Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murid Misterius
"Bu, jadwal di kelas mana?" tanya Bu Arini masuk ke kantor menuju arahku.
Syukurlah dia datang sehingga aku tidak menjawab pertanyaan dari Pak Ardi, pertanyaan itu terlalu sensitif bagiku karena menyangkut emosi dan mental.
"Di kelas sepuluh IPA dua, Bu," jawabku tersenyum.
Bu Arini adalah guru senior di sini, bahkan dia sudah mengajar selama puluhan tahun.
"Jam pertama, Bu?" tanyanya lagi.
"Iya, he he."
"Pantesan pagi-pagi sudah stand aja di sini."
"Kan suka gitu Bu, biar nyantai di jalan."
"Iya, bener. Baguslah, Neng masih muda tapi suka banget jalan kaki, ya. Pantesan awet muda."
"Ah, Ibu bisa aja," kelakarku menutup mulut dengan sebelah tanganku.
"Oh ya, Pak Ardi. Maaf ya, kapan-kapan lagi kita lanjut," ucapku kepadanya.
Dia mengangguk.
"Ada apa tuh, Bu? Jadi kepo hihi," ucap Bu Arini.
"Engga, Bu."
"Alah, gimana nih, Pak Ardi. Kok, Bu Imelnya gak mau jawab, ada apa nih," lanjutnya lagi sambil menaik turunkan alisnya ke arah Pak Ardi.
"Engga kok, Bu," jawab Pak Ardi.
"Jawabannya kok bisa sama, ya. Gapapa atuh ada apa-apa juga, Neng. Pak Ardi mah baik, kok."
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, lalu beranjak ke mejaku. Sambil menunggu bel masuk aku membaca-baca buku dulu meskipun kepalaku banyak sekali bebannya, banyak hal yang harus aku pikirkan. Apa pun itu nanti kalian akan tahu.
Satu persatu guru sudah mulai berdatangan, aku menyalami tiap guru-guru yang datang, apalagi di sini hanya aku yang bisa dibilang paling muda meski umurku sudah tidak muda belia lagi.
***
Akhirnya bel pun sudah berbunyi, karena aku kebagian jam pertama aku pun langsung masuk ke kelas X-IPA² untuk mengajar. Di sini aku mengajar Fisika, karena fisika adalah mata pelajaran yang kusuka meski jurusanku bukan itu melainkan Pendidikan Agama. Namun, di sini aku mengajar keduanya dan aku pun bisa melakukannya selagi suka.
Kegiatan di kelas sudah berjalan, aku menulis, menjelaskan, dan juga membuat pertanyaan dan juga latihan soal. Di saat-saat jam terakhir tiba-tiba seorang anak laki-laki mengajukan pertanyaan yang aku saja belum ingat namanya kecuali mengabsen.
"Bu, umur ibu berapa tahun, sih?" tanyanya.
"Kan waktu masuk sudah dijawab," jawabku.
"Aku gak hadir, bisa untuk dijawab kembali?"
Dalam hati, kok bisa sih anak semuda ini bertanya hal ginian kepadaku, apalagi masih kelas sepuluh. Rasanya aku seperti diledekin di depan semua orang.
"Untuk apa nanya umur?"
Dia diam beberapa waktu, teman-teman yang lainnya menatap ke arahnya.
Ini seperti hal yang aneh, kenapa teman-temannya juga tidak ada yang berani ngeledekin itu anak atau nyahutin itu anak, justru mereka malah terdiam dan menatap ke arahnya. Sebenernya anak ini siapa? Apa dia yang chat aku semalam, tapi rasanya bukan karena murid yang nanya aku bukan dia. Soal nomor baru yang masuk, itu juga bukan anak ini.
"Kamu KM di sini?" tanyaku lagi.
Semua teman-temannya serempak menjawab "Iya" sedangkan dia malah terus menatap kearahku dengan tatapan tegas dan serius.
"Ibu, jawab saja pertanyaanku jangan berbalik tanya," ujarnya tiba-tiba.
"Baik, umur saya dua puluh tujuh tahun, kenapa? Ada yang salah atau mau apa? Saya tidak akan segan-segan memberikan hukuman kepada orang yang nakal meskipun dia anak seorang pejabat," ujarku.
Anak itu tersenyum, tetapi dalam hatiku gaduh, ini seperti film drama psikopat tetapi tokoh utamanya ganteng. Aku mendadak tremor dan deg-degan ditanya bocah yang baru puber, tapi ini rasanya beda.
"Hanya bertanya saja," jawabnya dingin.
"Baik, siapa nama kamu, karena saya belum mengingatnya."
Aku masuk ke kelas ini baru dua kali dan ini adalah pertemuan keduaku dengan pelajaran yang berbeda.
"Gian," jawabnya.
"Baik."
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, sambil menunggu anak-anak yang lain mengumpulkan tugasnya. Rasanya aku ingin segera menekan bel agar segera keluar dari kelas ini. Meski di kelas tampak ramai, adanya anak itu membuatku merasa dingin, aku takut hal yang dulu pernah terjadi terulang lagi.
