NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Paket Teror

Sudah lima kali teleponnya tak diangkat. Ketukan pintu pun tak berbalas.

Leana, yang kehilangan kesabaran, akhirnya mengetuk lebih keras. Sebenarnya bukan mengetuk lagi — lebih tepat disebut menggedor.

Darren yang masih terlelap langsung terbangun, terlonjak dengan mata separuh terbuka. Dalam keadaan linglung, ia berjalan tertatih menuju pintu.

“Hei! Apa kau tak bisa mengetuk pintu dengan benar, hah?!”

Nada suaranya masih serak, matanya belum sepenuhnya terbuka. Ia bahkan belum sadar siapa yang berdiri di hadapannya.

“Sebelum membuka pintu, setidaknya kenakan celana Anda dengan benar.”

Suara Leana membuat Darren langsung tersadar penuh. Ia menunduk refleks — dan seketika wajahnya berubah merah padam.

Hanya boxer pendek yang melekat di tubuhnya. Dan, sesuatu di tengah sana tampak ... menegak dengan jelas.

Darren buru-buru menangkupinya dengan dua tangan. “Jangan dilihat!” serunya panik.

Leana mendengus dingin. “Sudah ketiga kalinya. Saya pikir, Anda memang sengaja menunjukkannya.”

Tanpa menunggu diundang, Leana masuk begitu saja. Lagipula, hampir setiap hari dia berada di posisi seperti ini. Kalau bukan karena permintaan Kakek Liam, mana mau dia mengurus “bayi besar” bernama Darren ini.

Rumah itu berantakan luar biasa — pakaian berserakan, botol kosong di mana-mana, dan bau alkohol masih menggantung di udara.

“Aku hanya sedikit mabuk. Kau bisa tunggu di luar kalau tak tahan dengan baunya.” Darren membalas lesu sambil mengucek matanya.

“Ada paket untuk Anda,” ucap Leana dingin. Ia menyerahkan kotak persegi berhiaskan pita kecil di atasnya. “Kurir mengantarnya barusan.”

Darren mengerutkan alis. Tak ada nama pengirim, hanya alamat di bawahnya.

Siapa yang mau mengirim paket ke rumahnya?

Ia membuka kotak itu tanpa curiga. Namun begitu penutupnya terbuka—

Dia langsung mundur dengan ekspresi muak.

“Apa-apaan ini—!”

Darah. Di mana-mana.

Tubuh seorang pria tergolek di dalam kotak, dengan pisau menancap di dadanya. Luka sayat di leher, darah menggenang di dasar kotak—pemandangan itu begitu nyata hingga Darren nyaris muntah.

Beberapa detik kemudian barulah otaknya menangkap sesuatu yang janggal.

Ia mendekat perlahan, menatap lebih cermat.

Itu … kue?

Benar. Itu kue—kue yang dibentuk menyerupai adegan pembunuhan. “Darah” yang tadi ia lihat ternyata hanyalah krim merah tua yang kental dan mengilap seperti darah sungguhan.

“Gila …,” gumamnya pelan. “Siapa yang ngirim kue seperti ini?”

Tidak ada nama pengirim, tidak ada catatan di dalam kotak. Tapi di bagian bawah kardus, ada stiker alamat toko pembuatnya.

Dan toko itu—

“Eve?”

Jantung Darren berdegup lebih cepat.

Alamat itu adalah toko kue milik Eve—toko pertama yang berdiri di depan panti. Meskipun kini Eve sudah memiliki cabang di berbagai kota dan jarang turun tangan langsung, Darren masih mengenal alamat itu luar kepala.

Eve memang tak lagi mengurus tokonya secara langsung, sejak perusahaan iklannya dipindahkan Alex ke kota ini.

Tapi … jika benar kue ini datang dari sana, dia masih bisa meminta bantuannya.

Darren segera mencari ponselnya dan menghubungi wanita itu.

“Eve,” panggilnya cepat begitu sambungan tersambung.

“…”

“Kau di mana?”

“…”

“Bisakah kita bertemu? Di panti.”

“…”

“Ya, sekarang. Aku menunggumu di sana.”

