"Sayang, kita hanya dua raga yang Allah takdirkan bersama melalui perjodohan. Kalau saja aku nggak menerima perjodohan dari almarhum Papamu, kau pasti sudah bersama wanita yang sangat kau cintai. Mama mertua pasti juga akan sangat senang mempunyai menantu yang sudah lama ia idam-idamkan. Tidak sepertiku, wanita miskin yang berasal dari pinggiran kota. Aku bahkan tak mampu menandingi kesempurnaan wanita pilihan kalian. Sayang, biarkan aku berada di sisimu sampai nanti rasa lelah menghampiriku. Sayang, aku tulus mencintaimu dan akan selalu mencintaimu, hingga hembusan nafas terakhirku."
Kata hati terdalam Aisyah. Matanya berkaca-kaca memperhatikan suami dan mertuanya yang saat ini tengah bersama seorang wanita cantik yang tak lain adalah Ariella, Cinta pertama suaminya. Akankah Aisyah mampu bertahan dengan cintanya yang tulus, atau justru menyerah pada takdir?
Cerita ini 100% murni fiksi. Jika tidak sesuai selera, silakan di-skip dengan bijak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secercah harapan
"Biarkan saja! Dia pantas mendapatkannya!" ucap Ana tanpa belas kasihan.
Tanpa sepengetahuan Ana dan Ariella, bibir Aisyah sudah bergetar dibalik cadarnya. Wanita itu menahan dirinya agar tidak menangis.
"Aisyah, maaf ya. Sebaiknya kamu beristirahatlah di kamar, sepertinya kamu membutuhkan waktu sendiri," ucap Ariella memperlihatkan senyum hangatnya seakan peduli pada Aisyah.
Aisyah yang memang sudah tidak tahan, langsung pergi meninggalkan ruang tamu tanpa berpamitan. Aisyah melangkahkan kakinya dengan cepat tanpa berniat menoleh kebelakang lagi.
"Dasar nggak tau sopan santun. Sama orang tua dan tamu nggak ada adabnya!" ucap Ana yang sejatinya hanya mengumpat dirinya sendiri.
"Sudah Tante, sabar," ucap Ariella lalu memeluk Ana seakan memberikan kenyamanan pada wanita paru baya itu.
"Huh... Iya sayang." Ana menghembuskan nafasnya perlahan guna menenangkan hatinya yang diselimuti api amarah.
"Tante selalu darah tinggi jika berhadapan dengan menantu menyebalkan itu," ucap Ana membalas pelukan Ariella dengan amarah yang mulai mereda.
"Oya Tante, bagaimana kalau sore ini kita shopping ke mall?" ucap Ariella melonggarkan sedikit pelukannya di tubuh Ana. Wanita itu menatap ana dengan lembut sembari tersenyum.
"Ah sayang, kamu tau saja obat yang dapat meredakan tekanan darah tinggi Tante. Kamu memang calon menantu idaman, dan tak lama lagi kamu pasti akan menjadi bagian dari keluarga Alexander," ucap Ana dengan sangat meyakinkan membuat Ariella senang di dalam hatinya.
"Hihihi, Tante bisa saja. Kalau begitu, ayo kita shopping sekarang agar kita bisa kembali sebelum waktu makan malam, bagaimana?" ucap Ariella begitu pandai mengobrak-abrik hati Ana.
"Ayo," ucap Ana tersenyum pada Ariella dengan Ariella yang membalas senyuman Ana.
Ana dan Ariella pun pergi dengan tangan yang saling merangkul. Keduanya berjalan sembari mengobrol ringan perihal barang-barang branded terbaru yang akan mereka beli.
Setelah berada di teras mansion, Ana dan Ariella masuk ke mobil mewah yang sudah menunggu, lalu kemudian pergi meninggalkan kediaman almarhum Alex dengan di antar oleh supir.
Di kamar luas yang berada di lantai dua, terlihat wanita bercadar menumpahkan air matanya di sajadah. Wanita itu baru saja menunaikan shalat maghrib. Ia mencari ketenangan dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Aisyah menangis lirih dengan dada yang naik turun seperti menahan sesak di dadanya. Matanya membengkak, dengan bibir yang sedikit gemetar lantaran menceritakan semua masalahnya kepada Allah.
Sebagian air matanya yang mengalir begitu deras, sudah membasahi mukena dan sajadah miliknya.
Di beberapa bagian mukenanya sudah kusut. Aisyah terlihat begitu lemah dan memprihatinkan. Sikap Adam, perlakuan Ana, dan kehadiran Ariella membuat hatinya begitu hancur.
Jika saja Aisyah itu sebuah kaca, maka sudah dipastikan kaca itu retak. Seperti itulah gambaran keadaan hati Aisyah sekarang ini. Hanya orang-orang yang mengenalnya dengan baik yang bisa melihat retakannya.
Aisyah yang berdoa kini mengusap wajahnya. Bukan hanya sekedar mengusap saja, namun Aisyah menutup wajahnya cukup lama dengan kedua tangannya.
