NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 — Ritual Darah

Rendra dan Dimas berhasil mencapai rumah Nyai Melati, terselamatkan dari kejaran massa yang kerasukan di Balai Desa. Nyai Melati menerima mereka dengan tenang di gubuknya yang remang-remang. Ia membersihkan Dimas, mengoleskan ramuan pahit di pergelangan tangan anak itu, dan memberikan minuman hangat dari rempah hutan.

Nyai Melati memandangi Dimas dengan tatapan sedih.

“Anak malang,” bisiknya. “Dia hampir seluruhnya dikuasai air. Tapi jiwanya masih berjuang. Bagus. Kita butuh dia untuk tetap bertahan.”

“Mereka akan kembali, Nyai,” kata Rendra, menunjukkan foto Ayahnya dan Dimas. “Mereka tahu kami di sini. Mereka akan menjadikan Dimas tumbal malam ini. Mereka percaya darah keturunan pelaku akan menghentikan hujan.”

“Dan mereka salah,” potong Nyai Melati, matanya yang putih susu bersinar dalam kegelapan gubuk. “Mereka percaya kebohongan yang sama selama tiga puluh tahun. Yang Basah tidak mau Dimas. Dia mau darah yang bertanggung jawab atas penodaan dirinya.”

Rendra menyadari bahwa mereka tidak bisa bersembunyi lama. Mereka harus pergi ke Sumur Tua, tetapi sebelum itu, mereka harus tahu apa yang akan dilakukan penduduk desa.

Nyai Melati meletakkan tangannya di atas mangkuk berisi air hujan. Ia memejamkan mata, wajahnya kaku.

“Mereka berkumpul,” bisik Nyai Melati. “Mereka berkumpul di lapangan, di depan Sumur Tua. Mereka tidak akan menunggu malam. Mereka akan melakukannya saat senja tiba.”

“Kita harus pergi sekarang!” seru Rendra.

“Tidak, Nak Rendra. Kau harus dengarkan dulu rencana mereka. Kau harus tahu siapa yang memimpin, dan mengapa mereka yakin Dimas adalah jawabannya.”

Nyai Melati kemudian meminta Rendra dan Dimas untuk duduk diam, mengelilingi mangkuk air hujan itu, mendengarkan apa yang akan ia dengar dari "memori air" yang kini memenuhi desa.

Di Lapangan Desa, Senja yang Merah

Suara hujan masih turun, namun kali ini, ia bercampur dengan suara orang banyak. Ratusan penduduk desa berkumpul di lapangan, basah kuyup, wajah mereka pucat dan mata mereka panik.

Di tengah kerumunan itu, berdiri seorang pria paruh baya, yang Rendra kenali sebagai salah satu tetua desa yang berani berteriak paling keras di Balai Desa semalam. Pria itu, yang kini mengambil alih peran Pak Darmo, adalah Bapak Sanusi. Wajah Sanusi keras, tanpa ekspresi, seperti kayu yang sudah mati.

Sanusi mengangkat tangannya. Suara gemuruh penduduk desa yang panik segera mereda, digantikan oleh keheningan yang tegang, hanya dipecahkan oleh suara hujan.

“Saudara-saudara Waringin!” teriak Sanusi, suaranya parau namun penuh otoritas yang dingin. “Hujan Darah! Itu adalah hukuman bagi kita! Kita telah melanggar Sumpah Lama! Kita membiarkan kepala desa yang pengecut melarikan diri! Kita membiarkan dosa kita membusuk di bawah tanah!”

Penduduk desa menjawab dengan gumaman panik dan ratapan.

“Tetapi,” lanjut Sanusi, suaranya kini melunak, meyakinkan. “Nyai Melati telah memberitahu kita! Kami para tetua telah berdiskusi! Masalah ini adalah tentang darah yang dinodai!”

“Tiga puluh tahun lalu, kita mengorbankan Laras! Tapi Laras dikotori oleh orang luar, oleh pria kota yang datang bersama rombongan foto itu! Hujan datang, tetapi itu adalah hujan kutukan, karena kita mengubur jiwa yang tidak suci!”

Seorang wanita tua berteriak, “Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak Sanusi? Kita akan mati! Hujan akan menenggelamkan kita!”

Sanusi menunjuk lurus ke Sumur Tua yang tertutup batu, yang kini tampak mengancam.

“Yang Basah menuntut penebusan! Ia menuntut darah keturunan dari mereka yang bertanggung jawab! Para tetua kita yang lama berkhianat, mereka membunuh orang-orang yang menentang, dan mengubur mereka di Kuburan Rahasia! Tapi itu bukan dosa utama!”

“Dosa utama kita adalah membiarkan darah keturunan pelaku penodaan hidup! Darah yang seharusnya dicuci oleh air!”

Sanusi berhenti sejenak, menatap kerumunan itu dengan mata yang berkilat.

“Rendra, si fotografer, adalah anak dari salah satu saksi yang melarikan diri. Darahnya kotor, tetapi belum cukup kuat. Dia membawa kebenaran yang dibutuhkan Yang Basah, tetapi jiwanya adalah milik kota. Dia bukan milik desa ini.”

