Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halu berlapis truffle
Restoran ini terlalu berkilau buat malam yang sebenarnya Gue nggak mau jalani. Kristal-kristal di langit-langit memantulkan cahaya temaram, buat ruangan penuh kilau emas yang mewah. Kursi empuk dengan sandaran tinggi seharusnya buat nyaman, tapi buat Gue malah kayak perangkap.
Darly duduk tegak di depan Gue. Jas hitamnya tanpa kerut, dasinya rapi banget, senyumnya tipis tapi penuh percaya diri. Dia keliatan kayak poster berjalan, sempurna dari ujung rambut sampai sepatu.
"Alya," katanya dengan suara yang terukur. "Aku senang akhirnya kita bisa makan malam berdua. Sudah lama aku menunggu momen ini."
Gue balas dengan senyum sopan, walapun sebenarnya Gue ngedumel. Ini bukan momen yang Gue tunggu. Ini acara yang dipaksa keluarga Gue.
Mama sampe ngomong, kenalilah Darly. Dia anak baik, keluarga terhormat, kamu akan cocok. Dan Gue, yang nggak enak hati sama orang tua, akhirnya nurut.
Masalahnya, nurut sama mereka otomatis buat hati gue tenang. Gimana nggak tenang kalau ancamannya Gue akan di buang ke luar negeri sendirian, dan bla bla bla, ancaman yang paling mengerikan Mama akan bunuh diri.
Pelayan datang, bawa buku menu tebal. Gue udah terbiasa sama makanan kayak begini, nggak asing sama istilah-istilah asing. Tapi tetap aja Gue buka sebentar, sekedar formalitas.
"Pesan saja apa yang kamu suka," kata Darly. "Aku yang traktir."
Gue pengen ketawa kecil. Traktir? Gue bisa bayar sendiri. Bahkan bisa traktir balik. Tapi ya sudahlah. Gue pilih ravioli truffle, sesuatu yang aman dan cepat.
"Pilihan bagus," komentar Darly, seakan itu pujian dan Gue lolos.
Makanan datang dengan porsi mungil tapi cantik. Ravioli tersusun rapi, sausnya di tuang tipis-tipis, dihiasi daun basil seolah itu lukisan. Gue tau beginilah fine dining. Tapi begitu liat porsinya, lidah Gue gatal pengen komentar.
"Lucu ya," Gue nyeletuk, "Kalau ada temenku liat, pasti ngomong ini makanan atas taster parfum."
Sekilas wajah Adrian terbayang. Gue jadi keinget motor bebeknya yang suka batuk-batuk, juga komentar recehnya yang selalu muncul di momen nggak tepat.
Eh... kenapa sih Gue malah inget dia sekarang? Ah, lebih baik Gue makan.
Rasanya enak, creamy dan lembut. Tapi tetap aja, ada ruang kosong di dada Gue yang nggak bisa diisi.
Darly dari tadi memperhatikan cara Gue makan, matanya kayak lagi menilai presentasi. "Bagus. Kamu cepat belajar. Kamu pasti bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan seperti ini."
Gue taruh garpu, menatapnya datar. "Eh... Gue dari kecil juga udah biasa dengan restoran semacam ini. Bedanya, keluarga Gue nggak pernah menjadikan makan malam sebagai ajang pamer."
Sepersekian detik wajahnya kaku, lalu dia tersenyum lagi, pura-pura nggak terganggu. "Aku hanya ingin memastikan kamu nyaman. Karena nanti, kita akan sering menghadiri acara bisnis bersama."
Nanti? Kenapa dia ngomong seolah semuanya sudah pasti?
Sementara dia mulai ngoceh soal saham, merger perusahaan, dan rencana ekspansi keluar negeri, pikiran Gue melayang lagi. Bukan bisnis, tapi ke sesuatu yang lebih receh, suara motor butut dan tawa nggak jelas di pinggir jalan.
Sekilas wajah Adrian muncul. Gue kebayang dia waktu berusaha nyambungi sandal jepit yang putus pake karet gelang. Adegan itu muncul kayak kilatan lampu kamera. Gue langsung geleng kecil, berusaha ngusir bayangan itu.
Apa-apaa sih Gue, lagi makan sama Darly kok kepikiran Adrian?
