NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:283
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Membuatnya Puas Denganku

Ting!

Suara pelan dari ponsel di atas meja rias, membuat Fitri menoleh. Ia yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin, melirik.

Itu bukan ponselnya. Melainkan ponsel Tomi, suaminya. Tertera nama Mela di bar layar dengan pesan terbaca jelas.

[Mela: Tom, jadi jemput aku ‘kan?]

Fitri mengernyitkan dahi, mengingat-ingat siapa si Mela itu. Dan mengapa minta dijemput oleh suaminya?

Klik.

Pintu di buka dari luar. Tomi memasuki kamar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya yang basah masih menetes membasahi sebagian dadanya.

Fitri menelan ludahnya. Tubuh Tomi memang selalu menggoda imannya. Visualnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi tapi sedikit berotot itu selalu berhasil membuat Fitri tergila-gila dan melakukan cara apapun agar tubuh itu menjadi miliknya. Seutuhnya.

Matanya masih memandangi tubuh Tomi yang berdiri di depan lemari pakaian. Mengambil kaos dan celana jeans.

Fitri termangu. Setelah Tomi memakai bajunya, barulah ia sadar jika ada perempuan yang mengirim chat pada suaminya, minta jemput.

“Tom.”

Tomi menoleh. “Ya?”

“Siapa Mela?”

Tomi mengernyit. Gerakan tangannya yang mengancing baju berhenti. Menoleh sepenuhnya pada Fitri lalu beralih pada ponselnya yang tergeletak di atas meja.

“Kamu lihat-lihat hp-ku?” tanya Tomi menyipitkan matanya. Raut wajahnya mengeras.

Fitri tersenyum gugup. “Eng-enggak. Tadi hp-mu nyala. Aku cuma lihat sekilas.”

Tomi mendengus lalu mengambil ponselnya dan membaca pesan yang memang terlihat jelas di layar depannya.

“Siapa dia, Tom? Kamu janjiin dia buat jemput? Jemput kemana?” tanya Fitri lagi.

“Teman,” jawab Tomi singkat. Ia masukkan ponselnya ke saku celana.

“Teman? Teman dekat? Teman tapi mesra? Atau teman diem-diem selingkuh?”

“Cuma teman biasa. Teman lama.”

“Apa dia nggak tahu kalau kamu sudah punya anak dan istri?” Fitri bertanya sambil terus memperhatikan suaminya.

“Tahu. Dia juga udah punya suami. Lalu apa masalahnya?” tanya Tomi santai.

“Apa masalahnya? Jelas jadi masalah. Kalau dia udah punya suami, kenapa dia minta jemput suami orang? Kemana suaminya?” Suara Fitri meninggi.

Tomi menghela napas. Berjalan mendekati istrinya dan berhadapan dengannya. “Kami cuma berteman, Fit. Jangan memperbesar masalah yang sebenarnya nggak ada. Aku sama dia nggak seperti yang kamu pikirkan.”

Fitri tersenyum miring. “Emang kamu tahu apa yang aku pikirkan?”

“Tahu. Dia bukan kamu yang melakukan berbagai cara demi memenuhi keinginannya. Dia bukan kamu yang merebut pria lain dari pasangannya. Jadi, jangan samakan dia denganmu,” desisnya pelan namun telak.

Fitri terkesiap. Ia menatap Tomi dengan tatapan berani. “Oh, kamu belain dia sampai-sampai ngatain aku begini? Aku istrimu, Tomi. Aku berhak tahu siapa aja yang berada di dekatmu. Termasuk si Mela itu.”

Fitri menaikkan kedua tangannya. Merangkul leher Tomi dengan senyuman mautnya. “Aku tahu. Secara nggak langsung kamu mau bilang aku murahan karena aku merebutmu dari Mega, mantanmu itu ‘kan? Tapi, pada akhirnya kamu memilihku, Tomi. Aku yang jadi istrimu. Bukan Mega. Dan satu hal lagi. Aku bukan Mega yang lembek. Pacarnya direbut, dia cuma diam aja sambil nangis. Aku rela melakukan apapun agar kamu tetap jadi milikku, Tom. Aku nggak akan membiarkan siapapun termasuk si Mela Mela itu merebutmu dariku.”

Cup!

Fitri mencium bibir Tomi. Tomi tersenyum smirk. Tapi membalas ciuman Fitri. Tak mau kalah. Ia menarik pinggang Fitri agar semakin menempel dengan tubuhnya.

Beberapa saat berciuman panas, Tomi memundurkan wajahnya. Ia melepas pelukannya.

“Kamu memang liar, Fitri. Tapi aku suka. Sayangnya, aku harus berangkat kerja,” ucap Tomi berjalan kembali ke depan cermin dan menyisir rambutnya.

Fitri tersenyum. Ia melangkah mendekati Tomi dan bersandar di sisi meja rias seraya menatap wajah suaminya yang selalu tampan itu.

“Aku harus melakukannya agar kamu puas denganku. Cukup denganku,” ucapnya seraya mengelus dada Tomi yang tertutup kaos dengan satu jarinya.

Tomi terkekeh. Ia menangkap jari Fitri dan membawanya ke mulutnya. Mengulum pelan dengan mata menatap istrinya lekat.

“Aku kerja dulu. Kita akan lanjutkan nanti.” Tomi melepas jari Fitri dan mengambil tas kecilnya.

