NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:607
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 5: Sistem Tertutup

Jet pribadi Eva melesat membelah langit di ketinggian 40.000 kaki, membawa Raka melintasi Samudra Pasifik yang tak berujung. Melalui jendela oval, ia menyaksikan hamparan biru gelap yang bergelombang halus, diselingi gumpalan awan putih yang terlihat seperti kapas raksasa. Pemandangan yang dulu mungkin memukau mata, kini hanya menjadi latar belakang bagi pergolakan dalam pikirannya.

Selama empat belas jam perjalanan, Raka duduk dalam keheningan yang hanya dipecah oleh desau mesin pesawat. Dalam kesunyian itu, ia merenungi kehancuran yang telah ia ciptakan. Sterling—pria yang pernah dikagumi sebagai simbol kekuasaan—kini menjadi bangkai politik yang mengapung di permukaan kehancuran Amerika. Thorne, dengan seluruh kemunafikan moralnya, telah terseret ke dasar keputusasaan. Fondasi kepercayaan publik Amerika telah retak, digantikan oleh paranoid yang meracuni setiap percakapan, setiap interaksi sosial.

Sebuah senyum tipis terukir di bibir Raka—senyum tanpa kehangatan, tanpa kegembiraan, hanya kepuasan dingin seorang algojo yang telah menyelesaikan tugasnya. Ia merasakan getaran halus dari kursi pesawat, sebuah frekuensi yang beresonansi dengan energi dalam tubuhnya. Setiap getaran itu seperti bisikan Bumi yang mengonfirmasi bahwa tindakannya adalah kehendak alam semesta.

Eva duduk di seberangnya, matanya terpejam, bibirnya bergerak dalam gumaman samar yang tak bisa Raka pahami. Bahasa itu terdengar kuno, primordial, seperti suara angin yang melalui gua-gua purba. Wajahnya tenang, hampir seperti patung marmer, namun ada aura kekuatan yang memancar dari tubuhnya—sebuah energi yang membuat rambut di tengkuk Raka berdiri.

Dengan indra barunya, Raka mencoba menembus pikiran Eva, mencari jawaban siapa atau apa dia sebenarnya. Namun, seperti mencoba menembus dinding granit dengan tangan kosong, pikiran Eva tetap tak terbaca. Yang bisa Raka rasakan hanyalah resonansi kuat dengan inti Bumi, sebuah koneksi yang begitu mendalam hingga membuat Raka yakin bahwa Eva, seperti dirinya, adalah perpanjangan langsung dari kehendak planet ini.

"Kau merasakan itu, bukan?" Eva berkata tiba-tiba, matanya terbuka dan menatap Raka dengan kilatan hitam yang menembus. "Getaran di bawah kita. Bumi sedang bergetar kegirangan. Setiap kehancuran yang kau ciptakan adalah langkah menuju kesucian."

Raka mengangguk perlahan. "Seperti... seperti Bumi sedang bernapas lega."

"Tepat sekali." Eva tersenyum, senyuman yang aneh—hangat namun mengerikan. "Tingkok adalah tantangan yang berbeda dari Amerika, Raka. Sistem mereka lebih tertutup, lebih terpusat. Mereka percaya pada kontrol absolut. Tapi di sanalah letak kelemahan mereka—kepercayaan buta pada kekuatan terpusat. Semakin tinggi menara, semakin keras ia jatuh."

Raka menatap ke luar jendela, melihat awan-awan yang berganti bentuk. "Bagaimana kita akan beroperasi di sana? Jaringan mereka lebih aman, informasi dikendalikan ketat."

Eva tertawa pelan, suara yang terdengar seperti gemerisik daun kering. "Keamanan hanyalah ilusi lain, Raka. Setiap sistem memiliki celah, setiap tembok memiliki pintu rahasia. Bumi mengajarkan kita bahwa air selalu menemukan jalannya, bahkan melalui batu yang paling keras. Dan kali ini, kita akan menyerang bukan hanya satu individu, tapi pilar yang menopang seluruh otoritas mereka."

---

Bandara Internasional Beijing Capital menyambut Raka dengan atmosfer yang sama sekali berbeda. Jika Los Angeles punya aroma kebebasan yang hampir dekaden, dan Washington D.C. menyimpan arogansi kekuasaan, maka Beijing memiliki aura kontrol yang menyelimuti segalanya seperti kabut tebal.

