NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 15: Dua Bom Waktu

Selina beberapa kali mengguling-gulingkan tubuhnya di kasur. Kamarnya sudah gelap dan hanya terdengar detak jarum jam dinding yang menunjukkan sudah pukul satu dini hari, tapi matanya sama sekali tidak bisa terpejam. Adegan di restoran hotel tadi terus berputar di kepalanya.

Bukan tentang Vikram—well, mungkin sedikit tentang Vikram.

Tapi lebih banyak tentang dosennya—Baskara.

Cara dia bicara saat itu terlalu berbeda, bukan yang santai ala dosen yang suka melontarkan candaan di kelas. Suaranya lebih berat, lebih serius, dan penuh misteri.

Selina mendengus resah. Bayangan tato samar ditambah memergoki Baskara sedang “meeting” dengan seseorang yang terdengar sangat rahasia—membuat potongan puzzel itu memenuhi kepalanya.

Atau… jangan-jangan Baskara adalah gengster? Atau… lebih parah lagi, dia aslinya penyeludup barang ilegal?

Baru saja dia memecahkan misteri tentang bar Leonhard yang ternyata hanya fasad untuk balapan ilegal, pikirannya ditambah misteri tentang dosennya itu. Sangat diluar dugaan.

“Ini apa sih… kok gua dikelilingi orang misterius dalam waktu yang sama?” gumam Selina menatap langit-langit kamar seperti jawabannya ada di sana.

Semua terasa terlalu kebetulan. Leonhard dengan dunia bawah tanahnya. Baskara dengan sisinya yang misterius. Selina tanpa sadar terjebak dalam tengah pusaran itu.

Selina berteriak di atas bantal agar tidak mengganggu kediaman kosnya. Menukulkan bantak itu ke wajahnya.

“Gatel banget mulut gua pengen cerita, tapi… gua gak yakin bakal aman.”

Dia menendang selimut dan melempar bantal tadi ke lantai. Dia duduk tegak di kasur. Tangannya mengambil ponsel di meja samping, lalu mencabutnya dari bakel cas-an. Rasanya ingin sekali mengetik panjang lebar di chat, atau setidaknya menelepon seseorang. Pilihannya hanya Megan atau Tessa.

“Anjir… tapi kenapa harus gua rahasiain ya… oke kalo soal Leonhard masih make sense—pak Baskara? I mean… banyak juga mahasiswa yang gossipin dosen… kan?”

Selina sudah hampir gila dengan monolognya sendiri yang tidak jelas jawabannya.

Bunyi notifikasi chat membuyarkan lamunannya, tapi dia buru-buru mematikan ponselnya—takut kebablasan. Sekarang, tidak ada pesan yang aman untuk dibaca. Tidak ada obrolan yang aman juga untuk dimuali.

Bayangan Leonhard dan Baskara terus berputar di kepalanya. Dunia yang ssegarusnya tidak bersangkutan, tapi terasa seperti bom yang kapan saja bisa meledak.

Selina memutuskan untuk memaksa pikirannya tidur. Besok pagi dia ada kelas.

Selina memeluk bantalnya lebih erat, mencoba melelapkan dirinya ke dunia mimpi. Tapi semakin dipaksa, matanya semakin segar. Rasa kantuk pun menghilang.

Jam dinding berdetik tanpa henti. Selina menatap langit-langit dengan suara kepalanya yang penuh. Dengan satu sentuhan, Selina bisa meledak.

Sampai akhirnya cahaya pagi menyelinap lewat celah gorden. Dapur kosan sudah mulai ribut dengan orang-orang yang memasak sarapan. Selina mengerjap pelan, tubuhnya sedikit kaku karena berbaring terlalu lama tapi tidak tidur.

Kepala yang terasa berat adalah bukti nyata kalau semalam dia tidak tidur.

“Oh, wish me luck untuk gak passed out lagi hari ini,” gumama Selina pda dirinya, lalu bergegas menyegarkan diri.

***

Kantin fakultas sudah penuh dengan riuh mahasiswa. Selina duduk di pojok meja dekat jendela, dagu nyaris nempel ke tangan, matanya setengah terbuka. Bahkan kopi yang tinggal setengah tidak mempan. Rambutnya hanya digulung jedai—yang biasanya ditata rapi. Outfit hari ini juga hanya baggy jeans dan hoodie abu-abu. Wjahnya juga hanya dipoles makeup tipis untuk menutupi muka zombie-nya.

