Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Menuju Timur
Fajar menyingsing di atas menara Hale, cahaya oranye menyapu atap-atap batu yang masih basah oleh embun. Di halaman barat, pasukan berkumpul dalam formasi rapi.
Bendera kerajaan berkibar tertiup angin, menampilkan singa biru yang menggenggam pedang bercahaya. Barisan kuda berderap, roda kereta penuh perbekalan berderit. Udara dipenuhi aroma kulit, baja, dan ketegangan.
Edrick berdiri di depan, mengenakan zirah perak, Ashenlight tergantung di punggungnya. Di wajahnya, tidak ada keraguan.
Rowan mendekat, matanya menyipit.
“Kalau kita berjalan ke timur, kita berjalan ke perang yang belum tentu bisa dimenangkan. Kau yakin pasukan ini cukup?”
Edrick menoleh, menatapnya dengan dingin tapi mantap.
“Kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita menunggu, perang akan datang menghantam tembok Hale. Lebih baik kita menyalakan api kita sendiri sebelum mereka yang melakukannya.”
Rowan mendengus, tapi akhirnya naik ke kudanya, diam-diam menerima keputusan itu.
Lyra berdiri di tangga istana, wajahnya pucat tapi penuh doa. Ia menggenggam jimat kecil berbentuk pedang, lalu mengulurkannya ke Edrick.
“Ini bukan senjata, hanya doa. Tapi semoga ia bisa menyalakan cahaya ketika kau nyaris tenggelam dalam gelap.”
Edrick menerima jimat itu, menunduk. “Aku akan kembali. Dengan kemenangan, atau tidak sama sekali.”
Di samping Lyra, Miriel duduk di kursi rodanya, bibirnya gemetar.
“Kau bukan hanya membawa pedang itu, Edrick. Kau membawa Hale bersamamu. Jangan biarkan kami terbakar.”
Suara trompet berkumandang. Roda kereta berputar, pasukan mulai bergerak. Suara derap kaki kuda bergema, mengguncang tanah.
Hale melepaskan napas berat, menyaksikan raja mudanya berangkat menuju kegelapan.
Sementara itu, di perkemahan Kaelith, suasana berbeda. Malam itu, prajurit-prajurit berlatih di bawah cahaya bulan. Darius berdiri di tengah lingkaran kecil, bersama Selene dan beberapa prajurit yang mulai tertarik padanya.
Salah satu prajurit muda berkomentar, “Kau melawan sepuluh orang dan bertahan hidup. Katakan, bagaimana kau melakukannya?”
Darius menatapnya, suaranya berat.
“Bukan soal teknik. Bukan soal pedang. Kau hanya harus rela terbakar bersama mereka, bahkan jika nyawamu habis. Api yang paling ditakuti adalah api yang tidak peduli apakah ia padam atau tidak.”
Kata-kata itu mengguncang mereka. Selene menatapnya lama, lalu berbisik pelan, hanya untuk dirinya sendiri:
“Kau bukan hanya prajurit… kau sedang membangun sesuatu yang lebih berbahaya.”
Di timur, Darius mulai menyalakan api kecil dalam hati para prajurit, menyalakan rasa hormat bercampur takut.
Di barat, Edrick menuntun pasukan Hale, membawa obor besar menuju jalan yang dipenuhi bayangan.
Kabut pagi menggantung di atas padang luas. Pasukan Hale bergerak perlahan, suara roda kereta dan derap kuda terdengar berat, seolah tanah sendiri menolak langkah mereka.
Edrick menunggang kuda hitam di depan, Rowan di sisi kanan, mata selalu menyapu sekeliling dengan curiga.
“Kita sudah tiga hari berjalan, dan tetap sunyi. Terlalu sunyi,” gumam Rowan.
Edrick mengangguk pelan. “Kaelith bukan orang bodoh. Dia menunggu. Dan semakin jauh kita melangkah, semakin dekat kita dengan jebakannya.”
Mereka melewati desa-desa kosong. Pintu rumah terbuka, meja masih berantakan, panci berisi abu dingin. Seolah penduduk menghilang dalam semalam.
Prajurit-prajurit Hale berbisik dengan gelisah, rasa takut mulai merambat seperti kabut itu sendiri.
Saat malam turun, mereka mendirikan perkemahan di dekat reruntuhan menara tua. Angin malam membawa bau terbakar—tajam, menusuk, bercampur darah.
Rowan menemukan tumpukan kayu gosong, di tengahnya tengkorak manusia yang hangus. Di atasnya tertancap bendera hitam dengan lambang api merah.
“Kaelith.” Rowan menggertakkan gigi. “Dia meninggalkan tanda. Ia ingin kita tahu dia menunggu.”
Edrick menatap lama pada lambang itu, lalu mencabut benderanya dan melemparkannya ke api unggun. “Kalau dia ingin aku datang, maka aku akan datang. Tapi bukan dengan kepalaku tunduk.”
Sementara itu, jauh di timur, Darius berdiri di tebing batu, memandang ke arah barat. Angin malam menyibakkan rambutnya yang berlumur debu dan darah kering.
Selene mendekat, membawa dua cawan arak. “Kau seharusnya ikut perayaan. Prajurit-prajurit mulai bicara… banyak yang melihatmu lebih dari sekadar pendatang. Mereka melihat pemimpin.”
Darius menatap cawan itu, lalu mengambilnya. “Pemimpin? Aku hanyalah bara kecil di tengah api Kaelith. Bara yang bisa padam kapan saja.”
Selene menatapnya tajam. “Atau bara yang bisa membakar hutan.”
Darius terdiam. Kata-kata itu menempel dalam pikirannya. Ia mengingat tatapan Kaelith yang tajam, dingin, seolah selalu mengukur. Ia tahu—selama ia berjalan di sisi Kaelith, ia takkan pernah jadi lebih dari sekadar alat.
Tapi… apa salahnya kalau bara kecil itu mulai mencari kayu bakar sendiri?
Di perbatasan, Edrick menyiapkan pasukannya, sadar bahwa setiap langkah membawanya semakin dekat dengan Kaelith.
Di timur, Darius mulai menyadari bahwa dirinya punya kekuatan untuk mengguncang lebih dari sekadar satu pertempuran.