1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 – Rencana Dewa Penjaga, Dewi Abadi Yao Zhen
Ketika Ning Xuan kembali ke kediamannya, malam sudah larut.
Biasanya, di waktu seperti ini, Xiao Jie hanya akan menyalakan lampu di kamar tidurnya.
Namun malam ini berbeda, seluruh kediaman terang benderang, penuh cahaya lampu.
Begitu melangkah melewati gerbang halaman, Ning Xuan langsung merasakan ada orang di ruang tamu.
Di dalam, duduk ayahnya, Ning Taiyi, bersama seorang tamu asing.
Awalnya, Ning Xuan mengira tamu itu lagi-lagi seorang “Paman Tang”. Tetapi ketika ia melewati dinding penyekat dan melihat jelas, ternyata yang duduk di sana adalah seorang pendeta wanita muda yang dingin dan cantik.
Di tangannya ada seikat debu pembersih fu chen, wajahnya tampak datar dan tenang.
Bukan tenang dalam arti lembut, melainkan ketenangan yang dingin, seakan dirinya berdiri jauh di atas awan, terpisah dari dunia fana, tanpa ada sedikitpun jejak asap kehidupan.
Tatapannya menampakkan jarak yang beku, seolah ia sama sekali tidak peduli dengan segala hal di dunia.
Rasa dingin itu sangat kontras dengan usianya yang masih muda.
Yang lebih mencolok, meski dingin dan acuh, ia mengenakan jubah Tao berwarna hitam berhias naga mistis (Xuan Mang Dao Pao).
Jubah itu longgar dan megah, menutupi lekuk tubuh indahnya, menyembunyikan semua keelokan yang seharusnya terlihat.
Begitu melihat Ning Xuan masuk, Ning Taiyi buru-buru berdiri.
“Xuan’er, ini adalah utusan dari ibukota kekaisaran. Dewi Abadi Yao Zhen.”
“Dewi Abadi?” Ning Xuan sempat tertegun.
Ia teringat, kakaknya pernah berkata bahwa para pendeta wanita yang berhasil mencapai tingkatan tinggi biasanya dipanggil Xian Gu atau Dewi Abadi. Tapi jumlah mereka sangat sedikit, jarang sekali terlihat.
Ia menatap perempuan itu dengan seksama. Usianya tidak lebih tua darinya, mungkin sebaya, bahkan lebih muda sedikit.
Namun di usia semuda itu, ia sudah mencapai kedudukan sebagai Xian Gu. Pantas saja, jelas datang dari pusat kekuatan besar di ibukota.
Pendeta wanita berwajah dingin itu tidak berbasa-basi. Ia bangkit, suaranya datar, seolah hanya membaca naskah.
“Ning Xuan, keluarkan satu tebasan pedangmu.”
Ning Taiyi menambahkan di sampingnya:
“Xuan’er, seperti waktu itu saja.”
Ning Xuan mengangguk, tidak banyak bicara. Ia mencabut pedangnya, lalu dengan kekuatan tubuhnya yang sebanding 3,5 tingkat, ia mengayunkan Tebasan Yan He.
Sreeeng!
Suara panjang, nyaring, melengking, seperti pekikan seekor burung walet yang terbang melesat, menggema cukup lama sebelum mereda.
Dewi Abadi Yao Zhen menatapnya cukup lama. Setelah itu, ia mengangguk tipis. Lalu, dari dalam lengan bajunya, ia mengeluarkan selembar gulungan kain sutra berwarna kuning keemasan.
“Ning Xuan, terimalah titah ini.”
Ning Taiyi segera melangkah maju, menarik Ning Xuan agar berlutut bersamanya.
Dewi Abadi Yao Zhen pun mulai membacakan isi titah.
—
”Atas kehendak langit, Kaisar memberi titah:
Kami mendengar bahwa Ning Xuan dari keluarga Ning, memiliki bakat yang luar biasa, keberanian yang tiada tanding, meski masih muda namun sudah memiliki kemampuan menumpas iblis dan menundukkan monster. Engkau sungguh layak menjadi pilar negara.
Dengan ini, engkau diangkat sebagai Jenderal Anyuan, dianugerahi tanda harimau emas untuk memimpin dua prefektur yaitu Wangyue dan Ping’an, serta menjaga ketentraman wilayah itu.