Aku malu dan juga takut jika mengingat kejadian tujuh tahun silam.
Tettttt tettttt tetttttt
Akhirnya bel pun berbunyi, aku buru-buru membereskan buku-buku agar aku bisa langsung keluar. Tapi sialnya, Gian datang ke mejaku ikut membereskan buku teman-temannya.
"Saya bantu," ujarnya.
Aku diam tanpa menjawab dan lebih fokus pada apa yang harus kubereskan.
Aku mengucap salam sebagai tanda aku selesai mengajar mapel pertama dan setelah itu aku keluar.
Gian mengikutiku dari belakang, sesekali aku melihat ke arahnya. Dia menundukkan kepala tidak seperti saat dia di kelas. Sangat aneh sekali, aku akan menebak jika ponselku nanti akan menerima pesan dari anak ini. Entah sekarang, nanti sore atau nanti malam.
"Terima kasih," ucapku.
"Sama-sama." Dia langsung keluar dari kantor setelah menyimpan buku yang belum aku periksa.
Anak ini, dia terlalu dingin dan berbeda dari teman-temannya. Aku benar-benar takut dengan tingkahnya.
Jangan sampai ini akan menjadi alasan aku pindah mengajar lagi ke sekolah lain, jujur saja aku cape apalagi mendengar ocehan tetangga yang selalu nyinyir "Kuliah kok diam di rumah." Itu yang selalu aku dengar meskipun mereka berbicara di belakang, ketambah umur segini masih belum nikah, rasanya seperti dunia tidak berpihak kepadaku. Mereka memang tidak tahu apa yang aku kerjakan, tetapi dengan mudahnya mereka menuduh sembarangan karena mungkin sukses adalah hal yang mustahil bagiku karena terlahir dari keluarga yang sederhana, suka dihina dan direndahkan. Mereka juga tidak tahu jika diamku bukan berarti diam tanpa penghasilan alias pengangguran, padahal di dunia serba digital ini banyak yang bisa kita kerjakan dan menghasilkan uang.
Namun faktanya, aku tetap menjadi orang yang selalu difitnah, digunjing, dan tetap direndahkan.
Tapi tidak mengapa, biarkan saja mereka menganggap demikian, karena apa yang aku beli dari hasil kerja kerasku selalu membuat mereka panas hingga banyak menjual apa yang mereka punya untuk menyaingi aku. Aku tidak memikirkan mereka, aku hanya memikirkan aku sendiri, aku tidak makan dari orang lain. Jadi mereka sakit parah karena penyakit hati itu bukan urusanku.
Telingaku terlalu ramah untuk mendengar kata-kata yang buruk, aku diam tidak membalas biarkan hasilku yang menjawabnya.
***
"Ibu, kenapa melamun?" tanya Pak Ardi mendekat ke mejaku.
"Gapapa, Pak," jawabku.
Aneh saja, kenapa tiba-tiba aku kepikiran sama kehidupan pahitku. Sekarang kan sudah beda meski apa yang aku kerjakan masih belum diketahui oleh semua orang. Jujur saja aku takut dan tidak percaya sama orang-orang di tempatku dan juga saudaraku. Karena aku dijatuhkan oleh tetangga dengan fitnah yang keji itu bukan sekali dua kali, bisnisku dibuat hancur hingga banyak dibenci oleh semua orang karena kejulidannya. Jadi, untuk saat ini aku berproses dalam diam tanpa menginfokan bahwa aku punya bisnis yang sedang berjalan. Belum besar karena masih merintis, tetapi penghasilannya sudah lumayan besar menurutku.
"Jadi bagaimana Bu soal yang tadi?"
Aku tersenyum menatapnya sebelum menjawab.
"Banyak pertimbangan, Pak. Menikah bukan hal yang mudah, entah saya yang terlalu menganggap hal ini berat atau memang kehidupan saya yang berat. Jadi saya belum siap untuk menikah."
"Tapi sudah ada orang yang sedang bersama ibu sekarang?" tanyanya lagi. Ini benar-benar serius.
"Belum, Pak."
Mendengar jawabanku, Pak Ardi tersenyum senang. Mungkin dia memiliki maksud, tetapi aku tidak yakin.
Jujur, aku tidak ingin menyakiti siapa pun.
"Pak, saya mau ngecek tugas anak-anak dulu."
"Oh iya, silahkan lanjut."
Aku memeriksa tugas anak-anak tapi Pak Ardi terus saja menatapku, sesekali dia tersenyum. Tatapannya memang meneduhkan, senyumannya juga manis. Tapi entah mengapa aku tidak yakin dengannya.
Baik, mungkin dia baik, aku tidak tahu karena aku baru mengenalnya. Rasanya ada kekhawatiran juga di sekolah ini karena guru-guru di sini sudah menikah semuanya kecuali aku dan Pak Ardi. Apa mungkin aku akan berjodoh dengannya? Tapi bagaimana bisa?