NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Jejak Ke Blackridge~

Perjalanan menuju Blackridge dimulai sebelum matahari tenggelam. Edrick berjalan di depan, Ashenlight tergantung di punggungnya. Di belakangnya, Selene, Darius, dan Mira mengawal para pengungsi Highridge yang membawa barang seadanya di kereta tua. Jalanan berbatu menuju utara dipenuhi bekas roda kereta dan jejak kuda, tanda bahwa pasukan Garrick pernah melintas.

“Kalau Garrick tahu kita menuju Blackridge, dia akan menutup semua jalan,” kata Mira, matanya menyapu cakrawala.

“Dia tidak tahu rute yang kita ambil,” jawab Darius. “Tapi dia cukup cerdas untuk menebak.”

Selene menoleh ke Edrick. “Kita butuh rencana jika dia memblokade jalur utama.”

Edrick berhenti sejenak, memandang peta kecil yang digambar tergesa-gesa oleh pria tua Highridge. “Ada jalan memutar melalui hutan karang di sebelah timur. Jalur itu lebih lambat, tapi mungkin aman.”

“Lebih lambat berarti lebih lama bagi pasukan Garrick untuk menemukan kita,” sahut Mira, tidak terlalu optimis.

“Lebih lama juga berarti lebih sedikit korban di antara pengungsi,” balas Edrick tegas. “Kita tidak bisa mengambil risiko.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Hening menyelimuti kelompok, hanya suara roda kereta berderit dan langkah kaki di atas batu. Anak-anak yang kelelahan tertidur di pelukan ibu mereka, sementara beberapa pria tetap waspada, pedang tua di tangan.

Saat senja merayap, mereka tiba di dataran rendah yang mengarah ke lembah sempit. Tiba-tiba, Mira mengangkat tangannya, memberi tanda berhenti.

“Ada sesuatu,” bisiknya.

Semua menahan napas. Dari balik bebatuan, suara logam beradu terdengar samar. Darius melangkah ke depan, memandang ke arah suara.

“Pasukan Garrick?” tanya Selene pelan.

Mira mengintai dari balik semak. “Tidak. Terlalu sedikit. Mungkin bandit.”

Edrick menggeram. “Bagus. Tepat yang kita butuhkan.”

Mereka menyuruh para pengungsi menunggu di balik batu besar. Edrick, Darius, Selene, dan Mira mendekat dengan langkah ringan. Begitu mereka mencapai puncak bukit kecil, mereka melihat tiga pria bersenjata sedang memeriksa mayat prajurit Garrick.

“Bandit,” Mira berbisik. “Mereka menjarah.”

Salah satu bandit mengangkat helm Garrick dan menatapnya dengan jijik. “Raja-raja bodoh ini membiarkan Averland terbakar. Kita yang memungut sisa.”

Darius menatap Edrick. “Kita singkirkan mereka atau biarkan saja?”

“Kita singkirkan,” jawab Edrick cepat. “Jika mereka menemukan pengungsi, mereka tidak akan ragu menyerang.”

Selene menghunus pedangnya. “Baik. Cepat dan sunyi.”

Mereka menyusup ke bawah bayangan malam. Darius bergerak ke kiri, Mira memutar dari kanan, sementara Edrick dan Selene maju lurus. Dalam hitungan detik, mereka menerkam.

Bandit pertama tidak sempat bereaksi sebelum pedang Darius menembus punggungnya. Bandit kedua mencoba menarik busur, tetapi Mira menembak lebih cepat. Anak panahnya menancap di tenggorokan pria itu.

Bandit ketiga berusaha melarikan diri, tetapi Edrick menahannya dengan ujung Ashenlight. Cahaya bilah itu membuat pria itu membeku.

“Pergi, dan beri tahu teman-temanmu,” kata Edrick dingin. “Kau ceritakan pada mereka bahwa jalan ini dijaga.”

Bandit itu mengangguk cepat, lalu melarikan diri ke kegelapan.

Selene mendekati mayat prajurit Garrick. “Lihat ini.” Ia mengangkat sebuah medali. “Pasukan Garrick bergerak lebih cepat dari yang kita kira.”

Edrick menatap ke utara. “Blackridge tidak akan aman jika dia sudah mengirim orang ke sini. Kita harus mempercepat langkah.”

---

Mereka kembali ke pengungsi setelah memastikan area aman. Warga Highridge menatap mereka dengan wajah lelah dan ketakutan. Beberapa anak menempel di sisi kereta, sementara pria tua desa menunggu kabar.

“Sudah aman?” tanya pria tua itu.

