NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 : Empat sahabat baru Reina.

"Kau… namamu Helena, kan?" tanya Reina, suaranya masih sedikit lemah, namun diiringi oleh rasa ingin tahu yang kuat. Matanya mengamati Helena dengan seksama, mencoba untuk memahami sosok asing di depannya ini. Ia memperhatikan setiap detail, dari ekspresi wajah Helena yang tenang hingga gerakan tangannya yang lembut.

Helena mengangguk hormat, "Iya, Reina…" Suaranya lembut, namun dipenuhi dengan rasa hormat yang tulus. Ia merasakan beban tanggung jawab yang besar, merawat seorang gadis yang telah melewati begitu banyak penderitaan.

Reina mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan, matanya berbinar-binar karena kagum. Ruangan itu begitu canggih, jauh berbeda dari apa yang pernah ia bayangkan. Teknologi yang canggih dan peralatan medis yang modern memenuhi ruangan tersebut. "Ngomong-ngomong," katanya, suaranya dipenuhi dengan rasa takjub. "Sedari tadi kamu menatap hologram badanku… tapi… apakah… apakah hologram itu nyata...?" Ia menunjuk ke arah hologram yang menampilkan data tubuhnya, matanya dipenuhi dengan rasa penasaran yang besar. "Ruangan ini… sangat, canggih!" Ia menambahkan, suaranya dipenuhi dengan kekaguman.

Helena tersenyum lembut, lalu berjalan mendekat ke ranjang Reina. Ia duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk, menunjukkan rasa empati dan kepedulian yang mendalam. "Iya…" katanya, suaranya lembut dan penuh empati. "Ini semua buatan dari kedua orang tua Andras… Pasti kamu sudah tahu bahwa orang tua Andras telah tewas… dibunuh…" Suaranya sedikit bergetar, menunjukkan rasa simpati yang mendalam terhadap nasib Andras.

Reina mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Iya…" katanya, suaranya sedikit serak. "Awalnya, Andras berkata… sebuah kecelakaan, leb… tapi kenyataannya, orang tua Andras dibunuh oleh Alexander… Dia juga orang Rusia…" Ia menggigit bibir bawahnya, mengingat kejadian tragis yang telah menimpa keluarga Andras. Rasa sedih dan marah tercampur aduk di dalam hatinya.

Helena mengusap kepala Reina dengan lembut, gerakannya penuh dengan kasih sayang dan empati. "Iya… Reina…" katanya, suaranya penuh dengan kelembutan. Ia memperbesar hologram tersebut, sehingga Reina dapat melihat data tubuhnya dengan lebih jelas. "Ini tubuhmu, ketahanannya sudah meningkat…" Ia menunjuk ke beberapa data di hologram, menjelaskan dengan detail. "Tapi apakah kau tahu… disaat jantung pertamamu telah diganti dengan jantung robot, besoknya ketahanan tubuhmu langsung meningkat drastis… karena titik hitam di nadimu itu adalah zat racun yang dimasukkan oleh Alexander… Dari data zat itu… kami menamakan Evil Blood virus… Zat ini hampir merusak seluruh tubuhmu… Namun, abangmu cepat-cepat memberikan vaksin… Aku tidak tahu nama vaksinnya karena ini bersifat rahasia… Di saat vaksin dan virus itu bertabrakan… tak disangka virus itu melakukan pengulangan sifat dan membeku… Itulah yang membantu kamu masih hidup sampai sekarang…" Ia menjelaskan dengan detail dan sabar, memastikan Reina memahami penjelasannya.

Reina mendengarkan dengan seksama, matanya berkaca-kaca. Ia mencerna informasi yang diberikan Helena dengan teliti. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan, menunjukkan pemahamannya. "Jadi seperti itu…" katanya, suaranya sedikit bergetar. "Pantas saja dadaku sudah terasa ringan ya… sepertinya aku sudah sehat… Dan aku harus kembali ke Jepang…" Ia menghela napas panjang, rasa lega dan harapan mulai muncul di dalam hatinya. "Apakah Kei di sini? Bersama yang lainnya?" Suaranya dipenuhi dengan kerinduan dan harapan untuk bertemu kembali dengan teman-temannya. Ia berharap, mereka semua baik-baik saja. Ia berharap, mereka semua selamat.