"Alya?" suara Darly buat Gue tersadar.
"Hah? Iya?"
"Menurutmu bagaimana soal rencana merger keluarga aku?"
Gue narik napas. "Bagus sih. Asal jangan kayak sendal gampang putus."
Sial. Kenapa sendal yang Gue sebut?
Darly menatap Gue, lalu tersenyum hambar. "Kamu memang... polos."
Polos. kata itu kedengerannya halus, tapi maknanya jelas, nggak nyambung.
Pelayan datang, menawarkan dessert. Darly langsung pesan creme brulee. Pas datang, dia dorong ke arah Gue.
"Coba ini," katanya sambil menyodorkan sendok kecil. "Rasakan teksturnya, halus sekali."
Gue coba sedikit. Enak, manis lembut. Tapi tiba-tiba bayangan es teh muncul di kepala Gue. Es yang di beli Adrian... Gue buru-buru meneguk air.
Kenapa sih Adrian bisa nyelip di otak Gue di momen kayak gini?
Darly menatap Gue serius. "Alya, aku sungguh ingin hubungan kita melangkah lebih jauh. Aku yakin kamu akan bahagia bersamaku."
Gue hanya tersenyum tipis. Bahagia? Kenapa malah kedengerannya malah aneh?
Malam itu lampu kristal terus berkilau, musik jazz tetap mengalun. Dari luar, semua tampak sempurna. Tapi di dalam dada Gue ini tetap menjadi tempat yang kosong. Yang paling Gue bingung, kenapa sesekali ruangan kosong itu keisi sama bayangan lelaki dengan motor batuk-batuknya.
Restoran ini makin lama makin buat Gue ingin kabur. Darly masih ngoceh soal bisnis, tentang bagaimana saham keluarganya stabil bahkan di tengah krisis. Gue nggak ngerti, atau lebih tepatnya nggak mau ngerti.
"Permisi," Gue akhirnya memotong omongan dia. "Gue ke toilet sebentar."
Darly mengangguk sopan, kayak tuan rumah yang membiarkan tamunya bernafas. Gue berdiri, jalan cepat melewati meja-meja lain yang penuh orang berdasi dan gaun elegan. Aroma parfum mahal bercampur dengan suara sendok garpu beradu, buat kepala Gue pusing.
Lorong menuju toilet sepi. Lampunya lebih redup, dengan cermin panjang di dinding. Gue sempat berhenti, merapikan rambut asal, padahal sebenarnya nggak perlu.
Nggak sengaja Gue liat sesuatu yang buat langkah Gue kaku.
Seorang lelaki berdiri diujung lorong, punggungnya menyandar santai ke dinding. Baju kemeja putih yang pas badan, celana bahan gelap rapi, sepatu kulit mengilap. Rambutnya disisir asal, tapi justru buat dia keliatan makin... normal. Bukan lusuh, bukan berantakan. Dan wajahnya... astaga... itu Adrian.
Adrian?
Napas Gue langsung tercekat. Gue refleks melangkah lebih dekat, jantung Gue keburu panik tanpa alasan jelas.
Tapi saat jarak tinggal beberapa langkah, seorang lelaki lain muncul tiba-tiba dari arah berlawanan. Gue nggak liat jelas, jadi kami berdua hampir tabrakan.
"Ah, maaf!" Gue buru-buru menunduk sopan.
Begitu Gue angkat kepala lagi, lelaki itu sudah lewat. Dan... Adrian... nggak ada.
Gue berusaha mencari di sekeliling, lorong itu kosong, bener-bener nggak ada orang. Hanya pantulan wajah Gue sendiri di cermin yang menatap balik dengan mata melebar, kayak habis ngeliat hantu.
Gue berdiri bengong. Apa tadi Gue... berhalusinasi? Nggak mungkin Adrian ada di sini, direstoran elit kayak gini, dengan baju serapi itu. Gue bahkan bisa bersumpah dia tadi keliatan jauh dari kata "Miskin."
Gila, Gue lagi gila.
Gue tempelkan telapak tangan ke dada, berusaha nenangin degup jantung yang masih nggak karuan. Terlalu aneh. Terlalu nggak masuk akal.