“Untuk sekarang,” jawab Edrick. “Tapi kita tidak bisa berlama-lama.”

Kereta bergerak lagi, roda kayunya berderit keras. Jalanan menuju Blackridge semakin curam. Darius berjalan di sisi kanan, matanya terus memantau tebing-tebing di atas. Selene memimpin di depan bersama Edrick, sementara Mira menjaga belakang.

“Edrick,” kata Selene pelan, “kita butuh lebih dari sekadar Blackridge. Pedang ini…” dia melirik Ashenlight di punggung Edrick, “…tidak akan cukup jika Garrick memiliki ribuan pasukan.”

“Kita temukan dulu apa yang tersisa di Blackridge,” balas Edrick. “Benteng itu mungkin menyimpan lebih dari sekadar catatan.”

Mira yang berjalan di belakang ikut menyela, “Legenda mengatakan Blackridge pernah menyimpan senjata-senjata kuno. Kalau beruntung, mungkin ada sesuatu yang bisa membantu kita.”

Mereka berjalan terus, matahari mulai tenggelam. Udara semakin dingin dan angin membawa bau asap tipis—tanda bahwa desa atau kamp lain mungkin telah dihancurkan di dekat situ.

Tiba-tiba, seorang anak kecil yang duduk di kereta menangis keras. Suara itu menggema di lembah sempit. Edrick berhenti dan memberi isyarat. Semua terdiam.

Darius mengangkat tangannya, mendengarkan. Dari kejauhan, suara kuda terdengar samar. Mira memanjat batu besar untuk mengintai.

“Pasukan,” bisiknya dari atas. “Tiga penunggang kuda. Mereka bergerak cepat, kemungkinan prajurit Garrick.”

Edrick cepat memberi perintah. “Kita tidak bisa melawan mereka dengan pengungsi di sini. Sembunyikan kereta di balik bebatuan. Tutupi api unggun.”

Dengan sigap, Selene dan Darius membantu mendorong kereta keluar dari jalan utama ke balik bebatuan besar. Mira menyiapkan busurnya, anak panah sudah ditarik setengah. Edrick berdiri di tepi jalan, Ashenlight siap digunakan.

Tiga penunggang kuda muncul di tikungan. Mereka mengenakan baju zirah hitam, lambang Garrick berkilau di dada mereka. Mereka tidak langsung melihat kelompok Edrick, tetapi jelas sedang mencari sesuatu.

“Berhenti,” bisik Edrick pada Mira dan Darius. “Biarkan mereka lewat jika mereka tidak curiga.”

Namun, salah satu penunggang memperlambat kudanya dan menoleh ke arah bebatuan. Dia turun, memeriksa tanah. “Jejak roda. Mereka lewat sini.”

Prajurit kedua menoleh. “Kau yakin?”

“Posisi roda masih baru,” jawabnya.

Edrick menyadari mereka tidak punya pilihan. Dia memberi isyarat pada Mira. Tanpa ragu, Mira melepaskan panah. Anak panah itu menembus leher prajurit yang turun. Dua penunggang lain langsung menarik pedang dan maju.

Darius melompat keluar dari persembunyian dan menebas kuda pertama, membuat penunggangnya terjatuh. Selene melangkah maju, menahan serangan prajurit terakhir. Benturan logam menggema di lembah.

Edrick maju dengan Ashenlight. Bilahnya bercahaya saat menghantam pedang lawan. Dalam dua gerakan cepat, dia melucuti senjata prajurit itu dan menebasnya.

Darius menahan prajurit yang jatuh, memukul kepalanya hingga pingsan. “Kita tidak bisa membiarkan mereka melapor,” katanya dingin, lalu menyelesaikan prajurit itu.

Selene menghela napas. “Sekarang Garrick pasti tahu kita di jalur ini.”

“Kita tetap bergerak,” kata Edrick. “Kita tidak bisa kembali.”

Mereka menutupi mayat-mayat dengan batu dan melanjutkan perjalanan, kali ini lebih cepat. Matahari benar-benar tenggelam, dan bintang-bintang mulai muncul di langit Averland.

---

Malam sepenuhnya menelan lembah saat rombongan melanjutkan perjalanan. Hanya cahaya samar bulan yang menyoroti jalan berbatu. Angin malam membawa suara-suara aneh dari hutan: lolongan serigala, derak ranting, dan kadang gemerincing logam entah dari mana.

Edrick berjalan di depan, matanya menyesuaikan dengan kegelapan. Darius berada di sisi kanan pengungsi, menjaga tepi jalan, sedangkan Mira dan Selene bergantian memantau belakang.

