Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - Percakapan di ruang kerja
Malam sudah larut ketika Senja naik ke lantai dua dengan membawa secangkir kopi hangat dan sepiring cookies buatan sendiri. Lampu-lampu di koridor sudah dimatikan, hanya menyisakan cahaya redup dari lampu tidur yang terpasang di sepanjang dinding. Luna sudah tidur di kamar tamu sejak seminggu yang lalu atau lebih tepatnya, pergi entah kemana dan jarang pulang.
Senja berhenti di depan pintu ruang kerja Samudra yang terlihat masih ada cahaya menerobos dari celah bawah pintu. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Samudra masih bekerja. Seperti biasa, pria itu menggunakan pekerjaan sebagai pelarian dari masalah rumah tangga yang semakin kacau.
Senja mengetuk pintu dengan lembut. "Mas, aku boleh masuk?"
"Masuk," jawab suara Samudra dari dalam.
Senja membuka pintu dan melangkah masuk ke ruang kerja yang familiar.
"Aku bawain kopi," kata Senja sambil berjalan menghampiri meja kerja. "Dan cookies. Mas belum makan malam kan?"
Samudra melepas kacamatanya dan tersenyum lelah. "Aku tahu kamu terlalu baik. Terima kasih."
Senja meletakkan cangkir dan piring di atas meja, kemudian berdiri di samping Samudra sambil menatap dokumen-dokumen yang berserakan. "Masih banyak kerjaan?"
"Lumayan," jawab Samudra sambil menyeruput kopi. "Proyek baru di Surabaya lagi banyak masalah. Kontraktornya tidak becus."
"Mas harus istirahat," kata Senja sambil berdiri di belakang Samudra dan mulai memijat bahu pria itu dengan lembut. "Kalau Mas sakit lagi, siapa yang ngurusin perusahaan?"
Samudra memejamkan mata menikmati pijatan Senja yang sangat membantu meredakan ketegangan di bahu dan lehernya. "Kamu yang selalu perhatian sama aku."
"Karena aku sayang sama Mas," bisik Senja sambil mencium puncak kepala Samudra dengan lembut.
Samudra meraih tangan Senja yang sedang memijat bahunya dan menarik gadis itu untuk duduk di pangkuannya. Senja sedikit terkejut tapi tidak menolak, membiarkan tubuhnya dipeluk dari belakang oleh Samudra.
"Aku juga sayang sama kamu," bisik Samudra di telinga Senja, membuat gadis itu bergidik karena napas hangat yang menyentuh kulitnya.
Mereka terdiam dalam posisi itu cukup lama, menikmati kehangatan dan kedekatan satu sama lain. Suara AC yang berdengung pelan dan detak jantung mereka yang saling terdengar menciptakan intimasi yang sangat personal.
"Mas," panggil Senja akhirnya, memecah keheningan yang nyaman.
"Hmm?"
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tanya aja," jawab Samudra sambil mempererat pelukannya di pinggang Senja.
Senja memutar tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah Samudra. "Gimana hubungan Mas dengan Kak Luna sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Samudra terdiam. Ekspresinya berubah dari tenang menjadi lelah dan sedih. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Semakin buruk," jawabnya dengan jujur. "Bahkan aku tidak tahu lagi hubungan kami ini masih bisa disebut pernikahan atau bukan."
"Seburuk apa, Mas?" desak Senja dengan hati-hati.
Samudra menatap mata Senja yang penuh perhatian dan ketulusan. "Kami sudah tidak berkomunikasi lagi. Dia jarang pulang. Kalau pulang pun, dia tidur di kamar tamu atau bahkan tidak pulang sama sekali. Aku tidak tahu dia kemana, dan jujur... aku juga sudah tidak peduli."
"Mas tidak bertanya dia kemana?"
"Untuk apa?" Samudra tersenyum pahit. "Dia tidak akan jujur. Dan aku juga sudah lelah dengan semua kebohongannya."
Senja merasakan dadanya sesak mendengar penderitaan Samudra. Tangannya terangkat dan mengusap pipi pria itu dengan lembut. "Kasihan Mas. Harusnya istri itu jadi tempat pulang yang nyaman, bukan beban yang bikin cape."