Keheningan mencekam ruangan. Hanya detak jantung Reina yang berdebar pelan dan napas tertahan keempat sahabatnya yang memecah kesunyian. Mike, Helena, dan Alice menunduk, menghindari tatapan Reina, bahu mereka tampak merosot seakan menanggung beban berat. Mereka tahu, berita yang akan disampaikan akan menghancurkan dunia Reina. Bukan karena mereka enggan, tetapi karena empati mereka yang mendalam. Mereka tahu betapa pedihnya kebenaran yang akan mereka ungkapkan.

Mike, dengan suara berat dan rahang yang mengeras, memecah keheningan. "Reina," katanya, suaranya serak, "Sepertinya kami tak bisa menjelaskannya. Bukan karena kami tak mau, tapi… lebih baik abangmu yang mengatakannya." Matanya, yang biasanya berbinar, kini redup, dipenuhi dengan simpati. Tubuhnya sedikit condong ke depan, tangannya mengepal di sisi tubuh, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul.

Reina, yang masih lemah, mengerutkan dahi, mencerna kata-kata Mike. Seutas senyum tipis, penuh dengan ketidakpastian, tersungging di bibirnya. "Baiklah," katanya, suaranya masih lemah, namun sudah bercampur dengan sedikit kejengkelan. "Ngomong-ngomong, di mana si bodoh itu?" Tangannya terangkat, jari-jarinya menunjuk ke arah yang tak tentu, menunjukkan sedikit rasa tidak sabar yang terselubung.

Jimmy, yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba berseru, suaranya dipenuhi dengan campuran terkejut dan geli. "Nah, nah… Abangnya sendiri yang menyelamatkan nyawanya, malah dibilang bodoh sama adiknya sendiri!" Ia menggelengkan kepala, bahunya terangkat, menunjukkan ekspresi tak percaya yang dicampur dengan sedikit humor.

Reina, dengan ekspresi polos dan tanpa beban, memulai cerita, "Apakah kalian tahu… waktu kecil…" Matanya berbinar-binar, mengingat kenangan masa kecil bersama Reiz. Ia tersenyum, sebuah senyum yang penuh dengan kehangatan dan kenangan.

Tiba-tiba, suara Reiz menggema di ruangan, menghentikan cerita Reina. "Reina! Jangan umbar aibku di depan rekan-rekanku!" Suaranya terdengar sedikit tegang, namun diiringi dengan sedikit tawa, menunjukkan bahwa ia juga sedikit geli dengan situasi tersebut.

Pintu terbuka, dan Reina tersentak. Reiz, Tia, dan Craig muncul di ambang pintu, masih sibuk menggosok gigi dengan sikat gigi elektrik. Craig terlihat sangat fokus, sementara Tia tersenyum geli melihat ekspresi terkejut di wajah Reina.

Melihat adiknya telah sadar, ekspresi Reiz berubah drastis. Air mata berlinang di matanya, menunjukkan betapa besar rasa cintanya pada Reina. Dengan langkah cepat dan tergesa-gesa, ia menghampiri Reina, memeluknya erat-erat. "Reina! Aku takut kehilangan adik keras kepala seperti mu!!" Suaranya bergetar hebat, dipenuhi emosi yang meluap-luap. "Berminggu-minggu aku menunggu kau sadar… sekarang… kau sudah sadar… aku… berhasil… aku berhasil!!" Ia mengusap rambut Reina dengan lembut, menunjukkan rasa syukur dan kelegaan yang mendalam. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa besar beban yang telah ia pikul selama ini.

Reina, terharu oleh pelukan abangnya, tersenyum kecil. "Bang Reiz… ini masih di depan rekan dan istrimu loh… dan Mas-mas di sana… masih menggosok giginya…" Ia menunjuk ke arah Craig yang masih asyik menyikat gigi, suaranya dipenuhi dengan sedikit humor.

