NovelToon NovelToon
Buku Nabi

Buku Nabi

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:860
Nilai: 5
Nama Author: Equinox_

Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).

Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.

Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saksi Terakhir

Tring! Lonceng pintu toko berbunyi.

Seseorang masuk ke dalam toko. Di setiap sudut toko, terdapat banyak artefak. Artefak di depan pintu toko dikategorikan sebagai artefak murah, dan artefak di dekat meja penjaga toko serta yang dipajang di belakangnya adalah artefak yang mahal.

“Halo, Pak. Saya di sini ingin mencari artefak,” ucap seorang pembeli.

Pria botak itu memperhatikan si pembeli, lalu menyambutnya dengan ramah. ”Hoo... silakan. Artefak apa yang Anda cari?” tanyanya.

Pembeli itu melihat setiap sudut ruangan artefak yang ada di dalam toko itu. ”Ah, aku mencari artefak yang bisa dipakai untuk komunikasi,” jawab pembeli itu.

“Hmmm... artefak seperti itu harganya lumayan mahal.”

“Tidak apa-apa, aku akan membelinya berapa pun harganya.”

Penjual botak itu mengeluarkan artefak berukuran kecil dan berbentuk persegi. ”Ini dia, Artefak Phone. Harganya 10 koin emas,” ujarnya sambil menyalakan artefak itu. “Barang ini sering dipakai oleh kelas atas dan bangsawan.”

“Hm... 10 koin emas, ya?” tanya pembeli itu.

“Tenang saja, ini harga rata-rata. Tidak lebih mahal dan tidak lebih murah,” ucap penjual itu. Ia memasukkan Artefak Phone ke dalam boks kayu dengan ukiran estetik. ”Lihatlah boks ini, sudah paket lengkap dengan artefaknya.”

Pembeli itu mengeluarkan 10 koin emas. ”Baiklah, aku membelinya.” Ia membawa Artefak Phone, lalu pergi keluar.

“Oho, terima kasih banyak. Sampai jumpa kembali,” ucapnya sambil tersenyum melambaikan tangan.

Penjual botak itu ingin menutup tokonya karena hari sudah menjelang malam. Ia keluar dari toko dan ingin menutup pintu masuknya, akan tetapi ada sedikit keributan di sebelah tokonya. Terlihat tiga anak muda yang sedang berdebat.

“Sudah kubilang, kakek penjual itu berada di sini beberapa hari yang lalu,” tegas pria berambut hitam.

“Sudah kubilang juga, kau ini ditipu, Aksa,” balas pria tampan berambut pirang itu. “Mana ada buku yang seperti itu?”

Gadis yang di belakangnya hanya mengamati pertengkaran dua anak muda yang sedang berseteru.

'Haish, anak zaman sekarang meributkan wanita,' pikir penjual botak itu. 'Zamanku, kami saling adu bela diri, alih-alih wanita.'

Ia mendekati ketiga anak yang berada di sebelah tokonya. ”Hei, kalian! Jangan meributkan cinta di sini, mengganggu saja,” ketus sang pemilik toko.

Perdebatan anak muda itu berhenti dan fokus mereka menghadap seorang pria botak kekar yang memakai celemek.

“Oh, hei, Pak, maaf. Tapi kami di sini mencari seorang penjual,” ucap lelaki berambut hitam. Ia menunjuk tempat di mana kakek penjual itu sebelumnya berada. ”Beberapa hari yang lalu, dia masih berdagang di sini.”

“Hmm... kalau tidak salah, kemarin kakek itu tertangkap petugas keamanan,” balasnya.

“Kenapa ditangkap?” tanya gadis pirang yang tiba-tiba menyela.

Penjual itu menunjuk artefak yang terpajang di jendela tokonya. ”Tentu saja dia menjual artefak palsu di sebelah toko artefak asli,” ucapnya dengan ketus.

Anak laki-laki berambut pirang yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak. ”Bhuahahaha, sudah kubilang kau ditipu, masih saja tak percaya,” teriak lelaki pirang itu dengan girang.

“Huh... setelah sejauh ini, kau masih bisa mempermainkanku, Aksa?” tanya gadis itu dengan wajah kesal.

Anak laki-laki berambut hitam itu tidak membalas apa-apa. Ia hanya termenung, melihat ke bawah, ke tempat si kakek tua itu duduk dahulu. Tawa temannya berdengung di telinganya. Ia juga merasakan tatapan sinis dari teman gadisnya, tapi pikirannya melayang pada kejadian malam kemarin.

'Tak mungkin aku gila,' pikirnya.

Ia perlahan meninggalkan orang-orang di sekitarnya tanpa berucap satu patah kata pun.

Melihat reaksi kawannya, anak laki-laki pirang dan gadis itu mencoba menghentikannya, tetapi ia tetap pergi tanpa menggubris.

“Baiklah, Auriel, aku akan pulang ke rumah. Apa kau mau ikut?” tanyanya.

Gadis itu tidak berucap dan hanya menggelengkan kepala.