"Makanya sekarang aku pulang karena ada kamu," kata Samudra sambil memegang tangan Senja yang sedang mengusap pipinya. "Kamu yang jadi alasan aku masih sanggup pulang ke rumah ini."
Senja tersenyum, senyuman yang tulus dan penuh cinta. "Aku akan selalu ada buat Mas."
Samudra menarik wajah Senja lebih dekat dan menciumnya dengan lembut. Ciuman yang penuh kasih sayang, tidak terburu-buru, hanya ekspresi dari perasaan yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi.
Ketika ciuman terlepas, Senja bersandar pada dada Samudra sambil mendengarkan detak jantung pria itu yang berdetak tenang dan kuat.
"Mas," panggilnya lagi dengan suara yang lebih serius.
"Ya?"
"Mas pernah kepikiran untuk... menceraikan Kak Luna?"
Pertanyaan itu membuat tubuh Samudra menegang. Dia terdiam cukup lama, tatapannya kosong menatap ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan malam Jakarta dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip.
"Setiap hari," jawabnya akhirnya dengan suara yang sangat pelan. "Setiap hari aku berpikir tentang itu."
"Lalu kenapa Mas tidak melakukannya?" tanya Senja sambil menatap wajah Samudra.
Samudra menghela napas panjang, tangannya mengelus rambut Senja dengan gerakan yang absent-minded. "Karena di keluarga kami, tidak ada yang namanya perceraian."
"Maksud Mas?"
"Keluarga Wijaya punya tradisi yang sangat kuat," jelas Samudra dengan nada yang lelah. "Papa, kakek, buyut, dan semua lelaki di keluarga kami tidak pernah ada yang bercerai. Pernikahan itu dianggap sakral dan harus dipertahankan sampai mati, apapun yang terjadi."
Senja merasakan hatinya mencelos mendengar penjelasan itu. "Tapi... kalau pernikahannya sudah tidak sehat? Kalau sudah tidak ada cinta lagi?"
"Tetap tidak boleh cerai," jawab Samudra dengan senyum pahit. "Itulah mengapa Papa dan Mama masih bertahan meski hubungan mereka juga tidak baik. Itulah mengapa semua paman dan om di keluarga kami masih menikah meski beberapa dari mereka punya masalah serius dengan istri."
"Tapi itu tidak adil!" protes Senja dengan suara yang mulai meninggi. "Bagaimana bisa tradisi lebih penting daripada kebahagiaan?"
"Di keluarga besar yang punya nama dan reputasi seperti kami," kata Samudra sambil menatap mata Senja, "reputasi dan tradisi itu yang paling penting. Perceraian dianggap sebagai aib yang akan merusak nama keluarga."
Senja terdiam, merasakan kekecewaan dan frustrasi yang mendalam. "Jadi... Mas harus bertahan dengan Kak Luna selamanya? Meski dia memperlakukan Mas seperti sampah?"
"Aku tidak tahu," jawab Samudra dengan jujur. "Aku masih mencoba mencari jalan keluarnya."
Senja terdiam, merasakan frustrasi dan kesedihan yang mendalam untuk pria yang dicintainya. Samudra terjebak dalam pernikahan yang menyiksa tapi tidak bisa keluar karena tradisi keluarga yang kaku.
"Pasti ada cara, Mas," bisik Senja sambil memeluk Samudra lebih erat. "Pasti ada jalan keluar."
"Aku berharap begitu," jawab Samudra sambil membalas pelukan Senja. "Tapi untuk sekarang, yang bisa aku lakukan hanya bertahan dan mencari celah."
Mereka terdiam dalam pelukan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Samudra memikirkan bagaimana cara keluar dari jebakan pernikahan yang sudah mati tanpa melanggar tradisi keluarga yang sangat dijunjung tinggi. Sementara Senja, di balik pelukannya yang hangat, otaknya bekerja cepat memikirkan bagaimana cara menggunakan informasi tentang perselingkuhan Luna untuk membantu Samudra menemukan jalan keluar itu.
Tapi untuk malam ini, mereka memilih untuk menikmati kehangatan satu sama lain, mencari kenyamanan dalam pelukan di tengah badai yang melanda kehidupan mereka.