Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (4)
Kakek Ahal membawa Waran ke luar desa, berjalan memutar hingga sampai di bagian belakang desa. Tempat banyak hutan jati tumbuh. Pohon yang sudah sangat tinggi, menandakan mereka sudah puluhan tahun ada.
Tidak berhenti terkagum dengan ciptaan Sang Penguasa Subuh, kepala Waran tidak bisa diam untuk tidak melihat kesana kemari.
'Pohon jati di sini memiliki batang yang bagus, tidak heran banyak rumah warga yang terlihat besar.' pikir Waran dalam hati, mengingat dirinya banyak melihat rumah mewah saat basa mengajaknya keliling desa pagi tadi.
Warta terus mengikuti Kakek Ahal yang melangkah semakin masuk ke dalam hutan. Beberapa meter di depan mereka, terlihat cahaya yang sangat terang. Sampai di tempat asal cahaya itu, Warta tertegun tak bergeming.
"Kek, apa yang terjadi dengan pohon - pohon disini?"
Sejauh mata memandang, sekitar 12 M ke depan, tidak ada lagi pohon jati yang berdiri dengan kokoh dan gagah. Hanya bonggol - bonggol, tanda bahwa pernah terjadi penebangan.
"Ah, ini," Kakek Ahal terkekeh ringan, "karena kami butuh untuk membangun rumah. Mungkin sekitar seribu.... Atau mungkin lebih, Kakek juga lupa." Kakek Ahal mengeluarkan tawa menggelegar khas nya.
"Tapi kalau seperti ini, bukannya bahanya untuk kondisi hutan? Di depan sana juga ada jurang. Bagaimana kalau di bawahnya ada sebuah desa dan terkena dampak?" Berbagai aspirasi yang mengalir dalam kepala ia salurkan, tanpa menyadari ada yag telah berubah.
Kakek Ahal menghela napas, mendengar perkataan Warta membuat rautnya terlihat sedih, " Kau benar, tapi, mau bagaimana lagi. Kami membutuhkan bahan untuk membangun rumah." jelas Kakek Ahal dengan lesu.
"Bukannya rumah yang ada di Desa Rusa terlalu mewah, Kek? Kalau satu rumah hanya berisi 2 sampai 3 orang, menurutku bangunan kecil saja sudah cukup."
"Ini demi keamanan."
"Kayu jati ini saja sudah sangat kokoh, lebih dari cukup untuk kemanan. Penguasa subuh selalu mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu secukupnya saja. Itu semua juga demi keuntungan bersama."
"Nak Warta," Kakek menarik bahu Warta hingga menghadap ke arahnya. Kedua tangan kakek yang bertengger di bahu sedikit mencengkeram. Raut wajah sedih Kakek Ahal menatap Warta tepat di mata.
"Kakek merasa sedih," lirih Kakek Ahal.
Warta mengedipkan ata beberapa kali. Ia menatap Kakek Ahal, perlahan tangannya terangkat, hendak menggenggam pergelangan tangan Kakek. Namun terhenti saat,
Masih dengan wajah lesu dengan raut yang tampak seperti sedang menyayat hari, Kakek kembali berbicara, "Kakek sedih. Kakek sedih, kau menentang pemikiran Putri Tilani."
Sorot wajah Kakek yang tiba - tiba berubah seolah akan menundukan hewan buas membuat Warta melebarkan bola matanya. Kaki Warta perlahan mundur, walau tubuh atasnya masih dicengkeram yang perlahan semakin mengencang.
"OI, ORANG HUTAN!" terdengar suata Basa yang sedang yang mencarinya. Membuat Warta bisa sedikit bernapas, ia segera mengedarkan pandang mencari keberadaan yang lebih kecil.
"Iya, kenapa cil!" teriak Warta, membalas dengan tergesa. Berharap Basa segera datang agar ia bisa keluar dari keadaan tidak mengenakan ini.
Basa lalu muncul dari arah yang sama saat dirinya dan Kakek tiba, "Ternyata di sini. Oh, ya, Kek. Kakek di cari oleh Putri Tilani."
