Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesabaran Yang Dipaksa
Lyodra tengah duduk merenung di ayunan, Macbook di pangkuannya masih menyala. Hanya saja, ia mulai dirundung rasa takut. Entahlah takut apa, intinya banyak. Ia takut tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Bagaimana kalau nanti cerai dan jadi janda terus dipandang buruk? Gimana kalau nanti malah perceraian itu ada karena kesalahannya.
Dia tidak mau itu terjadi. Jadinya matiin Macbook lalu pergi ke dapur membuatkan teh manis, untuk Kenziro yang sedang duduk menonton drama thriller.
"Makasih sayang," katanya seraya menyeruput teh dan kembali rebahan. "Mau ikut nonton yang?"
Lyodra pun ikut merebahkan dirinya di atas sofa panjang, di peluk dari belakang dan berbincang hangat.
Sekarang mereka sudah pulang dirumah, usai berlibur panjang. Karena Lyodra juga harus masuk kerja, dia masih kerja sebagai manager di kantor properti.
Hal seperti ini yang membuat Kenziro merasa dicintai. Meskipun dia pria yang sudah hampir matang, dia tetaplah anak kecil yang butuh pelukan dan suka dimanja. Dan kala ini, ia tidak ingin waktu berjalan. Ingin berhenti dan bisa sepuasnya menikmati pelukan Lyodra.
Lyodra merasakan hembusan halus di belakang lehernya lalu menoleh. Ketika hendak mengecap bibirnya, bel berbunyi.
"Siapa ya sayang?"
Mata Lyodra membulat. Ia bangkit Dnegan raut panik. "Aku lupa. Orang tua kamu kan mau kesini!"
Seketika ia kelimpungan panik, karena harus tampil selalu rapih. Untuk mencerminkan siapa dirinya. Sedangkan saat ini, dia belum mandi, masih acak-acakan hingga secepat mungkin untuk mandi dan bersiap.
Memakai pakaian bagus dan rambut rapih dan wangi barulah membuka pintu dan tersenyum lebar.
Sementara Kenziro tengah berkutik di dapur menyiapkan makanan, karena ingin masak sendiri.
"Lama banget," ketus Berlin --- ibunya Kenziro yang menatap menantunya datar lalu berjalan masuk seraya mencolek barang disana. Yang masih berdebu.
"Kamu belum beres-beres ya?"
Lyodra mengangguk takut, ibunya itu baik cuman ya rada gitu. "Hehe, iya."
"Jangan bilang baru bangun tidur?" Kepalanya menoleh, menatap tajam nan sinis kepada Lyodra seperti musuh. "Biasakan, bangun tidur jangan males-malesan, langsung beres-beres. Kalau capek bisa sewa pembantu. Yang penting kamu bisa merawat diri dan suami kamu. Ken dimana?"
Langkah Berlin terhenti. Ia tersenyum ke arah putranya dan memeluknya erat. "Kamu udah makan? Mama kangen, gak ada kamu rasanya sepi. Gimana honeymoon nya seru?"
"Iya Ma pasti, oh iya duduk dulu, mau minum apa?"
Berlin melirik apa yang dilakukan anaknya. "Kok kamu yang masak?"
"Aku cuman bantuin, Lyo. Kan barusan abis kedepan bukain pintu buat Mama, maaf ya lama soalnya gak kedengeran," balasnya dengan suara netral untuk meyakinkan.
Karena memang Kenziro itu sering bangun duluan, kadang nyapu, kadang langsung masak nasi atau nyuci baju. Gak pernah mau menganggu tidur nyenyaknya Lyodra.
Dan itu jelas bakalan jadi masalah buat Berlin. Ia tidak keberatan kalau Kenziro ikut bantu tapi gak rela kalau anaknya terus disuruh kerja non stop.
"Lyodra sini," panggil Berlin datar.
Lyodra berjalan pelan dan berdiri disamping ibunya. "Iya Mama."
"Mama ngerti kamu wanita karir, Mama gak masalah kamu mau tetap kerja. Tapi inget, kamu harus bisa handle semuanya, gak perlu pake tenaga kamu sendiri. Kita punya banyak jalan menyelesaikan masalah. Tapi perlu Mama tegasin sekali lagi kalau Mama gak rela anak Mama disuruh kerjain semua pekerjaan rumah sendiri. Harus bareng-bareng, bagi tugas. Jangan kamu terus ataupun Ken," tegas Berlin begitu ia merasa bahwa rumah bisa rapih dan bersih karena Kenziro.
Kadang kesal juga, hanya saja ditahan.
"Aku masih nyari ART yang cocok aja dirumah. Aku gak mau kalau orangnya itu malah jadi orang ketiga di rumah ini," jawab Lyodra yang merasa bingung tak punya pilihan.
Berlin pun memegang tangan putranya dan mengajarkan cara memotong sayuran yang benar. "Kalau motong buncis buat sup, jangan terlalu panjang. Ini semua Ken yang potong kan?"
"Acak-acakan ya Ma?" tanya Kenziro yang merasa malu.
"Terlalu rapih," celetuk Berlin ketus. "Mama tau mana hasil tangan kamu apa bukan. Kan kamu suka bantu Mama, jadi tau rasa buatan kamu. Termasuk telor dadar ini." Kini tangannya mengambil sendok dan mencicipi telor dadar sisa di atas piring.
Dari rasanya, dari teksture dan cara memotong bawangnya saja ia tahu persis. Kenziro tidak suka pakai micin, dia pasti hanya akan menambahkan penyedap rasa, tanpa daun bawang.