Udara di sana lebih berat, lebih pekat dengan partikel-partikel industri dan kepadatan penduduk. Namun yang paling mencolok bagi Raka adalah "aura" kolektivisme yang kuat—sebuah energi yang tertata rapi namun juga menekan, seperti marching band raksasa yang bergerak dalam formasi sempurna namun menghilangkan individualitas setiap anggotanya.

Kamera CCTV ada di setiap sudut—di langit-langit, di dinding, bahkan tersembunyi di dalam pot tanaman hias. Sensor pengenal wajah terintegrasi di mana-mana, memindai setiap wajah yang lewat dan mencocokkannya dengan database raksasa. Ini bukan hanya masyarakat yang diawasi; ini adalah masyarakat yang telah menyerahkan privasi mereka kepada algoritma.

Raka merasakan jutaan mata elektronik yang mengawasi, menganalisis, mencatat setiap geraknya. Namun anehnya, ia merasa tenang. Kemampuan barunya memungkinkan dia untuk "menyesuaikan" frekuensi tubuhnya, sehingga kamera-kamera itu tidak bisa mendapatkan gambar yang jelas. Wajahnya tampak kabur di setiap rekaman, seperti diselimuti kabut tipis.

Eva telah menyiapkan segalanya dengan ketelitian yang menakjubkan. Mereka keluar dari bandara menggunakan identitas diplomatik palsu—paspor yang terlihat sempurna, visa yang dikeluarkan oleh kementerian yang seharusnya tidak ada, dan surat kredensial yang ditandatangani oleh pejabat fiktif yang entah bagaimana tercatat dalam sistem pemerintah Tingkok.

"Bagaimana bisa identitas seperti ini melewati sistem keamanan mereka?" tanya Raka, saat mereka duduk di dalam limousine mewah yang mengantar mereka ke hotel.

Eva memandang ke luar jendela, menyaksikan gedung-gedung pencakar langit Beijing yang menjulang seperti tombak baja. "Bumi tahu cara beradaptasi dengan setiap lingkungan, Raka. Sistem mereka memang canggih, tapi mereka bergantung pada logika manusia. Sedangkan kita... kita beroperasi dengan logika yang lebih fundamental."

"Maksudmu?"

"Setiap sistem komputer, setiap database, pada dasarnya adalah rangkaian listrik. Dan listrik adalah energi. Energi bisa dimanipulasi, dialihkan, dibentuk ulang. Aku tidak meretas sistem mereka—aku berbicara dengan mereka dalam bahasa yang mereka pahami. Bahasa frekuensi."

---

Selama minggu pertama di Beijing, Raka menghabiskan waktunya untuk beradaptasi dengan sistem Tingkok yang kompleks. Dari apartemen mewah mereka di distrik Chaoyang, ia mulai menjelajahi infrastruktur digital negara adidaya itu.

Dengan kemampuan barunya, Raka bisa "merasakan" seluruh jaringan seperti jaring laba-laba raksasa yang melingkupi kota. Setiap kabel fiber optik, setiap tower sinyal, setiap server, semuanya terhubung dalam satu ekosistem yang berkedip-kedip dengan aktivitas data. Tembok Api Besar—Great Firewall—tampak seperti benteng digital yang megah, tapi seperti kata Eva, setiap benteng memiliki celah.

Raka tidak meretas dalam pengertian konvensional. Ia memanipulasi frekuensi gelombang di sekitarnya, menciptakan resonansi yang membuka portal kecil ke jaringan global. Seperti menciptakan lorong dimensional yang tak terlihat, memungkinkan dia mengakses informasi yang diblokir tanpa meninggalkan jejak digital.

Melalui metode ini, ia mempelajari target utama mereka: Lin Wei, Kepala Biro Keamanan Siber Nasional Tingkok. Lin Wei adalah arsitek utama Tembok Api Besar dan pengawas sistem pengawasan massal yang tak tertandingi. Ia adalah mata dan telinga negara, orang yang memastikan bahwa setiap informasi yang masuk ke Tingkok telah disaring sesuai kepentingan partai.

"Lin Wei adalah otak dari ilusi mereka," bisik Eva suatu malam, saat mereka mengamati gedung megah Biro Keamanan Siber dari balkon apartemen mereka. Gedung itu berdiri tegak seperti monumen kekuasaan, diterangi lampu-lampu yang berkedip seperti mata yang tak pernah tidur. "Dia adalah penjaga yang menjaga mata dan telinga rakyat agar tetap buta dan tuli. Hancurkan dia, dan keraguan akan menyebar seperti virus yang tak bisa dikontrol."