Berharap engkau giat berlatih seni bela diri, mengasah ketajaman pedangmu, jangan mengecewakan amanah Kami. Dengan keberanian, tundukkan para iblis; dengan kesetiaan, lindungi tanah air. Kelak, bila engkau berhasil, akan ada anugerah besar menantimu.
Demikianlah.
Titah ini berlaku segera.”
---
Selesai membacakan, Dewi Abadi Yao Zhen mengeluarkan sebuah kotak giok, menyodorkannya bersama gulungan titah.
Mata Ning Xuan menyipit sedikit.
Kata-kata indah dalam titah hanyalah formalitas. Yang penting adalah satu kalimat:
“Memimpin Wangyue dan Ping’an, menjaga satu wilayah.”
Itu berarti kekuasaan besar jatuh ke tangannya, sekaligus jelas membatasi wilayah pemerintahannya.
Kekuasaan besar itu mencakup. Semua kekuatan resmi di dua prefektur, baik pejabat sipil di permukaan maupun para ahli Tao yang bekerja di balik layar. Dengan tanda harimau emas, ia bisa memerintahkan semuanya sesuka hati.
Sebagai Jenderal Anyuan, ia praktis adalah kaisar kecil di dua prefektur itu.
Mengapa dua prefektur?
Jawabannya jelas. Wangyue adalah tanah keluarganya. Dengan titah ini, Kaisar seolah berkata: “Keluarga Ning tidak perlu pindah. Bukan hanya tak perlu, bahkan kuberikan jaminan ganda. Bukan hanya bupati dari keluarga Ning, tetapi juga jenderal di atas bupati pun milik keluarga Ning.”
Inilah yang disebut kemurahan hati Kaisar.
Namun, yang lebih rumit adalah Ping’an.
Dari berbagai petunjuk, putri Tang Chuan berada di “Barak Dewa Ibukota”, Tang Chuan sendiri pernah lama tinggal di ibukota, tahu banyak soal reformasi dan informasi istana, jelas bahwa Tang Chuan adalah orang dari faksi Kaisar.
Maka ketika Kaisar mengangkat Ning Xuan di atas Tang Chuan, Tang Chuan tidak bisa menolak dengan keras.
Tapi di saat yang sama, Prefektur Ping’an sedang dilanda wabah iblis.
Sebagai Jenderal Anyuan yang “menguasai dua prefektur”, Ning Xuan tak punya pilihan selain ikut bertanggung jawab menyelesaikan bencana itu.
Ini adalah ujian bagi dirinya.
Hanya jika ia berhasil melewati ujian ini, barulah ia sungguh layak menjadi penguasa sah dua prefektur itu.
Jika gagal, maka keluarga Ning juga tidak pantas menerima kehormatan besar yang bisa diwariskan lintas generasi.
Ning Xuan berdiri, menunduk, dan berkata lantang:
“Hamba menerima titah, terima kasih atas kemurahan Kaisar.”
Ia menerima kotak giok dan gulungan titah dengan kedua tangannya.
Ketika kotak giok dibuka, terlihat di dalamnya sebuah tanda emas berbentuk naga yang memancarkan aura misterius.
Begitu melihat aura itu, Ning Taiyi langsung memberi hormat khidmat kepada putranya.
Ning Xuan sempat mengerutkan kening, bingung.
Ning Taiyi pun tersenyum, lalu menjelaskan:
“Lapor kepada Jenderal, kami yang dulu diutus keluar daerah, semuanya pernah menjadi pendeta di bawah Kaisar. Namun setelah ditugaskan keluar, kami harus melepaskan kekuatan itu. Meskipun begitu, terhadap aura naga milik Kaisar, kami tetap akrab dan mengenalinya.
Melihat tanda harimau ini, secara naluriah hati kami kembali dipenuhi rasa setia.
Hanya saja, karena kekuatan kami sudah dilepaskan, ditambah waktu yang lama, rasa setia yang dulu bersifat paksaan itu kini telah memudar, berganti menjadi kesetiaan yang lahir dari hati.”
Ning Taiyi menundukkan kepala dengan sikap seorang bawahan kepada atasan.
