kanan menyorot Rom, seperti menantang diamnya. Bahunya santai, tapi seluruh gesturnya memancarkan energi tak sabar.
Rom mengerutkan alis, menoleh sebentar, tangan kanan menepuk lutut sambil menahan kantuk yang masih terasa. “Kemana?” suaranya terdengar pelan, nada agak serak, mata separuh terpejam. Kepala sedikit menunduk, rambut menutupi dahi, menandakan sikap menahan diri dan masih terjebak rasa lelah.
Prakai melompat sebentar, kaki menapak ringan, lengan kiri terangkat seolah mengundang Rom untuk bergerak bersamanya. “Aku ingin bersantai di privat Romm kafe Jakartan Cobra sampai pagi. Ayo jika kau mau ikut,” ucapnya, nada bicara naik-turun, antusias tapi tidak memaksa. Tubuhnya bergoyang ringan mengikuti ritme kata-kata, kaki menapak gesit seakan siap bergerak.
Rom menghela napas panjang, menunduk lagi, lengan disilangkan di dada. “Aku ngantuk, Kaiii,” jawabnya, nada serak, setengah mengeluh, setengah menahan godaan. Matanya menatap ke arah lantai truck, bibir sedikit mengerucut, menunjukkan sikap ragu tapi masih terselip rasa ingin tahu.
Prakai menepuk pundak Rom, gerakannya cepat, gesit, tubuhnya mencondong seolah menuntun Rom ke arah pilihan. “Tidur di sana, mereka punya sofa yang luas dan matras untuk tidur di ruang privat. Ya kan Gus, Slack, Ji? Kita bisa tidur nyenyak, ya gak sii?” Nada Prakai semakin menggebu, bahu dan pinggul bergerak mengikuti ritme bicara, mata menyorot satu per satu teman yang ikut mendukung, seperti menegaskan janji kenyamanan.
Gusta mencondong, wajahnya menampilkan senyum nakal, alis terangkat, mata menatap Rom dengan nada bercanda: “Rom, kau akan menyesal jika tidak ikut.” Suaranya ringan tapi ada tekanan halus di kata “menyesal”, memberi rasa urgensi sambil tetap santai.
Slack mengangkat bahu, menepuk paha Rom dengan cepat, suara ringan dan sedikit mengejek, “Solerom ga asik ah, ayo ikut!” Tubuhnya maju-mundur, menambahkan gerakan yang menyertai nada bercanda. Matanya menyorot Rom penuh harap.
Raji duduk sedikit menjauh, menatap Rom sambil menepuk dagunya, suara pelan dan tenang, “Biarkan saja Rom sibuk dengan lamunannya.” Nada bicaranya datar, santai, seolah menyeimbangkan energi Prakai dan Slack. Tubuhnya santai, kaki ditekuk nyaman, tangan menyilang di lutut.
Rom menunduk sebentar, tangan menutup wajah sebagian, mata menatap ke lantai. “Tidak tertarik,” ucapnya datar, nada pelan, tapi jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Dalam hati, bayangan Lina muncul, wajahnya terbayang jelas di pikiran, senyum tipisnya, aroma parfum lembutnya. Pikiran itu membuat Rom sedikit menegang, tubuhnya mencondong seolah menarik napas dalam-dalam untuk menahan godaan yang muncul. Kesempatan kedua ini, tanpa gangguan Prakai, membuatnya sulit menolak—tapi bibirnya tetap menutup, wajahnya menahan ekspresi yang ingin terbuka.