Selina sesekali menguap sambil menunggu Megan. “Tai lah… kenapa ngantuknya sekarang,” desah Selina.

Jam di ponselnya sudah munjukkan lewat lima menit dari jam janji. Megan belum keliatan juga. Matanya hampir tepejam ketika suara cempreng khas milik Megan terdengar dari pintu kantin yang membuat beberapa pengunjung melirik ke arahnya.

“Selina\~” sapanya seperti nada bernyanyi. Selina otomatis meringis, refleks menunduk karena malu. Sementara itu, Megan melambai heboh dengan tote bag setengah terbuka dan wajah yang cerah.

Megan pun nyelonong duduk di depan Selina. “Sumpah. Sorry banget… gua tadi lupa cabut magic com jadi harus balik lagi, padahal udah setengah jalan,” ujarnya merasa bersalah.

Selina hanya memandang dengan mata setengah terbuka dan malas untuk mengangkat kepalanya.

Megan menghela nafas berat. “Hari-hari… tiap ketemu gua muka lo pasti kecut banget. Kenapa dah? Eh—gua gak mau alasan bullshit lo itu lagi ya,” celoteh Megan sambil mencubit pipi Selina.

Selina meringis sambil mengusap pipinya, tapi masih berpikir… haruskah dia cerita tentang Baskara?

Akhirnya setelah mengambil nafas panjang, Selina memutuskan. “Gua… ada sesuatu yang harus gua ceritain. Soalnya—f*ck man, gua udah gak kuat lagi.” Selina mencondongkan tubuhnya ke depan Megan sambil sedikit berbisik.

“Jangan nakut-nakutin!” balas Megan, tanpa di suruh dia pindak duduk di sebelah Selina. “Cerita.”

“I think… ada sesuatu tentang pak Baskara,” bisik Selina, matanya melirik ke kanan dan kiri untuk antisipasi.

Megan menepuk tangannya pelan. “You noticed it too? Oh, girl. Lo gak tau seberat apa gua mau ngomongin ini,” ujar Megan yang membuat Selina kelabakan.

Megan tahu?

“Bentar. Lo tau sesuatu juga?” tanya Selina bingung.

“Hello. Siapa yang gak liat sih… the way he looks at you? Sel, i think ya… dia suka sama lo.”

Selina hampir tersedak ludahnya sendiri. Matanya melotot, lalu memukul lengan Megan pelan.

“Meg! That’s not it. Bukan itu anjir. Ada yang lebih serius,” ujar Selina sedikit mendesak Megan.

Megan mengangkat kedua alisnya. “Maksud lo? Hah—bentar… topik kita beda nih?”

“Banget. Dengerin gua—si… Baskara itu, gua rasa dia bukan dosen biasa,” bisik Selina, benar-bentar tidak bersuara.

Megan mengibas rambutnya ke belakang, tatapannya semakin dalam. Rasa penasaran dan bingung bercampur jadi satu.

“Wait—” Megan mengangkat jari telunjuknya tepat di depan wajah Selina. “—ini lo lagi gak ngelantur kan?” imbuh Megan menatap mata Selina.

Selina membenarkan posisi duduknya, menyerong ke arah Megan. “Seriusan. Gua kemarin diajak dinner di Hotel Hamilton sama Vikram, nah… gak sengaja gua ketemu pak Baskara lagi meeting sama orang. Gua gak sengaja nguping—no, gua sengaja—sumpah Meg… pembahasan mereka kayak lagi ngurusin bisnis ilegal,” ujar Selina panjang lebar. Megan hanya bisa melongo saat menerima informasi tersebut.

Megan akhirnya menutup mulutnya dengan tangan. “So… you’re sayaing… dosen favorit satu angkatan kita kemungkinan mafia?” bisiknya, setengah panik, setengah excited.

Selina menegakkan tubuhnya, melirik sekitar mereka memastikan situasi aman.