Namun siapa pun bisa melihat jelas, di dalam hatinya ia sedang berbunga-bunga.
Di dunia ini, adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada anaknya sendiri diangkat menjadi atasan langsungnya?
Ia lalu menambahkan penjelasan:
“Titah pengangkatan seorang jenderal seperti ini akan diumumkan ke seluruh negeri. Jadi, Jenderal tak perlu khawatir perintahmu tidak bisa dijalankan.”
Ning Xuan ikut tersenyum, lalu berkata:
“Sekarang, Ayah bisa benar-benar tenang.”
Namun kenyataannya, Ning Taiyi belum bisa merasa tenang. Di matanya masih tersisa bayangan kecemasan. Apa yang bisa didengar Ning Xuan, tentu bisa ia rasakan juga.
Ning Xuan pun berkata:
“Ayah, lebih baik pergi beristirahat dulu.”
Ning Taiyi menjawab:
“Chounu sebentar lagi akan menembus tingkat berikutnya. Ia bisa mendampingimu.”
Ning Xuan mengangguk.
Barulah Ning Taiyi tersenyum dan undur diri.
Selama ini ia memang sangat berat sebelah memberikan seluruh aura naga keluarga kepada putra sulungnya, sambil menyerahkan tugas melanjutkan garis keturunan kepada si bungsu. Tetapi kini, putra bungsu pun menunjukkan keberanian dan prestasi yang membanggakan. Sebagai ayah, ia tentu ingin sang kakak memberikan seluruh tenaganya untuk melindungi adiknya.
Setelah itu, di ruang tamu hanya tersisa dua orang, yaitu Ning Xuan dan Dewi Abadi Yao Zhen.
Ning Xuan bertanya:
“Dewi Abadi, kapan engkau akan pergi?”
Yao Zhen menggeleng pelan.
Ning Xuan melanjutkan:
“Apakah Dewi Abadi masih memikul tugas sebagai pengawas? Menunggu untuk melihat bagaimana aku menstabilkan Prefektur Ping’an, baru kemudian pergi?”
Yao Zhen berkata datar:
“Aku tidak akan pergi.”
“Oh?” Ning Xuan terkejut.
Yao Zhen menjelaskan:
“Sejak dua puluh tahun lalu, istana kekaisaran berusaha keras membina sekelompok pendeta Tao, mereka yang memiliki dendam darah yang mendalam terhadap iblis, tanpa ikatan keluarga, dan bersumpah setia sepenuhnya kepada istana.
Semua itu demi melaksanakan Rencana Dewa Penjaga setelah dua puluh tahun. Dan sekarang, waktunya telah tiba. Engkau dan aku adalah bagian dari rencana itu.”
Ning Xuan bertanya heran:
“Rencana Dewa Penjaga itu apa?”
Yao Zhen menjawab:
“Iblis akan semakin kuat. Karena itu, istana berencana mengerahkan semua sumber daya untuk membina dua belas Dewa Penjaga.”
Ning Xuan bertanya lagi:
“Bagaimana dengan Jenderal Besar Qin? Apakah ia ikut serta?”
Yao Zhen menggeleng:
“Tidak, ia tidak ikut.”
Kemudian ia menambahkan:
“Semua pendeta yang dibina dalam kelompok kami menguasai sebuah kekuatan khusus yang disebut Bisikan. Dengan ini, kami bisa saling berkomunikasi di antara sesama, sekalipun terpisah ribuan li, tanpa kesalahan sedikit pun.
Selain itu, kami juga bisa menjalin Bisikan khusus dengan satu orang. Orang itu adalah calon Dewa Penjaga kami.
Tujuan kami dibina adalah untuk ditempatkan di sisi seorang calon Dewa Penjaga. Kami akan tumbuh bersama mereka, hingga akhirnya menjadi sahabat seperjuangan yang rela hidup dan mati bersama.
Aku bisa memperoleh banyak informasi, bisa membantumu mengajukan bantuan bila perlu, dan ketika engkau berperang, aku akan selalu berada di sisimu.
Aku datang membawakan titah Kaisar, menyerahkan tanda harimau, dan juga menyerahkan diriku.”