Profil Lin Wei yang Raka kumpulkan menunjukkan seorang nasionalis fanatik yang kejam namun sangat disiplin. Tidak seperti Sterling dengan keserakahan finansialnya atau Thorne dengan kemunafikan moralnya, Lin Wei memiliki keyakinan buta pada kesempurnaan sistem yang ia bangun. Ego dan arogansinya terhadap teknologi adalah kelemahan yang akan Raka eksploitasi.

---

Rencana Raka kali ini adalah menciptakan anomali yang tidak bisa dijelaskan dalam sistem Lin Wei—anomali yang akan membuat dia dan timnya saling mencurigai, meruntuhkan kepercayaan dari dalam.

Raka memulai dengan infiltrasi digital yang halus. Dengan kemampuannya memanipulasi sinyal data secara fisik, ia bisa mengubah kode-kode dalam transmisi tanpa meninggalkan jejak yang bisa dilacak oleh sistem keamanan siber manapun.

Pertama, ia menciptakan "kesalahan" dalam sensor pengenal wajah di lokasi-lokasi strategis. Sistem akan melaporkan bahwa Jenderal Chen, seorang pejabat militer tinggi yang dikenal disiplin, "terdeteksi" di sebuah klub malam yang terkenal kotor pada jam 2 pagi, padahal pada waktu bersamaan dia sedang menghadiri rapat penting dengan Lin Wei. Raka juga memanipulasi log data navigasi, menunjukkan bahwa konvoi kendaraan militer tiba-tiba "salah rute" menuju area terlarang yang seharusnya tidak pernah mereka kunjungi.

Kedua, ia menciptakan kekacauan dalam sistem kredit sosial. Beberapa warga negara yang paling patuh dan memiliki skor tertinggi tiba-tiba melihat skor mereka anjlok tanpa alasan. Profesor universitas yang loyal skornya jatuh dari A+ menjadi C-. Sebaliknya, beberapa pembangkang politik yang sudah lama diawasi malah mendapatkan skor mereka meningkat drastis, membuat mereka mendapat akses ke fasilitas-fasilitas yang seharusnya terlarang.

Ketiga, Raka memanipulasi data kesehatan masyarakat, menunjukkan wabah penyakit misterius di area-area yang seharusnya steril, sementara daerah industri yang penuh polusi menunjukkan tingkat kesehatan yang sempurna. Sistem komunikasi internal pemerintah mulai mengirim pesan-pesan acak yang memicu kepanikan, sementara firewall terpenting secara "otomatis" membuka celah kecil selama beberapa milidetik—cukup untuk memicu alarm, tapi tidak ada data yang benar-benar dicuri.

Eva mengamati pekerjaan Raka dengan kepuasan yang semakin menguat. "Kau membuat mereka mempertanyakan pondasi mereka sendiri," bisiknya, suaranya terdengar seperti bisikan angin yang membawa aroma kehancuran. "Tidak ada yang lebih menghancurkan daripada ketidakpercayaan dari dalam. Mereka akan mulai saling menuduh, saling menganalisis, hingga lupa bahwa musuh sebenarnya datang dari luar sistem mereka."

---

**Sudut pandang Lin Wei**

Lin Wei duduk di ruang kendali utama Biro Keamanan Siber Nasional, dikelilingi oleh puluhan layar monitor yang menampilkan aliran data real-time dari seluruh Tingkok. Setiap titik cahaya, setiap garis data, adalah bukti dari mahakarya kontrol yang ia bangun—sebuah sistem pengawasan yang tak tertandingi di dunia.

"Kepala Lin," Xiao, asisten mudanya yang biasanya tenang, berkata dengan suara gemetar. "Ada anomali dalam sistem pengenal wajah di distrik X. Jenderal Chen terdeteksi di Blue Moon Club pada jam 02:15, padahal beliau ada di rapat dengan Anda hingga jam 03:00."

Lin Wei mengerutkan kening. "Mustahil. Jenderal Chen adalah pria paling disiplin yang pernah aku kenal. Pasti glitch sistem."

Namun, glitch itu terus berulang dengan pola yang semakin aneh. Beberapa hari kemudian, laporan yang lebih mengkhawatirkan datang bertubi-tubi. Skor kredit sosial yang kacau, data kesehatan yang kontradiktif, sistem komunikasi yang mengirim pesan acak. Setiap anomali terlihat kecil sendiri-sendiri, tapi ketika digabungkan, mereka menciptakan gambaran yang mengerikan: sistem yang Lin Wei banggakan sedang mengalami breakdown sistemik.