“I’m not saying he is a mafia, tapi… pasti ada sesuatu di balik branding dia itu. Percakapan mereka tuh sama sekali jauh dari bidang akademis, Meg. Dosen mana yang ngomongin pertandingan berjalan lancar, jangan sampe bocor—kayak instruksi anjir. Macem film kriminal. Oh! lo harus tau kayaknya dia ada tato di tangannya. Makanya selalu pake kemeja tangan panjang.”

“Hah?!” Suara Megan otomatis naik satu oktaf, membuat beberapa mahasiswa di meja lain menengok. Selina buru-buru membekap mulutnya.

“Shhh! Jangan keras-keras!” bisik Selina panik.

Megan menepis tangan Selina dari mulutnya. Matanya semakin membesar, ekspresi di wajahnya bercampur antara shock dan excited.

“Selina, lo keterlaluan sih… nyimpen berita ini dari gua,” protes Megan.

“Sorry… gua dilema banget. Oh—please jangan kasih tau siapa-siapa, termasuk Tessa…” kata Selina memohon.

“Kenapa jangan kasib tau Tessa?” tanya Megan.

“Ya… nanti aja kalau udah terbukti. Gua yang cerita sendiri.”

Megan menyipitkan matanya. “Sumpah… gua benci banget kalo lo udah sok misterius gini.” Dia langsung menyandarkan tubuhnya dan melipat tangan di dada. “Fine. Tapi lo jangan ingkar janji.”

Selina mengangkat dua jari, sumpah ala-ala. “Tenang… lo duluan yang bakal gua kabarin.”

Megan tiba-tiba terdiam, sebelum menjatuhkan bom pertanyaan lagi. “Wait a damn minute. Hah? Lo dinner sama Vikram?!” jerit Megan pelan sehingga suaranya sedikit melengking.

Selina menutup wahanya dengan telapak tangan, kemudian memijat batang hidungnya.

“Gua kejebak. Dia maksa banget sumpah…”

Megan menatap Selina dan mengangguk setuju. “Gua sebenernya gak suka sama dia… cuma gara-gara dia temen Tessa aja…” pungkas Megan.

Selina menoleh cepat ke arahnya, mereka saling tatap seperti memiliki sinyal yang sama.

“Lo juga?” tanya Megan.

Selina hanya mengangguk sambil memejamkan matanya sebentar. Benar. Dia tidak bisa menolak karena Vikram salah satu teman dekatnya Tessa.

Megan mendekat lagi, suaranya sedikit diturunkan. “Better hati-hati gak sih, Sel. Vibe dia off banget. Feelinh gua gak enak.”

Selina merengek, menepuk-nepuk pelan pipinya. “Ini karma gua kah? Perasaan hidup gua jadi ruwet banget.”

Megan menatapnya, lalu berkata dengan tegas. “Dia cowok yang nongol di hidup lo: satu dosen yang mungkin mafia, satu lagi anomali yang shady as f*ck. Congrats, Sel. Lo main di dua bom waktu sekaligus.”

Selina terdiam, menatap kosong pintu kantin, dan perutnya mendadak melilit ketika Baskara berjalan masuk kantin itu.

Selina refleks menegakkan duduknya, sementara Megan dengan cepat mengikuti arah pandangannya.

“Holy f*cking sh*t…” bisik Megan, mulutnya setengah terbuka.

Baskara berjalan santai melewati kerumunan mahasiswa, wajahnya tenang seperti biasa. Namun, tepat sebelum dia sampai di meja kosong di depannya, langkahnya melambat.

Kepalanya menoleh sedikit, sekilas menengok ke arah Selina.

Tidak ada senyum, tidak ada anggukan. Tatapannya… tidak bisa dideskripsikan.

Selina menahan nafas. Tubuhnya kaku dan jangungnya terasa berhenti sekilas.

Kemudian Baskara duduk di kursi kosang, dan menaruh tas laptopnya di atas meja seperti tidak terjadi apa-apa.

“Sel…” Megan memegang lengan Selina, matanga masih memandangi Baskara diam-diam. “Dia… barusan liat ke arah lo gak sih? Tapi… anjir baru kali ini gua liat ekspresi itu.”

Selina mengangguk, mengalihkan pandangannya dari Baskara. Memandang gelas setengah kosong di depannya.

“Meg… lo ngerti kan sekarang apa yang gua maksud dari sisi lain dia…?”

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!