Fitri mengangguk. Ia mencium punggung tangan suaminya. “Hati-hati di jalan,” pesannya yang langsung diangguki Tomi.

Fitri mengantar Tomi sampai ke teras depan. Fitri melambaikan tangan saat Tomi mulai menyalakan motornya lalu pergi ke tempat kerjanya.

“Aku nggak akan membiarkan perempuan murahan lainnya merebutmu, Tomi sayang. Susah payah aku menjeratmu. Nggak mungkin aku melepasmu begitu aja,” gumamnya pelan.

***

“Aku mau resign, Ra.”

Nira tersedak. Ia gegas mengambil gelas dan meminumnya.

“Aku udah nggak betah kerja di sana. Aku capek bolak balik ke rumah sakit yang berbeda. Mana jaraknya kadang berjauhan. Capek di jalan,” ucap Riki santai sambil sesekali menyuap makanannya.

Nira meletakkan gelas dan menatap Riki. “Tapi dikasih uang transport ‘kan?”

“Iya. Cuma akunya yang capek, Ra. Rencananya sih aku mau kerja di bagian produksinya aja. Bukan di marketing-nya. Kalau di produksi, kerjanya di tempat. Nggak kesana kemari. Nggak capek di jalan.”

Mood makan Nira jadi hilang karena ucapan Riki. Padahal ia sedang lapar sekali dan nyidam makanan yang ada di depannya ini. Tapi, gara-gara Riki, Nira mendadak kenyang dan tak berniat menghabiskan makanannya.

“Kamu udah ngajuin surat resign?”

Riki menggeleng. “Belum. Aku mau nanya pendapatmu dulu. Soalnya kalau aku udah resign, aku pasti nganggur sementara sebelum dapat panggilan kerja di tempat lain, yang itu artinya untuk sementara, kita hidup dari gajimu aja.”

“Aku nggak setuju, Rik. Kalaupun kamu mau resign, nggak sekarang. Sebentar lagi aku lahiran. Kita butuh banyak biaya. Bapak dan Ibu bakal ke sini dan mereka butuh ongkos pulang pergi. Kita lagi banyak biaya, Rik. Jadi, please, bertahan dulu ya. Bisa ‘kan?” tanya Nira.

Riki terdiam. Nira menghela napas dan kembali berkata,” Setidaknya bertahanlah sampai anak kita lahir. Jangan dulu resign. Selain karena biaya, aku nggak mau kamu jadi pengangguran saat nanti kamu menjadi ayah. Aku nggak mau Bapak dan Ibu nganggep kamu sebagai suami dan ayah yang nggak bertanggung jawab karena nggak punya pekerjaan.”

“Baiklah. Aku usahain buat bertahan.”

Nira tersenyum. “Terima kasih.”

Riki mengangguk dan kembali melanjutkan makannya. Nira menatap makanannya. Masih setengah, tapi ia sudah tak selera.

Selesai makan, keduanya berangkat bekerja bersama. Riki mengantarkan Nira ke rumah sakit terlebih dahulu, barulah ia berangkat ke tempat kerjanya.

Sesampainya di kantor, ia duduk di meja kerjanya. Tubuhnya bersandar dengan mata terpejam.

“Masih pagi udah bete aja lo, Rik.”

Riki membuka matanya. Melihat jengkel pada Tyo, teman seprofesinya.

“Gue jenuh. Bosen. Mau resign ah gue.”

Tyo duduk di sisi seberang meja Riki. “Sama. Kalau nggak ingat gue butuh duitnya, gue udah resign dari lama.”

“Lo enak. Udah naik jabatan. Lah gue? Masih di jalan aja kerjaan gue.”

“Eh! Lo baru kerja satu tahun di sini, berharap apa lo? Jadi manager? Apa kepala marketing?” Sindir Tyo terkekeh pelan.

“Gue udah kerja di sini tiga tahun. Pencapaian gue juga nggak main-main. Makanya gue bisa naik jabatan. Gue juga pernah di posisi lo, Rik. Tapi gue nggak nyerah,” ucap Tyo lagi.

“Kalau nggak bisa ngasih solusi, pergi deh lo. Gue mau nenangin diri sebelum gue kembali kerja di jalanan.”

“Yah elah. Lo kan punya bini yang kerja di rumah sakit. Gajinya pasti gede. Rumah sakit swasta lagi. Nggak perlu lah lo bingung kalau mau resign. Kan ada penghasilan dari bini lo. Lain hal sama gue yang butuh duit banyak buat ngelamar dan nikahin cewek gue.”

Riki mendengus. Lagi-lagi kesal karena tadi pagi Nira memintanya untuk bertahan di pekerjaan yang sudah tak ia minati lagi.

“Bini gue mau lahiran. Butuh biaya. Makanya gue nggak diijinin keluar sekarang.”

“Bini lo perawat. Lahirannya di rumah sakit tempat dia bekerja aja. Pasti ada potongan biaya lah buat karyawan.”

Riki menatap Tyo. “Iya juga ya. Rumah sakit pasti ngasih potongan biaya kalau Nira lahiran di sana. Apa gue resign sekarang, tapi nggak usah ngomong ke bini gue? Toh dia juga nggak bakal tahu kalau gue tetap berangkat pagi sama dia dan pulang sore setelah dia.”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!