Begitu mendapat konfirmasi, Darren menutup sambungan dan langsung bergegas. Ia sempat membereskan sedikit rumahnya sebelum keluar dengan setelan jas rapi, membawa kotak kue misterius itu di tangan.

“Leana.”

“Ya, Pak?”

“Apa kurir yang mengirim ini sempat menyebut nama pengirimnya?”

“Tidak. Dia langsung pergi setelah saya bilang akan menyerahkannya pada Anda. Ada masalah?”

“Tidak. Kau ke perusahaan dulu saja. Aku mungkin datang terlambat.”

Tanpa menunggu jawaban, Darren melangkah cepat menuju mobilnya.

⋯⋯

“Apa kau ada urusan?” tanya Celline begitu melihat wanita itu menatap ponselnya.

“Ya,” jawab Eve singkat. “Darren memintaku menemuinya di panti.”

“Kalau begitu pergilah. Aku bisa pulang sendiri nanti.”

“Kau yakin baik-baik saja?”

Celline tersenyum lembut, menggeleng pelan. “Tentu. Dan … terima kasih, karena kau sudah memindahkan makam Ayah ke sini.”

Eve menatapnya dalam, lalu berkata lirih, “Dia juga Ayahku, Celline. Jaga dirimu. Aku harus pergi.”

Sebenarnya Eve masih ingin menemani Celline lebih lama di sisi makam ayah mereka. Tapi panggilan dari Darren terasa terlalu mendadak dan tak biasa—apalagi ia tahu pria itu jarang sekali mau datang ke panti akhir-akhir ini.

Ia mempercepat laju mobilnya. Saat tiba di halaman panti, mobil Darren sudah ada di sana. Pria itu berdiri di luar, menyandar santai sambil mengapit rokok di sela jarinya.

Eve memperlambat mobilnya, lalu berhenti tepat di sebelah mobil Darren. “Kau menunggu lama?”

“Tidak, baru saja sampai,” jawab Darren sambil membuang rokoknya ke tanah dan menginjaknya. Bara di ujungnya bahkan belum sempat padam sepenuhnya. “Kau menyetir sendiri sekarang?”

“Ya. Aku harus membujuk Alex untuk itu,” jawab Eve sambil tersenyum tipis. “Rasanya terlalu merepotkan kalau harus diantar ke mana-mana.”

Darren menatapnya sejenak, lalu bertanya, “Jadi … apa aku baru saja mengacaukan jadwalmu?”

“Tidak juga. Aku memang berencana mampir ke sini. Kebetulan saja waktunya pas dengan ajakanmu. Ada apa?”

Darren menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Eve, aku butuh bantuanmu.”

“Katakan saja. Aku akan bantu kalau bisa.”

“Pagi tadi, aku menerima sebuah paket,” katanya dengan wajah menegang. “Awalnya kukira kiriman biasa. Tapi saat kubuka … itu kue, Eve. Kue yang dibentuk menyerupai adegan pembunuhan. Ada tubuh pria di dalamnya, pisau tertancap di dada, dan krim merah menyerupai darah. Nyata sekali—sampai aku hampir muntah.”

Eve terdiam, matanya sedikit membesar.

“Yang lebih gila,” lanjut Darren, “Kue itu dibuat di tokomu. Ada label alamat toko kue milikmu di kardusnya.”

Eve menatapnya lama. Suaranya pelan tapi tegas, “Aku rasa aku tak perlu melihatnya untuk tahu seberapa menyeramakan itu.”

“Ya. Kau punya koki yang luar biasa, tapi … kali ini itu menjadi sedikit mengerikan.” Darren mengembuskan napas berat. “Jadi, bisakah kau membantuku mencari tahu siapa yang memesan kue itu?”

“Bisa,” jawab Eve cepat. “Semua pesanan selalu dicatat—lengkap dengan nomor telepon pemesannya.”

Tanpa banyak bicara lagi, Eve mengajaknya pergi.

Setelah masalah dengan Shania, Eve kini hanya mempercayakan toko induk pada Irish. Ia jarang berkunjung ke sana, cukup menerima laporan rutin dari Irish setiap minggu.