Basa menggenggam pergelangan tangan Waran, "Kau, orang hutan, ikut aku. Kau bilang ingin belajar bermain takraw, aku sudah berusaha melungakan waktu untuk melatihmu."
Basa menarik Warta yang dengan patuh mengikutinya kembali ke desa. Sesampainya di gerbang, Warta menghentikan langkah membuat Basa yang sedang menariknya hampir terjatuh. Tentu saja, karena tubuh anak itu lebih kecil dari Warta.
"Tunggu, ada hal aneh," Waran menarik tangannya yang di genggam oleh Basa.
"Apa?" tanya Basa dengan malas.
"Apa itu tak- ra- u?"
Basa benar - benar mengajarkan Warta cata bermain bola rotan khas desanya. Ternyata, permainan itu disebut takraw. Permainan bola kaki yang menggunakan jaring penghalang setinggi 1,5 meter. Karenanya, diperlukan teknik khusus agar bola dapat melambung dengan tinggi.
Tingg menunggu hitungan menit sebelum matahari terbenam, Warta mendudukan dirinya di sisi lapangan. Napas yang tidak karuan membuat kepalanya kembali terasa pening.
"Baru seperti itu saja sudah kelelahan. Pantas tengkorakmu sampai rusak hanya karena rusa." Basa yang menghampiri ikut duduk di samping Warta.
"Hey, bocil! Dengar ya-" protes yang hendak Warta layangkan terhenti saat matanya melihat tangan Basa yang menggenggam botol air dari bambu, terulur ke arahnya.
Dengan cepat, Warta menyambar. Ditenggaknya potongan bambu berisi air itu sampai tandas.
"Huaa, segar sekali. Terima kasih, ya.".
Warta menaruh botol bambu milik Basa menjadi batas di antara keduanya. Anak laki - laki yang sudah beberapa hari meninggalkan desa itu menengadah, menatap langit.
" Terima kasih penguasa subuh, karena telah mempertemukanku dengan desa penuh berkah ini."
"Itu karena Putri Tilani." ucap Basa tiba - tiba.
Warta menatap Basa yang sedang berbaring di sampingnya, menatap ke arah langit yang sama. Yang lebih kecil menggunakan kedua tangannya sebagai pengganti bantal.
"Air itu bisa sejuk, karena Putri Tilani. Ia memberi tau kepada kami untuk menaruh air dalam gentong tanah liat di luar ruangan." jelas Basa.
Warta tersenyum, ia merebahkan diri dan menatap langit. Meniru hal yang dilakukan Basa.
"Tuan Putri kalian benar - benar hebat, ya."
Suara decakan kecil terdengar dari melewati celah bibir Basa. Ia memalingkan wajah ke arah yang berlawanan dari tempat Warta merebahkan diri.
"Tidak, dia biasa saja."
Nasa suara Basa yang terdengar merajuk membuat Warta teringat dengan adiknya. Seperti saat penduduk desa sedang memuji Warta adalah anak yang hebat, suara si adik terdengar seperti Basa saat ini. Tangan Warta terangkat, ia gunakan untuk mengelus helaian rambut Basa yang sedang membelakanginya.
"Ya, kau benar. Dia biasa saja." mendengar itu, Basa menarik kepala menoleh ke arah Warta. Membuat tangan yang sedang asik menari itu ia tarik kembali. Warta kembali memfokuskan pandang ke arah langit jingga. "Tapi, isi kepalanya sungguh luar biasa."
Lagi - lagi Basa berdecak, hendak kembali memalingkan wajah sebelum tangan yang lebih tua menahan kepalanya.
"Tapi, kalau masalah air dengan gentong atau kendi tanah liat, itu sudah hal umun di tempatku. Ya, kalau kerupuk udang memang keren banget, sih. Mungkin, karena kami lebih sering memakan sayuran atau hewan darat.
Basa menepis tangan Warta. Kaki pendeknya ia angkat tinggi - tinggi lali diayunkan dengan cepat ke bawah, membantunya untuk duduk. Tubuh Basa menghadap Warta, kedua matanya menyipit serta alis menekuk tajam.
"Oh, sekarang kau sudah tau caranya sombong!" omel Basa dengab kedua tangan terlipat di depan ulu hati.