“Baiklah, sampai jumpa,” ucap lelaki pirang itu.

Mereka mulai memisahkan diri satu per satu, tidak terkecuali sang pemilik toko artefak itu. 'Apa-apaan mereka itu? Aku sudah terlalu tua untuk memahami anak muda,' pikir pemilik toko.

.

.

Di Distrik 4, tepat beberapa petak jalan sebelum rumah Aksa, ia masih benar-benar termenung, dilema karena kejadian yang baru saja menimpanya. Saat ini, ia masih memegang buku aneh tersebut di dalam sakunya.

'Ini berhubungan dengan para dewa. Hanya ada satu tempat yang harus aku datangi.'

'Ini harus diselesaikan. Aku akan pergi ke Kuil Dewa Klinx,' pikirnya, yang tiba-tiba membalikkan langkahnya dan pergi menuju kuil tersebut.

Kekaisaran sendiri memiliki lebih dari sepuluh kuil yang dipercaya oleh banyak masyarakat, tetapi yang membedakan antara kuil-kuil itu adalah penyembahnya. Tergantung kalangan mana yang menyembah, maka kuil itu akan bergengsi dan kuat.

Di lain sisi, kuil yang akan didatangi Aksa adalah kuil yang paling miskin, yaitu Kuil Dewa Klinx.

Ia tiba di depan pintu masuk kuil yang kecil. Tidak ada penjaga, tidak ada tanda-tanda kehidupan, seolah benar-benar sunyi. Suasananya agak mencekam, ditambah tidak ada sinar bulan sama sekali untuk pencahayaan.

'Lho, aneh. Biasanya masih ada beberapa aktivitas di jam segini,' pikirnya. Ia mencoba membuka pintu kuil itu.

Hal pertama yang menyambut kedatangannya bukanlah pemandangan ramah-tamah anggota kuil, melainkan aroma anyir yang menyengat. Ia refleks menutup hidungnya karena baunya sangat menyengat. Baru setelah pandangannya beradaptasi dengan kegelapan di dalam, ia melihat sesuatu.

Mata Aksa melotot spontan. Tubuhnya bergerak tak karuan. Ia melihat banyak mayat anggota kuil berceceran secara acak.

Banjir darah dan bau menyengat memenuhi setiap sudut kuil itu. Perasaannya benar karena tidak ada tanda kehidupan. Semuanya telah mati, seperti dibantai oleh seseorang.

Ia mencoba melangkahkan kakinya yang tertahan oleh beban ketakutan. Langkahnya berat, tapi pasti, mencoba mendekati lebih dalam semampunya. Tatapannya tak fokus. Matanya melihat ke sana kemari, seolah tak mengerti apa yang terjadi.

'Ini gila, ini benar-benar gila! Kapan terakhir pembantaian terjadi?' pikirnya tak percaya sambil menutup hidungnya karena bau anyir. 'Mungkin sebelum kaisar sekarang dilantik.'

Dalam larutan pikirannya, ia tetap melangkah maju, melewati mayat-mayat dan meninggalkan jejak darah di sepatunya, hingga ia tiba di ruangan utama kuil.

Ada patung besar berbentuk manusia. Itu adalah Dewa Klinx, dewa yang masyarakat miskin sembah untuk meminta kesejahteraan. Tapi sayangnya, para anggota kuil dibantai habis tak bersisa.

“Uhuk... uhuk...”

Suara batuk seseorang memecah keheningan yang ada di dalam seluruh ruangan.

Aksa yang peka terhadap kondisi itu langsung mencari sumber suara. 'Ada yang selamat?!' Ia mencoba mencari sumber suara dengan berlari.

Terdapat seseorang yang sudah tua, bersimbah darah di seluruh tubuhnya, terkapar duduk menyender di belakang patung Dewa Klinx.

“Tetua!” ucap Aksa dengan khawatir. Ia memegang tubuh tetua.

Tangannya tercampur oleh cairan merah, tapi ia tak peduli. ”Tetua! Apa yang terjadi?!”

“Uhuk... uhuk... Nak Aksa...,” balas orang itu.

“Tidak, Tetua! Kau tidak harus bicara! Aku akan membawamu keluar!” tegas Aksa dengan gemetar.

Tetua itu melambaikan tangannya menuju wajah Aksa. Tangannya yang kasar dirasakan oleh Aksa. Perlahan, tangan itu jatuh ke lantai.

Aksa tak kuasa meneteskan derai air mata. Ia mulai memeluk mayat itu, tak peduli seberapa kotor darahnya yang mengotori seragam akademinya.

”Tetua... tolong jangan mati...,” ucapnya tersedu-sedu tanpa harapan.

1
Osmond Silalahi
mantap ini kelasnya
Osmond Silalahi
author, "misteri 112" mampir ya
indah 110
Nggak sia-sia baca ini. 💪
Taufik: Terimakasih atas feedbacknya
terus tunggu update selanjutnya ^^
total 1 replies
Phedra
Masa sih, update aja nggak susah 😒
Taufik: hehehe tunggu kelanjutannya ya ^^
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!