“Tapi ada yang lain!” Sanusi menaikkan suaranya, memancing reaksi dari massa. “Ada anak lain! Anak yang darahnya dicampur dengan darah orang-orang yang menentang kebohongan kami! Anak yang tubuhnya sudah disentuh oleh air rawa! Anak yang dirasuki oleh suara Yang Basah!”

Sanusi mengangkat tangannya, suaranya menjadi raungan yang penuh keyakinan brutal.

“Yang harus dikorbankan adalah Dimas! Anak yatim piatu itu! Darahnya adalah campuran dari keturunan penentang dan sentuhan dari air! Darahnya akan menjadi tumbal terakhir yang akan menghentikan hujan!”

Massa meledak dalam teriakan persetujuan yang histeris. Mereka memanggil-manggil nama Dimas, suara mereka seperti ombak yang mengganas. Mereka telah menemukan kambing hitam. Mereka telah menemukan solusi yang brutal namun meyakinkan bagi mereka.

“Kita harus menemukan Dimas!” teriak Sanusi. “Dia dan Rendra bersembunyi di suatu tempat! Siapa pun yang menemukannya, bawa dia ke sini! Kita akan lakukan Ritual Darah saat matahari terbenam!”

Di Gubuk Nyai Melati

Rendra mendengar semuanya. Suara-suara itu, yang diantar oleh air hujan, bergetar di benaknya. Ia tidak hanya mendengar kata-kata, ia mendengar keputusasaan yang brutal, ketakutan yang membuat manusia menjadi iblis.

Rendra membuka matanya. Ia melihat Dimas. Anak itu gemetar hebat, memuntahkan lebih banyak air keruh dari mulutnya, yang kini membuat genangan kecil di lantai. Kuku-kuku hitamnya mencengkeram tangan Rendra.

“Kak… Kak Rendra… aku nggak mau…” bisik Dimas, air matanya kini benar-benar jatuh, air mata manusia yang murni.

“Aku tahu, Dimas,” kata Rendra, memeluk anak itu erat-erat, merasakan dingin yang mengerikan dari tubuh Dimas.

Nyai Melati membuka matanya. Ia menggeleng.

“Mereka kerasukan ketakutan. Mereka akan datang ke sini. Mereka akan mencari ke mana pun.”

Nyai Melati menatap Rendra dengan mata kanannya yang tajam.

“Kau lihat, Nak Rendra? Bukan tentang Dimas. Dimas adalah alat. Ritual Darah mereka adalah untuk menarik Yang Basah keluar dari Sumur Tua, dan menawarkannya sesuatu. Jika Dimas mati, kemarahan Yang Basah akan diarahkan pada seluruh desa.”

“Kita harus mendahului mereka. Kita harus masuk ke Sumur Tua sekarang. Aku akan menahan mereka di sini,” kata Nyai Melati.

Rendra menggeleng. “Tidak, Nyai. Aku harus membawa Dimas bersamaku. Aku tidak akan meninggalkannya.”

“Kau tidak bisa, Nak Rendra! Sumur itu adalah air murni! Dia akan mengambil Dimas sepenuhnya di sana!”

Tiba-tiba, Dimas berbicara lagi. Suaranya kembali menjadi bisikan lembut, suara yang penuh kehangatan yang aneh di tengah dinginnya tubuhnya.

“Aku harus ikut, Kak Rendra. Dia (Yang Basah) mau film itu. Tapi dia mau aku juga. Aku adalah kunci untuk berbicara dengannya. Aku adalah jembatan.”

Dimas mengangkat tangannya yang berkuku hitam, menyentuh roll film tua di saku Rendra.

“Aku dengar dia bilang, hanya dengan aku, Kakak bisa negoisasi.”

Rendra menatap Dimas. Ia melihat keberanian yang mengerikan pada anak yang hampir mati kedinginan. Dimas tahu ia akan menjadi umpan, tetapi ia bersedia.

Rendra mengambil keputusan.

“Baik. Kita akan ke Sumur Tua. Bersama. Tapi sebelum itu, Nyai Melati, apa yang akan kau lakukan?”

Nyai Melati tersenyum tipis. Ia berjalan ke tengah gubuk, meraih sebuah kotak kayu kecil yang ia buka. Di dalamnya, ada bubuk berwarna merah marun.

“Aku akan menahan mereka. Aku akan menggunakan sisa kekuatan yang kumiliki untuk mengunci gerbang desa, untuk menahan mereka di Balai Desa. Beri aku waktu sepuluh menit. Cukup bagimu untuk mencapai Sumur Tua, dan membuka kuncinya. Setelah itu… urusanmu dengan air.”

Rendra mengangguk. Ia meraih Dimas dan kamera ayahnya.

Mereka keluar dari gubuk Nyai Melati, menembus senja yang kini semakin gelap. Di belakang mereka, Nyai Melati mulai merapal mantra dengan suara yang bergema dan parau, menaburkan bubuk merah marun ke arah jalan setapak yang menuju desa.

Di kejauhan, Rendra mendengar suara teriakan marah massa yang semakin mendekat. Waktu mereka habis.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!