Reiz tertawa kecil, "Hiraukan saja dia… dia memang selalu gosok gigi di sini… karena gosok gigi elektriknya yang membuatnya ketagihan…" Ia mengusap air matanya, namun senyum haru masih terukir di wajahnya.

"Bang Reiz, di mana Kei dan Andras!! Pasti mereka menungguku di sini!!" Reina bertanya dengan penuh harap, matanya berbinar-binar, penuh dengan kerinduan.

Reiz melepaskan pelukannya, duduk di kursi di samping ranjang Reina, wajahnya berubah serius. Ekspresi sedih dan berat terpancar dari matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk menyampaikan berita yang akan menghancurkan dunia Reina. "Reina adikku… ini berat diterima… tapi… mereka semua… semua temanmu dan pacarmu Kei… mereka semua hanya tahu kau sudah… mati…" Suaranya berat, setiap kata yang diucapkannya terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Reina.

Reina terdiam, tubuhnya menegang. Wajahnya memucat, matanya membulat, tak percaya. Ia terpaku, tak mampu berkata apa-apa. Hantaman kenyataan itu begitu dahsyat, menghancurkan harapan yang baru saja muncul. "Gak mungkin…" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, dipenuhi dengan ketidakpercayaan. "Kei… dia pasti… terpuruk berat… Hanna… Hanna…" Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya, tubuhnya bergetar hebat. Ia bukan hanya sedih, bukan hanya menyesal, tetapi juga dihantam oleh rasa bersalah yang mendalam. Ia menangis bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena memikirkan perasaan Kei, Hanna, dan semua teman-temannya yang telah meratapi kematiannya, sementara ia, yang seharusnya sudah mati, kini hidup kembali. Kesedihan itu begitu mendalam, begitu menyayat hati, hingga ia merasa jiwanya tercabik-cabik. Tubuhnya merosot, seakan tak mampu lagi menahan beban kesedihan yang begitu berat.

Reiz meletakkan tangannya di pundak Reina, sentuhannya lembut namun kokoh, berusaha menenangkan badai emosi yang menerjang adiknya. Tatapannya, biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini lembut, dipenuhi kekhawatiran yang mencerminkan rasa sakit yang sama yang dirasakan Reina. "Reina… tenang…" bisiknya, suaranya dipenuhi kasih sayang dan keprihatinan. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata.

Reina menggelengkan kepala, air matanya mengalir deras. Rambutnya yang gelap berayun mengikuti isak tangisnya. Air mata itu adalah bukti nyata kehilangan yang pedih dan beban kesepian yang menghancurkan. "Aku sangat merindukan Kei…" ucapnya, suaranya nyaris tak terdengar, dipenuhi kerinduan yang dalam dan menyayat hati. "Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatinya. Apakah dia menjadi lebih dingin? Lebih buruk…? Dan Hanna, Kenzi, Lynn, Andras, Yumi, Emi, Earl, Zerav, Max, Chins, Hiro, dan Ryu… pasti mereka… sangat terpukul…" Tubuhnya gemetar hebat, tak mampu menahan gelombang kesedihan yang begitu dahsyat. Ia meringkuk, pundaknya bergetar hebat, kata-katanya nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya. "Tapi aku mengerti mengapa aku disembunyikan… aku tahu aku tak boleh bertemu mereka…"

Mike, merasakan keputusasaan Reina yang begitu dalam, mendekat. Tatapannya bercampur antara empati dan tekad yang kuat, mencerminkan konflik batinnya. Ia berbicara dengan suara rendah dan mantap, kata-katanya dipilih dengan hati-hati untuk memberikan penghiburan dan kejelasan. "Reina," katanya, suaranya tegas namun lembut, "Aku mengerti rasa sakitmu… Bertemu Kei dan teman-temanmu… masih mungkin. Tapi… ada pilihan penting yang harus kau buat. Pertama: Kau kembali kepada mereka, dan kalian semua menghadapi teror Danton dan Alexander bersama-sama. Kedua: Kau tetap bersembunyi, dan kita bekerja sama untuk menghancurkan kerajaan Danton dan Alexander, mengakhiri kekuasaan teror mereka." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap, matanya tertuju pada Reina, menunggu jawabannya.

