Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Di Jalanan
Kabut tipis turun lebih cepat dari biasanya sore itu. Matahari masih menggantung di langit, tapi cahayanya seakan ditelan oleh tirai abu yang merayap dari selokan, gang-gang sempit, dan atap-atap rumah reyot di kota bawah. Orang-orang menutup jendela dengan papan, menyalakan obor, berusaha menyingkirkan ketakutan yang menempel di kulit mereka.
Di gudang tua yang jadi tempat persembunyian, Edrick duduk dengan wajah tegang. Ashenlight tergeletak di pangkuannya, tenang, seolah menunggu keputusan.
“Bisikan sudah terlalu jauh,” kata Darius, berjalan mondar-mandir. “Setengah kota menganggapmu penyelamat. Setengahnya lagi menganggapmu kutukan. Tidak ada yang netral lagi.”
Lyra menggenggam lututnya, matanya cemas. “Aku dengar orang-orang di pasar bersiap turun malam ini. Mereka bilang mereka akan ‘mengusir api biru sebelum kabut menelannya’. Itu artinya mereka datang untuk kita.”
Selene menatap Edrick. “Kalau kau keluar dan mencoba menenangkan mereka, kau mungkin bisa menghentikan pertumpahan darah. Tapi kalau kau salah langkah…”
“…darah akan mengalir lebih deras,” Edrick menyelesaikan kalimatnya sendiri.
---
Mereka keluar sebelum malam sepenuhnya turun. Pasar bawah sudah dipenuhi orang. Obor-obor menyala, wajah-wajah memerah oleh amarah, ketakutan, atau keduanya.
Di satu sisi lapangan pasar, kelompok yang mendukung Edrick berdiri. Mereka kebanyakan miskin, buruh pelabuhan, dan pengungsi desa yang pernah melihat kabut sendiri. Mereka membawa peralatan seadanya—cangkul, kapak kayu, besi karatan.
Di sisi lain, massa yang menentangnya lebih teratur. Mereka dipimpin oleh seorang pria dengan suara lantang, mulutnya tak henti mengumbar racun. “Lihatlah! Pedang biru itu tidak membawa keselamatan! Ia membawa kebakaran, ia membawa kematian! Usir dia, sebelum kabut menyusup lewat darahnya!”
Sorak-sorai menjawab. Obor dilempar, teriakan menggema. Udara dipenuhi bau alkohol, keringat, dan ketegangan yang bisa meledak kapan saja.
---
Edrick maju ke tengah lapangan, tudungnya disibakkan. Sorak-sorai langsung bergemuruh. Beberapa orang mundur ketakutan, sebagian lain maju dengan marah.
“Aku tidak datang untuk melawan kalian,” katanya keras, suaranya menembus keributan. “Aku datang untuk melawan kabut. Tapi kalau kalian memilih menganggapku musuh, maka kabut tidak perlu menyerang. Kalian sendiri yang akan saling membunuh.”
Kerumunan bergetar. Beberapa wajah ragu, tapi pria lantang tadi mengangkat obor dan berteriak, “Jangan dengarkan! Kata-katanya manis, tapi apinya memakan anak-anak kita! Ia akan menghancurkan kota kita dari dalam!”
Obor dilempar. Api menyambar gerobak tua, nyala membesar. Jeritan pertama terdengar.
Dan dalam sekejap, jalan berubah jadi medan perang.
---
Besi karatan beradu dengan kayu patah. Batu beterbangan. Obor menghantam dinding rumah, menyalakan api. Anak-anak berteriak, wanita menarik suami mereka, tapi amarah sudah terlalu liar untuk dikendalikan.
Edrick terjebak di tengah kekacauan. Ia berusaha menahan Ashenlight tetap tersarung. “Kalau aku menariknya… mereka akan semakin yakin aku kutukan…” pikirnya. Tapi setiap kali ia menahan diri, orang-orang di sekitarnya semakin terdesak.
Lyra hampir dipukul batu ketika Selene menariknya ke belakang. “Kita tidak bisa bertahan lama!” teriaknya.
