Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
Raveena tersentak sadar dengan mata yang terbuka setengah. Tubuhnya terasa berat dan dingin. Saat mencoba menggerakkan tangan, ia sadar dirinya terbaring di atas permukaan keras yang dinginnya menusuk.
Pandangan matanya buram. Di langit yang kian menggelap menuju malam itu, ia mendengar langkah-langkah kaki yang begitu tergesa. Hingga suara beberapa orang berbicara dengan nada panik.
"Dia jatuh dari atas!" salah satu suara terdengar jelas.
"Hubungi ambulan sekarang!" sahut yang lain.
Raveena yang tengah kesakitan pun meringis seraya mencoba memahami. Siapa yang jatuh? Namun tubuhnya terlalu lemas untuk bertanya.
Suara-suara itu semakin ramai, tapi anehnya seperti makin jauh dari telinganya. Pandangan Raveena semakin gelap dan napasnya terasa berat.
"D-darah?" gumamnya saat mulai sadar dengan keadaan sekitar. Raveena menggerakkan tangan perlahan, namun tak bisa akibat tubuhnya terasa remuk.
"Bertahanlah! Ambulan sedang dalam perjalanan!" salah satu orang berbicara pada Raveena. "Padahal gedungnya begitu tinggi, ini adalah keajaiban!"
Raveena hanya mampu mengernyit bingung. "H-hah?"
Hingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
......................
Raveena terbangun dengan kepala berdenyut dan mulut kering seperti habis menenggak satu rak minuman keras.
Dengan enggan, ia membuka matanya perlahan. Pandangannya menangkap tirai tipis yang melambai pelan diterpa angin dari jendela besar. Langit-langit ruangan penuh ukiran gambar awan-awan yang terkesan aesthetic.
Raveena langsung terduduk.
"Apa-apaan ini?" bisiknya panik. Tangannya terselang dengan oksigen. Wanita itu melepas oksigen dari mulutnya. Hingga peralatan medis yang lengkap terdapat di sekitarnya.
Sekali lagi Raveena melirik sekeliling. Dinding berlapis marmer, seprai putih yang lagi-lagi bergambar langit biru dan awan putih. Sebuah meja dengan tumpukkan buku dan dokumen yang tertata, hingga terpampang sebuah cermin persegi panjang yang berdiri di dekat jendela.
Dengan langkah limbung, Raveena mendekat.
"ASTAGA! APA YANG TERJADI DENGANKU?!" teriaknya nyaring, memantul ke seluruh sudut ruangan.
Wajah yang terpampang di cermin bukan miliknya.
Kepalanya terperban dengan kain kasa. Rambut sebahu hitam legam yang wangi dan berkilau, mata abu-abu yang terlalu indah untuk manusia normal dan bibir merah muda yang tampak sehat alami.
Tangannya menyentuh pipinya sendiri. Bahkan ..., kini dirinya memiliki lesung pipi?
"Tidak, ini tidak mungkin! Siapa ini?!" paniknya. Raveena juga baru menyadari, bahwa suaranya menjadi lebih halus dan lembut.
"A ... aaaa?" ucapnya mengecek suara sendiri.
Raveena mundur selangkah, lalu mengangkat ujung piyamanya. Satu-satunya cara untuk membuktikan, adalah tahi lalat yang berada di bawah lututnya.
"Sial! Ke mana perginya tahi lalatku?!"
Jantung Raveena berdebar tidak karuan. Hingga rasa pening turut menyerangnya.
"Tidak. Ini konyol. Ada apa dengan diriku?" gumamnya. Sekali lagi Raveena menatap pantulannya di cermin. Sambil memikirkan yang tidak-tidak, ia menggeleng samar. "Apakah aku bermimpi?" lirihnya masih tak percaya.
Raveena mencubit pipinya sendiri. "A!" pekiknya. Entah kenapa, kini dadanya terasa sesak. Hingga air matanya terasa naik sampai memburamkan tatapannya. "A-apakah aku sudah mati? Apakah ... ini surga?"
"Nona Elira?! Nona sudah bangun?!" Raveena sontak menoleh. Tampak seorang wanita paruh baya berlari ke arahnya dengan ekspresi panik.
"Sial. Elira? Dia memanggil siapa?" panik Raveena dalam hati.
"Nona Elira?" panggil wanita itu lagi dengan tatapan tak percaya kala melihatnya. Raveena mematung syok, sampai memiringkan kepala saking bingungnya.
"A-aku Elira?" lirih Raveena tak percaya.
Wanita itu semakin menangis. Meski awalnya ia penuh tanya, karena luka-luka di tubuh Elira telah hilang hingga yang tersisa hanya kain kasa yang bersih di kepalanya. Namun di lubuk hatinya mengucap penuh syukur, karena sang majikan telah kembali seperti mendapat keajaiban dari Tuhan.
"Kau tak mengingatku juga? Ini Bibi, sayang. Bibi Ann," jelasnya pada Raveena. Wanita itu membelai rambutnya.
"Sebentar," batin Raveena panik. "SIAL! ANN? BUKANNYA DIA PELAYAN ELIRA DALAM NOVEL BODOH ITU?!"
"Semua orang merasa kehilanganmu." Ann menangkup pipi Raveena sendu. "Bibi mengerti, mungkin sekarang kau bingung karena mungkin kau hilang ingatan." Ann menunduk sambil menangis. "Tapi syukurlah sekarang kau terbangun, setelah satu bulan terbaring koma."
"Jadi aku sungguh berada di dalam novel? Lelucon macam apa ini?!"
"Kemarin, Arsen datang menjengukmu." Ucapan itu membuat mata Raveena membola.
"Lelaki brengsek itu?! Jadi aku benar-benar menjadi gadis naif itu?!"
"Namun ayahmu mengusirnya. Apakah Bibi jahat jika merasa bahagia dengan kondisimu yang sekarang? Karena kau juga tak ingat dengan lelaki itu, bukan?" tanya Ann lembut dengan tatap penuh harap.
Raveena terdiam, bingung harus menjawab apa. Ann pun mengangguk maklum, lalu tersenyum. "Bibi senang kau masih hidup. Tenang saja. Bibi akan membantumu mengembalikan ingatanmu, meski sebenarnya lebih baik begini, Nona," katanya seraya memeluk sosok yang ia anggap sebagai Elira.
Dalam dekap yang terasa asing itu, Raveena menjatuhkan kepalanya ke bahu Ann. Perasaan harunya tidak sama dengan wanita itu. Perasaan Raveena justru sesak karena mau tak mau, dirinya harus percaya, bahwa sekarang ia bukanlah lagi Raveena,
... melainkan Elira Maeven, gadis bodoh yang pernah ia sumpahi dengan penuh umpatan.
"Apakah ... ini kutukan?" Raveena merutuki dirinya sendiri. Ia merasa kena karma yang benar-benar tidak masuk akal.
"Cih. Baiklah. Jika takdir ini benar-benar mempermainkan hidupku, aku akan dengan tegar melawannya!"
Raveena mengeratkan pelukan sambil tersenyum licik.
"SIALAN!!!"