Pintu kamar Aisyah tidak terlalu tertutup, hal itu membuat seseorang dapat melihatnya, walau dengan ketidaksengajaan.
Mata yang mengintip Aisyah dari balik pintu terlihat tajam dan menusuk. Bahkan, sang pemilik mata memiliki aura yang begitu maskulin dan dingin.
Sepertinya Mama keterlaluan lagi padanya. Apa aku harus meminta maaf padanya? Sepertinya nggak perlu, lihatlah. Dia terlihat sudah membaik.
Aisyah yang berada di dalam kamarnya sudah menyelesaikan kegiatannya. Wanita itu masih dalam kondisi duduk lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
Aisyah mengerutkan alisnya ketika seperti melihat sesuatu di depan pintu. Orang yang berada di depan pintu segera pergi sebab tak ingin Aisyah melihatnya.
Dengan penasaran, ia mengenakan cadarnya lalu bangkit dari tempat duduknya. Wanita itu mendekati pintu kamarnya tanpa melepaskan mukena yang dikenakannya. Wanita itu melangkah perlahan sembari terus melihat ke arah pintu.
"Mbok Ima?" Panggil Aisyah menebak-nebak orang yang baru saja mengintipnya.
"Cklek." Suara deritan pintu terdengar perlahan disebabkan Aisyah yang membuka pintu.
Aisyah yang tidak melihat siapa pun di depan kamarnya, memutuskan untuk memeriksa di luar. Wanita itu tampak heran sebab tak mendapatkan siapa pun di depan kamarnya.
"Apa itu... Ah nggak mungkin," ucap Aisyah membantah isi pikirannya sendiri.
Iya nggak mungkin, mana mungkin itu Mas Adam. Pasti aku salah melihat, Mas Adam kan paling nggak suka melihatku.
"Huh..." Aisyah menghembuskan nafasnya perlahan dengan wajahnya yang kembali menunduk sendu.
Aku merindukanmu Mas. Walau pun dulu kau selalu memarahiku karena merasa aku mengganggumu, setidaknya dulu kita tidur di kamar yang sama. Papa sudah nggak ada, jadi nggak ada yang bisa menahan ku lagi di kamarmu Mas.
Aku masih mengingat jelas masa-masa itu. Papa sangat over protektif dengan hubungan kita. Papa selalu ingin kita dekat dan bersama Mas.
Kalau diperbolehkan, aku ingin mengulang semuanya bersama, walau pun tanpa Papa.
Tes! Sebutir air mata Aisyah kembali jatuh hingga menyentuh lantai. Aisyah tanpa sadar termenung di depan kamarnya dengan pandangan mata yang kosong.
"Nyonya." Panggilan Mbok Ima membuat Aisyah terkejut hingga tubuhnya bergetar.
Wanita itu mengalihkan tatapan kosongnya ke arah Mbok Ima. Mbok Ima memiringkan sedikit wajahnya memperhatikan Aisyah.
"Eh, Mbok... hehe," ucap Aisyah memaksakan senyumannya dengan gelak kecil.
Mbok Ima tersenyum tipis melihat Aisyah yang begitu tegar dan tetap tersenyum. Wanita itu memegang bahu Aisyah lalu memberikan usapan lembut di sana.
"Nona, sebentar lagi waktunya makan malam. Bibi sudah menghidangkan semua makanan di meja makan. Nona jangan lupa turun ya," ucap Mbok Ima dengan lembut tanpa memudarkan senyum ramahnya.
"Baik Mbok, sebentar lagi Aisyah turun ya. Aisyah belum bersiap-siap soalnya," ucap Aisyah yang dipahami Mbok Ima dengan anggukkan kecilnya.
"Ya sudah Non, Mbok mau mengingatkan Tuan Adam juga agar turun untuk makan malam," ucap Mbok Ima dengan begitu sopan pada Aisyah.
"Iya Mbok, terima kasih ya sudah mengingatkan Aisyah," ucap Aisyah dengan tulus sembari menatap mata Mbok Ima dengan penuh ketulusan.
"Sama-sama Non, Mbok ke kamar Tuan dulu ya," ucap Mbok Ima yang hanya ditanggapi Aisyah dengan anggukkan kecilnya.
Mbok Ima pun kembali melanjutkan pekerjaan rutinnya dengan Aisyah yang terus memperhatikannya dari belakang.
Tak ingin membuat semua orang menunggu, Aisyah pun kembali masuk ke dalam kamarnya dan bergegas bersiap-siap.
"Tok-tok-tok." Suara ketukan pintu yang berasal dari Mbok Ima terdengar begitu nyaring.
Di dalam kamarnya saat ini, Adam terlihat sedang memejamkan matanya dengan tubuh yang menyandar di kepala ranjang. Pria itu membuka matanya dengan perlahan sebab sedikit terusik dengan suara ketukan pintu yang memenuhi kamarnya itu.