PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Hati yang selama ini Fiona coba keras bekukan kini terasa berdenyut lagi. Verdian terlalu mirip dengan Vergil, dan itu membuatnya takut. Dia harus kembali, tidak hanya untuk Verdian, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia tahu, ada alasan mengapa dia harus menghadapi masa lalu dan cinta yang masih ada.
"Aku harus kembali," ucap Fiona pelan. Luis, yang baru saja kembali ke desa setelah mengantar Verdian, menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Aku tidak bisa membiarkan Verdian berada di sana sendirian," sambung Fiona. Luis mengangguk, ia mengerti. Fiona, yang kini jauh lebih kuat dari masa lalu, memutuskan untuk kembali ke istana secara diam-diam. Ia tidak akan meminta bantuan dari siapapun, ia hanya akan mengandalkan kekuatannya sendiri.
Fiona melangkah menuju ibu kota, menyamar sebagai seorang pelayan biasa, dan berhasil mendapatkan posisi di istana. Ia menggunakan pengetahuan dan pengalamannya dari kehidupan sebelumnya untuk bersembunyi di balik bayang-bayang. Ia mendengar desas-desus tentang Raja Vergil, yang masih belum menikah, dan masih mencari wanita yang dicintainya.
Di istana, Fiona mengamati Vergil dari kejauhan, dan ia melihat pria yang dulu dicintainya itu. Pria itu tampak lebih dewasa, namun matanya masih memancarkan kesepian yang sama. Ia melihat Verdian di pesta, dan ia tahu, ia harus melindungi putranya dari dunia Vergil yang berbahaya. Ia tahu, dia harus menghadapi masa lalunya.
Dia tahu, ada banyak hal yang harus dia korbankan. Namun, demi Verdian, dia akan melakukannya. Dia akan menjadi yang terbaik, dia akan menjadi yang paling cerdas, dan dia akan melindungi putranya, tidak peduli apa yang terjadi. Dia tahu, istana ini adalah sarang ular, tetapi dia akan menjadi ular yang paling mematikan.
Di sebuah koridor sepi di sayap barat istana, Fiona sedang mengangkut setumpuk kain linen bersih saat ia tanpa sengaja berpapasan dengan Vergil. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang hanya sebagian tertutup cadar pelayan, berharap pria itu tidak akan memperhatikannya. Namun, Vergil menghentikan langkahnya.
"Maaf, Yang Mulia," bisik Fiona, mencoba agar suaranya tidak bergetar. Ia menahan napas, takut Vergil akan menyadari sesuatu.
"Tidak apa-apa," jawab Vergil, suaranya terdengar lelah. "Lain kali, perhatikan jalanmu."
Vergil melanjutkan langkahnya, dan Fiona bisa merasakan tatapan matanya yang dingin menembus dirinya. Pria itu tidak mengenali dirinya, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Fiona merasa sakit. Itu adalah tatapan seorang pria yang merindukan seseorang.
Fiona menyentuh dadanya. Jantungnya berdebar kencang. Dia takut, bukan karena Vergil akan mengenalinya, tetapi karena alasan lain. Dia tahu mengapa dia harus menyembunyikan identitasnya dan putranya dari Vergil. Dia takut jika Verdian akan berakhir sama seperti Vergil: saling membunuh dengan saudaranya untuk mendapatkan kekuasaan.
Masa lalu terlintas di benaknya. Raja Alex, ayah Vergil, memiliki banyak putra dari berbagai wanita. Saat itu, Vergil dan saudara-saudaranya harus saling membunuh untuk memperebutkan tahta. Fiona tidak akan membiarkan putranya mengalami hal yang sama. Dia juga takut jika suatu waktu Vergil tidak mencintainya, dia akan membuang dirinya dan dia akan menikah lagi, memiliki anak dari wanita lain dan membiarkan putranya saling membunuh.
Itulah alasan mengapa Fiona tidak ingin Vergil menemukan dirinya dan Verdian. Dia tidak ingin Verdian menjadi bagian dari dunia Vergil yang kejam, dunia yang penuh dengan pengkhianatan dan kekejaman.
Sementara itu, di sebuah ruang kerja tersembunyi, Vergil mengenakan jubah sederhana yang biasa dipakai rakyat jelata, lengkap dengan tudung yang menutupi wajahnya. Di depannya, berdiri seorang penasihat yang setia, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Yang Mulia, apakah Anda yakin?" tanya sang penasihat. "Anda tidak bisa begitu saja meninggalkan kerajaan. Ini berbahaya!"
