"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia yang Jatuh Cinta Pada Seni
Hawa dingin menjadi salah satu tanda bahwa semester baru akan segera di mulai. Berbagai wajah yang datang dari daerah masing-masing tampak tumpang tindih di kota ini. Sementara penduduk aslinya tenggelam di balik padatnya perantau.
Titik koordinat Kayutangan menjadi tempat yang Sewindu pilih. Titik lokasi yang setidaknya sedikit menekan keinginannya untuk pergi ke Jogja. Katanya, jalanan ini mirip dengan Malioboro yang ada di Jogja.
Duduk menempel pada dinding, Sewindu dapat melihat betapa ramainya jalanan di luar sana. Suasana yang tak lagi asing di malam menuju akhir pekan.
Dari banyaknya manusia yang berpasang-pasangan di sana, Sewindu nyaman menyendiri di ujung café. Bersama buku sketsa kecil dan segelas iced matcha green tea andalannya.
“Aku kira kamu nggak akan datang,” ucap suara yang tak terlalu lantang, namun Sewindu masih dapat mendengarnya dengan jelas di tengah keramaian.
Gerak tangannya yang baru membuat sketsa kecil itu terhenti. Sewindu mendongak dan menemukan seorang pemuda yang berdiri di hadapannya. Segaris senyuman tampil sebagai bentuk sapaan.
Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Sewindu. Dari tas ransel yang bergelayut di salah satu bahunya dan kemeja yang kancing teratasnya dibiarkan terbuka, sudah pasti dia baru menyelesaikan pekerjaannya sebagai barista paruh waktu di tempat ini.
Sewindu menutup buku sketsanya — mengurungkan niatnya untuk menggambar malam ini. “Aku kira kakak udah pulang,” sahutnya masih dengan senyuman.
Daffa — nama pemuda itu. Dia melongok pada buku sketsa Sewindu yang sudah kembali rebah dengan nyaman di dalam tas. “Kepalamu berisik lagi?”
Gadis itu mengerutkan hidungnya sambil mengangguk mantap. Dia menumpukan kedua tangannya di atas meja, membuat tubuhnya sedikit condong ke arah lawan bicaranya.
Mengenal Sewindu bukan satu atau dua hari, Daffa semakin mengenal berbagai kebiasaan kecil gadis di depannya ini. Berawal dari Sewindu yang selalu muncul di hadapannya sejak satu tahun yang lalu. Daffa bisa melihat kehadirannya setidaknya seminggu sekali di tempat ini.
Mulai dari kebiasaan kakinya yang tidak bisa diam setiap duduk. Segelas iced matcha green tea yang tak pernah absen dari mejanya. Sesekali, dia juga membawa pulang sepotong kue cokelat.
Sampai kebiasaan Sewindu menuangkan segala isi kepalanya lewat sketsa gambar yang cantik hingga abstrak. Daffa mengenalnya sejauh itu.
“Kenapa lagi kali ini?” tanya Daffa sambil menggulung lengan kemejanya lebih tinggi.
Begitu pemuda itu menumpukan kedua tangannya di atas meja seperti Sewindu, dia langsung terdiam. Wajah Sewindu tampak lebih jelas dari jarak yang tak terlalu dekat ini.
Bersama Sewindu, dia seolah menemukan hening di tengah keramaian kota. Mata yang selalu menyorot dalam itu seperti memiliki ruang sendiri untuk tenang.
Deham singkat terdengar dari Sewindu. “Mikirin hal yang nggak perlu aja. Kayak ... kenapa kodok harus lompat? Kenapa nggak jalan biasa aja kayak kita?”
Daffa menarik alisnya sambil tersenyum. “Emang udah takdirnya begitu, Ndu.”
“Oh, iya!” Daffa sontak menegakkan tubuhnya saat teringat sesuatu. “Hari ini pengumuman hasil tes udah keluar. Kamu udah periksa punyamu?”
Sewindu melebarkan matanya. Dia sampai lupa dengan tes masuk universitas yang dia ikuti bulan Mei kemarin. Buru-buru Sewindu mengeluarkan ponsel dari tasnya dan membuka laman pengumuman.
“Aduh, wifi-nya butut nih, Kak!” gerutunya saat laman itu dimuat cukup lama.
Daffa tertawa kecil di sela Sewindu yang menggoyangkan ponsel beberapa kali. “Kamu pilih ISI lagi?” tanyanya, mengalihkan perhatian Sewindu dari koneksi lamban wifi café.
Mendengar kata ISI, segaris senyum antusias kembali muncul di wajahnya. “Iya, masih seni rupa juga.”