"Eh? Bukan begitu." Warta bangun dari tidurnya. Mengikuti yang lebih muda, kini keduanya duduk bersimpuh saling berhadapan.
"Maksudku, itu mungkin sudah hal umum disetiap desa kalau memikirkan bagaimana cara membuat air tetap sejuk. Tapi, semua bahan dasarnya, tentu bukan buatan manusia."
Basa tertunduk lemas, "Jadi, bukan hanya Putri Tilani yang dapat berpikir seperti itu?"
Waran menggeleng pelan, "penguasa subuh sudah menciptakan semuanya. Sekarang, tinggal bagaimana kita. Hanya diam saja dan mengeluh atau mencari solusi."
Tidak ada lagi tanggapan badi Basa. Anak itu masih menunduk, bahkan semakin menunduk dengan dalam. Ia mengambil napas dalam lalu mengangkat kepalanya, menatap Warta lekat.
"Penguasa subuhmu itu... Bisa membantuku?"
Warta tersenyum lebar dengab kilatan gemilang menghiasi mata, "Apa?" tanyanya penuh semangat.
"Kembalikan adikku." hanya dua kata, dengan nada yang sangat dalam rasa kepedihannya membuat Warta ikut merasa sedih.
"Ia menghilang?" tanya Warta dengan hati - hati. Tangannya terangkat, mengkus bahu Basa.
"Semenjak kecelakaan yang menimpanya di hutan jati, dia berubah." kepala anak itu kembali tertunduk dengan bahu yang terkulai lemah.
"Pasti adikmu orang yang hebat sampai penguasa subuh memberinya perhatian seperti itu."
Suasana kembali hening, Warta menurunkan tangannya dari bahu Basa. "Atau mungkin, kau yang hebat." Warta tersenyum dengan lembut.
"Dibanding denganmu? Tentu!" Kepala Basa kembali terangkat, wajah menyebalkan yang selalu menbuat Warta kesal itu kembali. "Kau saja kalah dari rusa!"
Senyum di wajah Warta semakin melebar dan tanpak sedikit menyeramkan. Dengan senyum lebar dan mata menyipit, ia berbicara serius sambil menatap Basa.
"Dengar, ya! Aku itu terkejut karena seorang paman berpakaian abu - abu tua tiba-tiba meneriakiku dari belakang. Kalau saja-"
Warta behenti, seketiak dirinya terdiam. Basa mellihat orang yang didepannya menjadi semakin aneh mulai memasang raut bingung.
Tiba - tiba, Warta menjentikan jari. "Tunggu! Benar! Paman abu - abu tua, mungkin dia tau di mana tasku!" Warta berdiri, tangan kanannya yang mengepal melayang di udara. Tepat depan wajahnya yang kini bersinar cerah.
"Pakaian abu - abu tua... Mungkin paman Zai, dia yang membawa mu ke desa ini," jelas Basa, mengingat dirinya melihat paman Zai meletakan Basa di depan gerbang desa lalu menyerahkannya pada Kakek Ahal.
Warta kembali berjongkok di depan Basa, kedua tangannya mencengkeram bahu Basa dengan kencang. "Iya, mungkin dia! Antar aku ke tempatnya." tubuh yang lebih muda diguncangnya kedepan-belakang.
"Eh, besok saja. Ini sudah hampir gelap. Paman Zai tinggal di luar desa. Ia satu - satunya orang yang tidak mau ikut dalam penebangan pohon dan juga menentang-" kini Basa yang tiba - tiba berdiri. Ia menatap Warta, matanya terbuka lebar dengab semangat menggebu - gebu menyelimuti.
"Benar juga, paman Zai!" tangan kiri Basa menggenggam dagunya dengan kepala yanh tertunduk dalam.
"Paman Zai, kenapa tidak terpikir sejak dulu," gumam Basa.
Basa menatap Warta lekat, "Besok pagi, kita temui paman abu - abu itu. Tapi tolong, kalau kakek tanya, jawab saja aku mengajakmu bermain takraw."
Melihat tatapan serius dan merasakan tekat kuat milik Basa, Warta mengangguk tegas.