Reina tetap meringkuk, wajahnya terkubur di kedua tangannya, tubuhnya gemetar hebat. Keheningan di ruangan itu begitu pekat, dipenuhi emosi yang tak terucapkan. Akhirnya, suaranya, nyaris seperti bisikan, terdengar. "Aku memilih yang kedua…" bisiknya, kata-katanya teredam oleh tangisnya. "Tapi… aku sendirian… Aku melihat sepenggal pertempuran, Kei dan yang lainnya berjuang menyelamatkan ku… Pasukan Danton dan Alexander… sangat besar… Aku tak bisa melakukan ini sendirian…" Suaranya terputus-putus, menunjukkan betapa rapuhnya ia di balik kesedihannya.

Pemahaman tercipta di antara Mike, Jimmy, Helena, dan Alice. Mata mereka bertemu, saling memahami beban yang dipikul bersama dan komitmen tak tergoyahkan kepada Reina. Mereka mengangguk pelan, ekspresi mereka melembut, dipenuhi empati dan tekad.

Mike mendekat, meletakkan tangannya di pundak Reina, sentuhannya kuat namun penuh dukungan. "Kami di sini untuk membantumu membalaskan dendammu," tegasnya, suaranya mantap, penuh janji.

Alice, posturnya yang biasanya malas kini digantikan oleh sikap protektif yang kuat, menggenggam tangan Reina, cengkeramannya mengejutkan kuatnya. Rona merah tipis muncul di pipinya, menunjukkan intensitas yang tak terduga. Ia menguap, sebuah kebiasaan gugup, tetapi suaranya dipenuhi ketulusan. "Reina… jangan khawatir…" katanya, matanya yang biasanya sayu kini bersinar terang, menunjukkan dukungannya yang tulus.

Jimmy, sikapnya yang biasanya riang kini digantikan oleh keseriusan yang tenang, membelai rambut Reina dengan lembut namun tegas. Sentuhannya begitu lembut, sangat kontras dengan kepribadiannya yang biasanya kasar. "Tenang," bisiknya, suaranya lebih lembut dari biasanya, menunjukkan sisi rentannya yang jarang terlihat. "Kami akan membantumu… apapun yang terjadi… untuk itulah kami di sini…" Senyum kecil, tulus, terukir di bibirnya.

Helena, ekspresi wajahnya tenang namun dipenuhi empati yang mendalam, meletakkan tangannya di pundak Reina yang lain. Tatapannya yang mantap menyampaikan dukungan dan kekuatan yang tak tergoyahkan. Ia mengangguk pelan, penegasannya yang tenang menjadi bukti kuat komitmennya yang tak tergoyahkan.

Reina akhirnya mengangkat kepalanya, matanya yang merah dan bengkak menatap keempat sahabat barunya. Emosi mentah di matanya—campuran kesedihan, ketakutan, dan secercah harapan—sangat terasa. "Tapi… mengapa…?" bisiknya, suaranya bergetar, namun sudah mulai menunjukkan sedikit kekuatan.

Mike menatap matanya langsung, suaranya bergema dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Tujuan kita sama," tegasnya, nadanya mantap. "Kau menghentikan teror dan balas dendam kepada ayahmu, dan kami membalaskan dendam orang tua Andras dan menghancurkan operasi Alexander."

Reina kembali menyembunyikan wajahnya di tangannya, tubuhnya gemetar hebat, namun kali ini, secercah harapan terlihat di balik air matanya. "Terima kasih…" bisiknya, suaranya tercekat emosi. "Terima kasih semuanya… kalian sangat… baik…" Tubuhnya bergetar, campuran kesedihan dan rasa syukur, tetapi perasaan yang paling kuat adalah harapan. Ia tak sendirian lagi. Ia telah menemukan empat sekutu yang tangguh, siap berdiri di sisinya, membantunya mencari keadilan dan menghadapi masa depan, apapun yang akan terjadi.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!