“Kalau pilihan keduanya?”
Sewindu menggeleng. “Aku cuma pilih ISI aja, kayak tahun kemarin.”
"Kenapa nggak di Malang aja, Ndu? Orang-orang juga banyak yang rebutan biar bisa kuliah di Malang," tanya Daffa yang masih penasaran tentang alasan Sewindu kekeh sekali untuk pergi ke Jogja.
Gadis itu memincingkan matanya. "Kamu kaya Romo, Kak! Aku pengen aja kuliah di kampus yang memang fokusnya di seni."
Tak butuh waktu lama lagi untuk menunggu, hasil tes Sewindu sudah muncul di sana. Rona cahaya merah menyorot wajahnya dari layar yang menampilkan hasil tesnya.
Sewindu kembali gagal untuk kedua kalinya.
Daffa mengatupkan bibirnya erat, matanya tak lepas dari wajah Sewindu. Dia tak berani mengatakan apa pun saat ini. Pantulan warna merah di mata Sewindu sudah menjelaskan hasilnya.
Senyum antusias yang sebelumnya duduk manis di wajah cantik itu, pudar seketika. Tangannya kembali menyimpan benda pipih itu ke dalam tasnya.
Sewindu lantas mengangkat bahunya sekilas. “Nggak apa-apa, masih ada kesempatan satu kali lagi. Tahun depan aku masih bisa ikut tes lagi.”
Namun, tak bisa dipungkiri, Sewindu juga kecewa dengan dirinya sendiri. Dia harus memulai dari awal lagi. Kembali mengurung diri di dalam kamar bersama kumpulan buku latihan soal.
Seperti yang Daffa kenal, Sewindu bukan tipe manusia yang mengungkapkan perasaannya dengan menggebu-gebu. Gadis itu bahkan sering kali mengabaikan emosinya dan memilih untuk menuangkannya lewat berbagai gambar.
“Aku pesankan kue cokelat, tunggu sebentar!”
“Nggak usah, Kak.” Sewindu menghentikan Daffa sebelum pemuda itu beranjak dari duduknya. “Aku nggak suka kue cokelat.”
“Lah? Biasanya kamu bawa pulang?” heran Daffa.
Sewindu lantas berdiri meraih tas dan minumannya. “Itu aku bawain buat Ibu, Kak. Jalan-jalan, yuk! Kamu nggak bosan dari pagi di sini?”
Daffa mengangguk, mengiyakan. “Sebentar, aku pinjam helm dulu.”
...****************...
Motor matic ber-plat N itu melaju bersama kawanannya di tengah jalanan kota. Seperti yang dikatakan Sewindu, mereka akan berkeliling kota malam ini. Membantu Sewindu melepaskan sedikit kecewanya malam ini.
Gadis itu menyilangkan tangan di depan dadanya. Menghalau angin dingin kota Malang yang menerpa tubuhnya. Sesekali dia menyipit saat deru knalpot dari kendaraan di depan mereka menembak tepat di wajahnya.
“Nggak dingin, Ndu?” tanya Daffa dari balik helm. Pemuda itu melirik Sewindu dari spion.
Sebelum Daffa sempat menjalankan motornya tadi, dia sempat menawari Sewindu untuk memakai jaketnya. Namun, gadis itu menolak begitu saja dan tak masalah dengan angin malam yang lebih dingin dari malam-malam sebelumnya.
Dari pantulan kaca spion itu, dia dapat melihat Sewindu yang juga melihat ke arahnya. Gelengan kecil tampak sebagai jawaban singkat. Sewindu tahu jika dia sedang diperhatikan dari sana.
Daffa menghentikan laju motornya begitu lampu lalu lintas berganti merah. Hitung mundur dari lampu lalu lintas itu dimulai dari angka 30. Masih cukup waktu untuk mereka bergeming di sana.
“Mau peluk nggak?” tanya Daffa dengan suara yang terdengar lebih lantang.
Sewindu sontak mendelik di balik tubuh Daffa. Gadis itu melihat sekeliling, di mana beberapa pengendara mengalihkan perhatian ke arah mereka. Dia menyunggingkan senyum canggung pada mereka.
Sewindu lantas mendaratkan pukulan pada bahu berlapis jaket di depannya. “Malu, Kak!” desisnya tajam di balik helm yang dikenakan Daffa.
Sementara Sewindu yang sibuk menurunkan kaca helm untuk menyembunyikan wajahnya, Daffa tertawa kecil. Matanya tak lepas dari kaca spion yang memantulkan sosok Sewindu di sana.