"Itu Lyly yang buat, dia kan tau aku gak suka telur dadar pake daun bawang."
Berlin meletakkan sendal. "Mama tau perbedaannya, jangan meragukan selera lidah Mama ya."
Lyodra hanya diam, karena nyatanya emang Kenziro lebih pandai masak dibandingkan dirinya. Mau melawan pun nanti masalahnya akan panjang, kalau dipendam malah nyesek sendiri.
"Iya emang. Tadi bagi tugas, aku masak, Lyly nyuci. Mama pokoknya jangan khawatir, aku sehat disini," katanya berusaha menenangkan.
Melihat mata Lyodra mulai menatap ke arah lain, bahkan menghindari tatapannya. Kenziro dapat menebak, kalau dia sudah tertekan sekarang.
"Mama udah bawa makanan di mobil, ayo kita makan."
--✿✿✿--
Meja makan udah rapi, dan yang ribet beresin jelas Kenziro. Sementara Lyodra? Ya ampun, kerjaannya cuma kayak mandor proyek, berdiri, nunjuk-nunjuk, terus kasih instruksi.
Kalau ada lomba nge-boss-in suami, Lyodra juara umum.
Biasanya Lyodra itu tinggal buka mulut, makanan udah nongol di depan. Tinggal geser dikit ke gigi, kunyah, beres. Tapi kali ini nasib berkata lain: dia harus turun gunung, ambil nasi sendiri, tuang air sendiri, dan sok-sokan anggun kayak putri kerajaan.
"Kalo kamu mau hidup enak terus kayak anak raja, tinggalnya sama Mama aja dirumah mama," celetuk Berlin sambil nyuap sendok terakhir.
Suasana sempet kaku, padahal maksud Berlin tuh bukan nyindir jahat, cuma biar mereka nggak kebiasaan hidup enak numpang servis all-in doang.
Berlin tuh sayang banget sama Lyodra, tapi ya wajar khawatir. Takutnya kalo nanti hidup mulai banyak ujian, eh mereka kaget kayak mahasiswa baru ketemu kalkulus. Nggak siap, bingung, terus malah ribut sendiri.
"Maaf ya kalo Mama kadang kedengerannya cerewet sama ikut campur. Di luar itu semua Mama sayang kalian, mau kalian bisa bekerja sama di setiap susah maupun senang, gak membebankan ke satu orang," lanjut Berlin dengan wajah mellow.
Lyodra cuma senyum tipis. Senyum yang artinya oke deh ma, meski hatinya agak cekot-cekot.
“Mama tau kok, Mama kamu nggak pernah maksa-maksa gitu. Tapi anggep aja ini ilmu survival. Soalnya ujung-ujungnya kita cuma punya diri kita sendiri. Orang lain? Kagak bisa dibawa mati.”
Kenziro langsung clearing throat ala dosen yang mau kasih pengumuman.
“Gini Ma, pelatih tuh kan nggak ikutan main di lapangan. Lyly tau kok cara bikin yang cantik-cantik gimana. Tapi aku lebih enjoy jadi yang ngelakuin, terus dia bagian kasih instruksi. Jadi tenang aja Ma, sistem rumah tangga kita kayak game. Aku player, Lyly controller. Aman.”
Berlin ngangguk. Oke, agak masuk akal sih. Akhirnya dia bangkit, meluk Lyodra, sambil bilang lembut. “Sehat terus ya, bahagia juga. Maaf Mama suka bawel, tapi percaya deh, itu semua karena Mama sayang banget sama kamu. Mama nggak tega liat kamu susah, tapi Mama juga takut kalau nanti orang-orang udah satu-satu pamit ke alam baka, kamu jadi nggak ngerti cara bertahan sendirian.”
Lyodra diem. Kenziro diem. Hanya suara perut Kenziro doang yang kedengeran, minta nambah nasi.
Lyodra terharu, kadang ia tuh pengen banting pintu gara-gara Berlin suka bawel. Tapi kadang juga sedih, karena cara sayang Berlin tuh beda banget sama orang tuanya.
“Maaf Ma, aku suka salah paham… kirain Mama benci sama aku.”
“Enggak lah, dasar anak drama,” jawab Berlin singkat, terus cabut buat ngecek restorannya.
Kenziro langsung usap bahu Lyodra. “Sakit hati wajar, tapi Mama tuh gitu. Dia takut kita nggak bisa ngadepin hidup. Nggak mau sampe ada orang lain yang nyinyir: ‘Ih, pasangan baru tapi udah kaya benalu.’”
Tangis Lyodra pecah, dia peluk Kenziro erat-erat sampai kayak boneka claw machine. “Aku takut, Ken!” Suaranya pecah, tubuhnya naik turun, bahunya letoy banget. “Aku takut kalau kamu nanti nggak bahagia sama aku.”
Kenziro menatap matanya serius, sambil ngusap rambutnya pelan. “Selagi sama kamu, aku akan selalu bahagia, cantik.”
Sunyi. Udara kayak berhenti sebentar.
Lalu perut Kenziro bunyi kruuuuuukkkk keras banget, kayak sound effect film horor.
Lyodra berhenti nangis, matanya melotot. “Serius nih, lagi adegan haru malah lapar lagi??”
Kenziro nyengir. “Ya… aku kan bahagia kalo makan sama kamu.”
Lyodra menutup wajahnya. “Ya Tuhan… jangan-jangan bahagia kamu cuma bertahan sampe perut kenyang.”