“Semakin kita mendekati Blackridge, semakin aku tidak suka suasananya,” gumam Mira, suaranya nyaris tak terdengar.

“Garrick mungkin sudah menempatkan mata-mata di sekitar sini,” jawab Darius datar. “Kita harus bertindak seolah mereka tahu persis gerakan kita.”

Selene memandang Edrick. “Berapa jauh lagi?”

Edrick membuka peta lusuh yang diterimanya dari pria tua Highridge. “Jika kita terus berjalan tanpa berhenti, mungkin dua hari lagi. Tapi dengan pengungsi…” Ia menoleh ke kereta tua yang berderit membawa yang terluka. “…mungkin tiga atau empat hari.”

Mira mendesah. “Itu terlalu lama.”

Seorang wanita muda dari pengungsi menghampiri. Wajahnya letih, tetapi matanya penuh tekad. “Kami bisa mempercepat langkah. Jangan khawatirkan kami. Kami tidak ingin menjadi beban.”

Edrick menatapnya dan mengangguk. “Kalian sudah cukup menderita. Tapi jangan memaksa diri kalian. Kita tidak ingin kehilangan siapa pun di jalan ini.”

Rombongan berhenti sebentar di sebuah dataran kecil untuk beristirahat. Api unggun kecil dinyalakan, cukup untuk memberi kehangatan tanpa menarik perhatian. Darius memeriksa pedangnya, memastikan bilahnya masih tajam. Mira membersihkan anak panahnya. Selene duduk di samping Edrick, keduanya memandang ke arah utara.

“Kau benar-benar percaya Blackridge akan memberi kita keunggulan?” tanya Selene.

Edrick mengangguk pelan. “Benteng itu dulu tempat para Penjaga Kerajaan menyimpan rahasia. Jika ada sesuatu yang bisa menghentikan Garrick, itu ada di sana.”

“Dan jika tidak ada?” Selene menatapnya serius.

“Kalau begitu…” Edrick menghela napas. “…kita mencari cara lain. Tapi kita tidak bisa berhenti sekarang.”

Mira, yang mendengar percakapan itu, mendekat. “Aku harap kau benar. Karena Garrick tidak akan berhenti hanya karena kita menemukan tempat persembunyian baru.”

Tiba-tiba, suara ranting patah membuat mereka semua terdiam. Darius berdiri, pedangnya terhunus. “Itu bukan hewan kecil.”

Mira segera mengambil busurnya dan mengarahkan anak panah ke arah suara. Dari balik pepohonan, dua sosok muncul. Mereka bukan prajurit Garrick. Jubah mereka lusuh, wajahnya tertutup debu perjalanan.

“Kami bukan musuh!” salah satu dari mereka berseru, tangannya diangkat. “Kami melarikan diri dari desa Hollowfen. Garrick menghancurkannya!”

Edrick menurunkan sedikit pedangnya, tetapi tetap waspada. “Buktikan.”

Pria itu mengeluarkan lencana kecil dari dalam jubahnya, simbol desa Hollowfen. “Kami tidak punya tempat lain.”

Selene mendekat, memeriksa lencana itu, dan mengangguk pada Edrick. “Itu asli.”

Edrick memberi isyarat pada pengungsi untuk memberi ruang. “Kalian bisa ikut kami ke Blackridge. Tapi kalian harus membantu menjaga kelompok ini.”

“Kami akan membantu,” jawab pria itu. “Apa saja untuk bertahan hidup.”

Rombongan kembali bergerak. Tambahan dua orang itu memperbesar jumlah mereka, tetapi juga menambah resiko. Sepanjang malam, mereka terus berjalan.

Saat fajar mendekat, mereka tiba di tepi hutan karang. Pohon-pohon raksasa menjulang, ranting-rantingnya membentuk lengkungan gelap di atas jalan setapak. Udara di sana dingin dan berat, seolah menyimpan rahasia kuno.

Edrick berhenti dan menoleh pada semua orang. “Mulai dari sini, kita tidak tahu apa yang menunggu. Tetap bersama. Jangan berpencar.”

Mira menarik napas panjang. “Blackridge lebih dekat, tapi perjalanan ini baru saja berubah menjadi lebih berbahaya.”

Mereka melangkah masuk ke hutan karang, bayangan pepohonan menelan cahaya pagi. Di sana, jalan menuju Blackridge dan rahasia Ashenlight akan membawa mereka ke takdir yang lebih besar—atau ke kehancuran.

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!