"Ada yang tidak beres," Lin Wei bergumam, tangannya mengetik dengan cepat di keyboard holografik. Ia memeriksa setiap log, setiap protokol keamanan, setiap baris kode. Tidak ada tanda-tanda peretasan yang terdeteksi. Tidak ada serangan malware. Firewall masih utuh. Namun anomali itu tetap ada, menari-nari di antara data-data yang seharusnya sempurna.

Paranoid mulai merayapi Lin Wei seperti racun yang perlahan menyebar. Jika sistem yang ia percayai mulai melakukan kesalahan, itu hanya bisa berarti satu hal: ada pengkhianat di dalam timnya. Seseorang dengan akses tinggi yang cukup cerdik untuk tidak meninggalkan jejak.

Ia mulai menguji anak buahnya dengan skenario-skenario palsu, memasang jebakan digital, menganalisis pola perilaku setiap anggota timnya. Xiao, yang dulunya bekerja dengan percaya diri, kini tampak pucat dan gugup di bawah tatapan curiga Lin Wei. Suasana kantor berubah menjadi medan perang psikologis di mana setiap orang mencurigai yang lain.

Rasa paranoid Lin Wei mencapai puncaknya ketika ia menyadari bahwa tidak ada satupun dari anak buahnya yang bisa ia tangkap. Semua tes, semua jebakan, tidak menghasilkan apa-apa. Pengkhianat itu seperti hantu—ada, merusak, tapi tak pernah bisa ditangkap.

---

Puncak kehancuran datang pada hari yang seharusnya menjadi kemenangan Lin Wei. Ia akan mempresentasikan laporan keamanan siber tahunan kepada Komite Sentral Partai Komunis, sebuah kesempatan untuk memamerkan kehebatan sistem yang ia bangun dan memperkuat posisinya dalam hierarki kekuasaan.

Ruang rapat Komite Sentral adalah simbol kekuasaan absolut—dinding mahoni yang mengkilap, meja bundar raksasa, dan potret-potret pemimpin besar yang menatap dari dinding. Anggota komite duduk dengan postur yang menunjukkan otoritas mutlak, wajah-wajah yang telah terbiasa mengendalikan nasib ratusan juta manusia.

Lin Wei berdiri di depan layar raksasa, berbicara dengan keyakinan yang sudah ia asah selama bertahun-tahun. Grafik dan diagram kompleks menunjukkan efektivitas sistem pengawasan, statistik yang membuktikan bahwa tidak ada yang bisa luput dari mata elektronik negara.

"Sistem kami telah mencapai tingkat kesempurnaan yang tak tertandingi," Lin Wei berkata dengan bangga. "Tidak ada aktivitas subversif yang bisa lolos, tidak ada informasi berbahaya yang bisa menyusup. Kita telah menciptakan masyarakat yang benar-benar aman dan terkontrol."

Tiba-tiba, di sudut kanan bawah layar utama, sebuah window kecil muncul. Dalam jendela itu, terpampang percakapan pribadi antara Lin Wei dengan Jenderal Chen—pesan-pesan yang membahas bagaimana mereka sengaja memanipulasi data polusi udara untuk membuat Tingkok tampak lebih hijau di mata internasional, sambil menekan laporan tentang penyakit pernapasan yang merajalela di kalangan buruh pabrik.

Window itu hanya muncul selama tiga detik sebelum layar kembali normal, namun waktu itu sudah cukup. Setiap mata di ruangan itu telah membaca dengan jelas. Keheningan yang terjadi terasa seperti hisapan udara sebelum badai.

Lin Wei merasakan darahnya mengalir mundur ke jantung. Wajah-wajah anggota Komite Sentral berubah dari kepercayaan menjadi keraguan, dari hormat menjadi curiga, dari dukungan menjadi amarah. Ia melihat emosi-emosi yang persis seperti yang biasa ia saksikan pada korban-korban pengawasannya—ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan terhadap sistem yang mengkhianati mereka.

"Kepala Lin," suara Sekretaris Jenderal Partai memecah keheningan seperti pisau. "Bisakah Anda menjelaskan... anomali yang baru saja kita saksikan?"

Lin Wei membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Untuk pertama kalinya dalam karirnya, sang arsitek kontrol absolut merasakan dirinya terjebak dalam jaring yang tak bisa ia pahami atau kendalikan.