Darius sudah berada di garis depan, memukul mundur beberapa pria dengan tongkat besi. “Kalau kau tidak mengeluarkan pedang itu, kita semua akan mati, Edrick!”
Keraguan memukul dadanya. Tapi ketika ia melihat seorang anak kecil terhuyung di tengah lapangan, hampir diinjak-injak kerumunan, ia tak punya pilihan lagi.
Ashenlight keluar dari sarungnya. Api biru menyembur.
---
Cahaya biru memotong kegelapan. Kerumunan terdiam sekejap, lalu terbelah: sebagian mundur ketakutan, sebagian maju dengan amarah yang lebih besar.
Edrick mengayunkan pedang, bukan untuk membunuh, tapi untuk menahan. Gelombang api biru membentuk dinding, mencegah dua sisi massa saling menerjang.
“Tinggalkan tempat ini!” suaranya bergema. “Kabut adalah musuh kita, bukan satu sama lain!”
Tapi kata-katanya kalah oleh ketakutan. Dari balik kerumunan, panah terlepas. Panah itu melesat, menembus dinding api, dan menghantam dada seorang pria muda di barisan depan yang mendukung Edrick.
Pria itu jatuh. Darahnya membasahi tanah.
Kerumunan mendidih. Jeritan “pembunuh!” terdengar. Api biru beradu dengan api obor, dan lapangan berubah menjadi neraka terbuka.
---
Di tengah kekacauan, kabut tiba-tiba menebal. Lebih pekat, lebih cepat. Jeritan berubah panik ketika sosok-sosok hitam mulai muncul dari balik asap. Bayangan, tertarik oleh amarah dan darah.
“Tidak… tidak malam ini!” Edrick meraung. Ia mengayunkan Ashenlight, cahaya biru meledak, membakar kabut. Tapi kabut terus datang, lebih banyak, lebih berani.
Sekarang rakyat yang tadi saling menyerang terpaksa mundur bersama. Musuh baru sudah tiba, dan kali ini, tidak ada kata-kata yang bisa menghentikan.
---
Pertempuran berubah arah. Pedang dan obor yang tadinya saling menyerang kini terhunus ke kabut. Tapi bayangan tidak kenal belas kasihan. Mereka menelan orang dari kedua sisi tanpa pandang bulu.
Selene menebas dengan pisau, Lyra menolong anak-anak bersembunyi di balik gerobak. Darius berjuang keras, wajahnya dipenuhi darah, entah miliknya atau orang lain.
Edrick memimpin di garis depan, cahaya birunya jadi satu-satunya alasan kabut belum menelan semuanya. Tapi setiap kali ia menyalakan api, ia mendengar bisikan di kepalanya:
Api ini bukan milikmu. Api ini lapar. Biarkan ia makan, atau ia akan memakanmu.
Ia mengabaikan suara itu, menebas lagi, lagi, sampai tanah pasar basah oleh campuran darah merah dan abu hitam.
---
Akhirnya, menjelang fajar, kabut mundur. Bayangan terakhir lenyap, meninggalkan puluhan mayat berserakan di lapangan pasar. Api masih menyala di beberapa rumah. Tangisan memenuhi udara.
Edrick berdiri di tengah puing, tubuhnya gemetar. Ashenlight bergetar di tangannya, cahaya biru meredup perlahan.
Rakyat menatapnya dengan wajah berlumuran darah dan air mata. Tidak ada sorak-sorai. Tidak ada ucapan terima kasih. Hanya tatapan kosong, antara takut dan putus asa.
“Berapa banyak lagi…” gumam Edrick, hampir tak terdengar. “Berapa banyak lagi yang harus mati sebelum mereka percaya aku bukan musuh mereka?”
Darius menaruh tangan di bahunya, tapi tidak menjawab. Karena bahkan ia pun tidak tahu jawabannya.
Dan di atas menara emas, Lady Corvane mendengarkan laporan dengan senyum puas. “Bagus,” katanya. “Biarkan jalanan minum darah. Biarkan rakyat percaya bahwa setiap kali pedang biru terhunus, kematian menyusul. Pada akhirnya, mereka sendiri yang akan menyerahkan anak Hale padaku.”