Wanita itu segera menoleh dan tersenyum lebar. “Eve! Lama sekali tak melihatmu. Aku hampir mengira kau sudah lupa dengan toko ini.”

Eve membalas senyumannya lembut. “Aku juga senang melihatmu lagi.”

Irish sempat melirik ke arah Darren yang berdiri di samping Eve, lalu memberi sapaan singkat dengan senyum sopan.

“Aku kemari karena ada sesuatu yang perlu kucaritahu,” kata Eve kemudian. “Kau bisa membantuku mencari data pesanan seseorang di sini?”

“Kue dengan desain pembunuhan, kan?” Irish langsung menebak. “Ah, aku sudah menduga kalau pesanan itu akan menimbulkan masalah hari ini.”

“Kau mengingatnya?”

“Tentu saja,” jawab Irish cepat. “Itu pesanan paling aneh yang pernah aku terima. Suara seorang wanita. Ia bilang kue itu untuk temannya di kepolisian—sebagai ucapan selamat karena telah mengungkap kasus pembunuhan.”

Irish menatap mereka serius. “Awalnya aku menolak, karena desainnya terlalu ekstrem. Tapi dia bersikeras. Dia ingin semua tampak nyata, bahkan berkata, ‘buat darahnya seolah masih hangat.’”

Eve dan Darren saling pandang sejenak.

“Bisakah kau berikan aku nomor teleponnya?” tanya Eve.

“Tentu saja. Kau punya hak penuh di sini. Tunggu sebentar, aku ambilkan catatannya.”

Irish pergi ke ruang kerjanya dan kembali membawa buku catatan besar. Halamannya penuh tulisan rapi berisi nama pelanggan, nomor telepon, desain kue, alamat pengiriman, serta tanggal pesanan.

“Ini,” katanya sambil menunjuk salah satu baris. “Atas nama Laureen. Dia memesan kemarin sore dan bilang kurir akan mengambilnya pagi ini. Jadi kue itu sudah terkirim.”

Irish tidak tahu, penerimanya adalah Darren sendiri.

Darren mengambil buku catatan itu, menatap tulisan tangan Irish sejenak, lalu menyalin nomor telepon yang tertera. “Lauren,” gumamnya pelan. Nama itu membuat tengkuknya dingin. Seperti nama ibunya yang sudah meninggal. Tapi tentu, nama itu tidak hanya satu di dunia.

“Terima kasih, Irish. Kalian bisa lanjutkan pekerjaan kalian,” kata Eve sambil tersenyum. “Dan seperti biasa, jangan lupa bagikan kue yang tidak terjual ke panti nanti sore.”

“Tentu, Eve. Kami selalu melakukannya, seperti yang kau ajarkan.”

Darren sudah lebih dulu melangkah keluar. Begitu berada di luar, ia langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang baru didapat.

Nada sambung berdering … lalu terputus.

“Bagaimana?” tanya Eve.

“Tidak aktif,” Darren menjawab pendek. Rahangnya menegang. “Sepertinya orang itu memang sengaja ingin menerorku.”

Eve menatapnya lekat. “Lauren … siapa sebenarnya wanita ini? Apa kau mengenalnya? Namanya persis seperti ibumu.”

“Tidak. Tapi—bagaimana kalau seseorang sengaja memakai nama itu untuk memancingku?” Darren mengembuskan napas berat. “Selain Miranda, aku tak punya masalah dengan siapa pun. Dan dia masih di penjara, bukan?”

“Bagaimana kalau ternyata tidak?” balas Eve tenang tapi dingin. “Selain Miranda dan Leana, tak ada lagi wanita di sekitarmu. Leana tidak mungkin, tapi Miranda … dia bisa saja keluar dengan koneksinya. Kita juga tidak pernah memastikan sendiri kalau dia benar-benar masih di balik jeruji. Laporan bisa dengan mudah dimanipulasi.”

Darren mengangguk perlahan. Tatapannya tajam. “Kau benar. Kalau begitu, aku akan memastikannya sendiri.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!