Ning Xuan sempat tertegun. Lalu, dengan nada hati-hati, ia bertanya:
“Apakah ini semacam pernikahan politik yang dianugerahkan Kaisar?”
Yao Zhen menjawab singkat:
“Bukan.”
Ning Xuan tersenyum lega:
“Kalau begitu, baguslah. Aku tidak suka orang di sekitarku dipaksa. Kalau memang kita ditakdirkan menjadi partner, aku harap engkau bisa tetap punya kebebasan, tetap punya pikiran sendiri. Bahkan dalam hal cinta sekalipun, itu harus datang dari pilihanmu, bukan paksaan.”
Yao Zhen menjawab dengan nada datar penuh prinsip:
“Pindao menyerahkan hati pada kehampaan. Tak ternoda cinta dunia. Kesucian sudah cukup, keberkahan akan lahir tanpa batas.”
Itu adalah akhir dari putaran pertama percakapan mereka.
Ning Xuan sebenarnya ingin menguji, apakah perempuan ini termasuk tipe yang mudah terjebak dalam kerinduan cinta. Sebab yatim piatu, dibesarkan sebagai alat, ditambah kerasnya latihan. Semua faktor itu biasanya menumbuhkan “kekurangan kasih sayang”.
Namun, Yao Zhen langsung menebak maksudnya, dan menegaskan dengan lugas: “Aku tidak kekurangan cinta, terima kasih.”
Lalu Ning Xuan menambahkan dengan senyum nakal:
“Kalau begitu… bagaimana kalau aku ingin tidur denganmu? Apakah Kaisar akan setuju?”
Yao Zhen menjawab dengan wajah serius:
“Aku tidak setuju.”
Ning Xuan mengangkat alis, pura-pura menggoda:
“Apakah engkau tidak tahu betapa pentingnya Rencana Dewa Penjaga? Engkau diciptakan demi rencana ini. Kalau hanya sedikit pengorbanan seperti itu, kenapa tidak? Kalau aku bisa menjadi penguasa di balik rokmu, bukankah urusan ke depan akan jauh lebih mudah?”
Ucapannya sengaja dibuat nakal, wajahnya berubah kembali menjadi gaya santai seorang penggoda.
Mata yang pernah bersinar nakal di rumah bordil Chenxiang Pavilion kini berputar tajam, menatap tubuh Yao Zhen, seakan ingin menembus lebar jubah naga yang menutupi seluruh lekuknya.
Wajah dingin Yao Zhen akhirnya retak. Ia jelas tidak pernah bertemu orang seberani dan setengil ini. Pipi putihnya memerah seketika.
Dengan nada setengah kesal, ia berkata lagi:
“Pindao menyerahkan hati pada kehampaan, tak ternoda cinta dunia! Jika Jenderal ingin mencariku, cukup panggil namaku. Aku sudah menjalin Bisikan denganmu. Sejauh apa pun jarakmu, bahkan di ujung langit, selama engkau menyebut dua kata ‘Yao Zhen’, aku pasti bisa mendengar suaramu.”
Selesai berkata, tubuhnya bergetar halus, cahaya emas memancar, dan dalam sekejap ia menghilang dari tempat itu.
Ning Xuan menarik napas panjang, merasa lega.
Paling tidak, orang yang dikirim Kaisar ini bukanlah boneka. Meski ia bisa digoda, wajahnya masih bisa memerah.
Ia memusatkan indera, dan segera merasakan ada sesuatu yang baru di dalam jiwanya yaitu sebuah aliran energi misterius.
Itulah yang tadi disebut Yao Zhen sebagai Bisikan.
Ning Xuan berpikir sejenak, lalu mencoba memanggil:
“Yao Zhen, aku mencintaimu.”
Tidak ada jawaban.
Ia mencoba lagi:
“Yao Zhen, aku sungguh mencintaimu.”
Kali ini, sebuah suara terdengar jelas di telinganya:
“Jenderal, jangan main-main dengan kata-kata seperti itu!”
Nada suaranya bergetar, dipenuhi rasa jengkel yang sulit disembunyikan.
Ning Xuan pun tertawa keras.
Baiklah, percobaan pertama berhasil.
Kini, ia sudah memiliki gambaran awal tentang posisinya, sekaligus tentang watak rekan barunya itu.