---

Raka mengamati kekacauan yang terjadi di ruang rapat Komite Sentral melalui koneksi real-time dari smartphone-nya. Ia berada di sebuah taman terpencil di pinggir kota, duduk di bangku yang menghadap danau buatan. Pemandangan yang tenang itu kontras ironis dengan huru-hara yang ia ciptakan di pusat kekuasaan Tingkok.

Ia tidak merasakan euforia kemenangan. Hanya sebuah kepuasan yang dingin dan mendalam, seperti rasa haus yang akhirnya terobati. Lin Wei, dengan segala kekuasaannya, kini merasakan keputusasaan yang sama seperti yang Raka alami dulu di kolong jembatan—terjebak, tidak berdaya, dan tanpa jawaban.

Raka menyaksikan bagaimana kepercayaan buta pada otoritas kini menjadi bumerang yang mematikan. Sistem yang begitu tertutup, yang tidak mengizinkan keraguan atau kritik, tidak tahu bagaimana harus bereaksi ketika keraguan itu muncul dari dalam dirinya sendiri. Mereka akan saling memakan, saling menghancurkan, sampai tidak ada yang tersisa kecuali puing-puing kepercayaan yang hancur.

Eva muncul di sampingnya, bergerak tanpa suara seperti bayangan yang mengambil bentuk. Ia duduk di bangku taman, matanya memandang ke arah gedung-gedung pencakar langit Beijing yang berkilauan di kejauhan.

"Satu lagi pilar yang runtuh," bisik Raka, matanya masih terpaku pada layar smartphone yang menampilkan kekacauan politik di Tingkok. "Mereka akan mencari dalangnya, tapi tidak akan pernah menemukannya."

"Biarkan saja," jawab Eva, suaranya tenang seperti aliran sungai di malam hari. "Semakin keras mereka mencari, semakin mereka akan berbalik melawan diri mereka sendiri. Mereka akan mencari hantu, bukan solusi. Dan saat mereka sibuk dengan perpecahan internal, saat itulah mereka paling lemah dan rentan."

Eva mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Raka dengan jari-jari yang dingin seperti marmer. Sentuhannya membawa aliran energi yang menenangkan, sebuah arus yang memperkuat keyakinan Raka bahwa setiap tindakan yang ia lakukan adalah bagian dari rencana yang lebih besar dan suci.

"Ada satu pilar lagi yang harus kita guncang, Raka," Eva melanjutkan, senyumnya melebar dengan kepuasan yang dalam. "Pusat keuangan global. Sebuah institusi yang mengontrol aliran darah ekonomi planet ini. Jika kita berhasil menghancurkannya, maka seluruh peradaban manusia akan merasakan getaran kehancuran."

Raka menoleh ke arah Eva, melihat kilatan kepuasan di mata hitam pekatnya. Kilatan itu jauh lebih kompleks dan mendalam dari kepuasan manusia biasa—seperti kepuasan seorang dalang yang menyaksikan boneka-bonekanya menari persis sesuai dengan tarikan tali yang ia kendalikan.

"Ke mana selanjutnya?" tanya Raka, merasakan energi dingin yang menyenangkan menjalar di dadanya.

"London," jawab Eva, senyumnya melebar hingga menampakkan deretan gigi yang putih sempurna. "Di sana, uang adalah Tuhan mereka yang sesungguhnya. Dan kita akan menunjukkan bahwa bahkan Tuhan mereka pun bisa runtuh menjadi debu."

Raka bangkit dari bangku taman, merasakan angin malam Beijing yang membawa aroma perubahan. Kejatuhan sistem Tingkok akan mengirim gelombang kejut ke seluruh dunia. Efek domino yang ia dan Eva ciptakan kini telah menjadi badai yang tak terhentikan, sebuah hurricane kehancuran yang akan menyapu bersih peradaban korup ini dari dalam.

Setiap kehancuran yang ia picu, setiap jeritan keputusasaan yang ia dengar dari para pejabat tinggi yang jatuh, adalah pembalasan yang sempurna atas penderitaan yang pernah ia alami. Ia adalah tangan pembersih, algojo yang ditakdirkan untuk meruntuhkan pilar-pilar palsu peradaban ini.

Dan dalam kegelapan malam Beijing, saat jutaan lampu kota berkedip seperti bintang-bintang yang terjatuh ke bumi, Raka merasakan bahwa hidupnya yang dulu sia-sia kini telah menemukan tujuan dan makna yang paling mulia—menjadi instrumen kehancuran yang diperlukan untuk kelahiran dunia yang baru.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!