Vergil memegang bahu penasihatnya, matanya menatap tajam. "Aku sudah membuat keputusan. Urusan kerajaan akan kupercayakan padamu. Aku akan pergi mencari Fiona, sendirian."
Sang penasihat menunduk, berat hati melepaskannya. "Baik, Yang Mulia. Semoga berhasil. Jika Anda dalam masalah, jangan ragu untuk memanggil saya."
Vergil membalas pelukannya. "Aku tidak akan kembali sebelum menemukan Fiona, bahkan jika itu harus seumur hidupku. Dan jika aku mati, atau tidak pernah kembali, biarkan rakyat yang memilih sendiri seorang raja yang akan menggantikanku."
Vergil kemudian berbalik, mengambil langkah pertamanya keluar dari istana yang megah, menuju dunia yang penuh ketidakpastian. Tujuan satu-satunya adalah menemukan Fiona, satu-satunya wanita yang pernah dicintainya.
Setelah kepergian Vergil, penasihat raja memanggil orang kepercayaannya. Wajahnya yang tua terlihat serius.
"Rahasiakan kepergian Yang Mulia," bisiknya. "Para bangsawan yang haus kekuasaan pasti akan memanfaatkan ketidakberadaan raja. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan semua yang telah Yang Mulia bangun."
Dia lalu memanggil semua jenderal yang sangat setia kepada Vergil. "Mulai sekarang, kalian akan bertanggung jawab untuk melindungi kerajaan ini dari dalam dan luar," perintahnya. "Tetaplah waspada. Jangan biarkan siapapun, bahkan bayangan terkecil, merusak ketenangan kerajaan."
Di sisi lain, Verdian merasa bosan. Dengan sekali lihat, ia mampu mempraktikkan teknik pedang instrukturnya dengan sempurna. Ia merasa ada ikatan kuat antara dirinya dan Raja Vergil. Wajah yang mirip, cerita dari Artera tentang raja yang mencari wanita bernama Fiona, tentang ia yang tak tahu siapa ayahnya. Ibunya, Felani, tak pernah membicarakan tentang ayahnya. Muncul firasat yang mengatakan kepada bocah 10 tahun itu bahwa Vergil adalah ayahnya. Tapi ia membantah sendiri firasat itu karena nama wanita yang dicari raja bukanlah nama ibunya.
Tak lama kemudian, seorang gadis bangsawan bernama Melisa, dengan rambut pirang ikal dan mata biru cerah, mengajak Verdian untuk latih tanding. Melisa, yang dikenal sebagai salah satu yang terbaik di antara para siswa, terkejut saat melihat Verdian memegang pedang dengan tangan kirinya.
"Hei! Kenapa kamu pakai tangan kiri?" tanya Melisa, mengerutkan kening.
Verdian menyeringai tipis. "Tangan kananku cedera."
Tentu saja itu bohong. Ia sebenarnya hanya meremehkan Melisa. Ia tak ingin menunjukkan seluruh kekuatannya. Setelah beberapa saat, ia berhasil mengalahkan Melisa dengan mudah, bahkan hanya dengan satu tangan. Melisa menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Kamu... kamu curang!" teriak Melisa, matanya berkaca-kaca. Pedang kayunya jatuh dari genggamannya dan ia terduduk di tanah, terisak.
Verdian terkejut. Ia tidak menyangka Melisa akan menangis. Ia segera berlutut di depannya. "Maafkan aku, Melisa. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Aku hanya… aku terlalu serius."
"Tapi... kamu curang! Kamu bilang tanganmu cedera," isak Melisa.
"Tidak, aku tidak curang," jawab Verdian. "Aku hanya tidak ingin kamu menganggapku sebagai ancaman." Ia menghela napas. "Maafkan aku, Melisa. Aku tidak ingin kamu marah kepadaku. Aku tahu, kamu adalah yang terbaik di akademi."
Melisa menatapnya. "Kenapa caramu bicara seperti orang dewasa?"
Verdian tersenyum. "Aku hanya... terkadang pikiranku jauh melampaui anak-anak seusiaku."
Melisa menatapnya, bingung.
"Tidak!" Verdian segera menyangkalnya. "Bahkan saat diterima di akademi ini, aku meloncat-loncat. Aku hanya... aku memang jenius, tapi aku juga anak seusiamu yang bisa kekanak-kanakan."